28 Detik – Ifa Inziati

  

Judul                     : 28 Detik
Penulis                  : Ifa Inziati
Penerbit                 : Bentang Belia
Terbit                     : Cetakan pertama, November 2014
Tebal                      : 230 halaman
Rate                       : 3.5 / 5

 
 

That’s why gue gak nggak percaya bakat. My talent is the passion. Bakat itu kita yang ciptain, bukan anugerah semerta-merta dari langit.”28 Detik, hlm. 33

 
 
Semuanya bermula dari keangkuhan Candu, seorang barista berbakat yang berambisi untuk menang NBT (Nusantara Barista Tournament). Candu tidak sendiri. Ditemani mesin kopi hebat bernama Simoncelli, juga keempat staf lainnya di KopiKasep, mereka meramu dan menyiasati strategi baru untuk merebut hati para juri.

Candu tidak pernah percaya dengan bakat yang serta-merta datang dari langit. Siang malam ia jalani untuk berlatih dan meracik kopi dengan kombinasi terbaik. Tuas-tuas Simoncelli ditarik untuk menciptakan aroma hebat yang akan menguar dari bibir cangkir. Hingga suatu kali KopiKasep kedatangan seorang perempuan muda bernama Rohan.

Rohan bisa jadi hanya keponakan Teh Cheryl, yang merupakan pelanggan setia KopiKasep. Tapi kemampuan Rohan dan kejeniusannya tak ayal menarik minat Candu. Jika Candu percaya dengan kerja keras dan semangat juangnya, Rohan percaya dengan bakat.

 

Mau tidak tukar semangat Anda dengan bakat saya?”—28 Detik, hlm. 27

 
 
Candu sempat tertegun dengan kata-kata Rohan yang berani. Namun, apa mau dikata, Rohan memang berkata dengan bukti. Ia punya kemampuan hebat dalam menelaah kata, kalau di benak Candu kata adalah sebuah kata, Rohan punya kemampuan untuk mengubah kata menjadi warna dalam benaknya.

Sesungguhnya mana yang lebih penting dalam sebuah keberhasilan? Bakat atau semangat dan kerja keras?

 

 

Nyaris beberapa baris, saya ingin membocorkan plotnya hingga ke bab terakhir. Ups. Tapi, mungkin cerita ini akan lebih seru kalau ditelaah sendiri ya? Kalau sedikit menilik ke covernya yang sangat menarik, orang pasti bertanya-tanya, apa sih hubungan kopi dengan “28 Detik”? Kok gak ada kesinambungannya? Tapi, sesungguhnya 28 detik sendiri memang disebutkan di dalam novel Ifa Inziati, walau memang kurang bumbu filosofi yang kuat. “28 Detik” punya “sesuatu” dan “keunikan” tersendiri lho dalam ideologi ceritanya.

Sebelumnya, “28 Detik” karya Ifa Inziati ini merupakan pemenang dari sebuah ajang menulis Passion Show yang diselenggarakan Bentang Pustaka beberapa tahun lalu. Tidak heran dengan kemenangan tersebut. Dari segi ide, “28 Detik” sesungguhnya punya inti yang sangat sederhana, yaitu tentang usaha Candu dalam memenangkan NBT.

Tapi, mungkin saat mendengar kata “passion”, pasti orang-orang akan berpikiran tentang profesi idola yang condong ke arah seni. Entah seni lukis, seni tarik suara, banyak hal yang selalu dikaitkan orang dengan passion. Tapi, uniknya “28 Detik” adalah kala Ifa Inziati mengaitkan passion dengan sebuah pekerjaan yang unik, yaitu seorang barista. Mungkin bagi remaja, sekarang barista pasti sedang digandrungi, apa lagi yang suka dengan kegiatan ngopi-ngopi cantik. Tapi untuk sebagian orang yang bukan pencita kopi, pasti akan berpikir, siapa sih barista? Apa kerennya? Kan kerjanya hanya berada di belakang slow-bar seperti yang di Starbucks itu. Berkerja dengan terburu-buru tanpa meninggalkan kesan anggun atau pun krusial. Paradigma-paradigma tersebut tentunya diungkap dan dibalikkan secara hebat oleh Ifa Inziati lewat “28 Detik”. Lewat risetnya yang luar biasa detail dan menyeluruh, pembaca yang buta kopi sekalipun pasti ingin minum kopi. Bukan kopi instan, tapi kopi dengan teknik brewing yang unik seperti kopi buatan Candu.

Genre populer kadang menjadi sedikit diremehkan, apalagi kalau ada keberadaan karya sastra tenar seperti “Filosofi Kopi” yang mengambil tema serupa. Tapi, yang unik dari “28 Detik” bukan datang dari tema cerita, alih-alih, dari permainan sudut pandang dan alur cerita. Kalau sekali libas, pembaca awam pasti berpikir, “28 Detik” mengambil sudut pandang orang pertama yang standar. Tidak salah. Tapi bukan sembarangan orang pertama. Sudut pandang ini mengambil Simoncelli ‘Simon’, mesin kopi kesayangan Candu yang menjadi penghuni pertama KopiKasep,  sebagai narator utamanya.

Simoncelli, sebuah benda mati disulap Ifa Inziati menjadi benda yang hidup. Ia berinteraksi. Memberi opini. Kadang malah saya sering lupa, kalau yang sedang berbicara adalah sebuah mesin kopi. Lucu deh. Tapi, karena mesin kopi, jelas, ada satu keterbatasan yang dialami plotnya, yaitu plot tersebut mengambil latar secara keseluruhan di KopiKasep. Agak sedikit menjenuhkan sih terkadang, tapi banyak part yang terjadi di luar KopiKasep yang dapat diakali penulisnya sehingga Simoncelli ikut tahu. Saya rasa, ini ide yang cukup kreatif. Mungkin kalau penulis-penulis dulu berbentur dengan hal semacam itu, tapi Ifa Inziati mengakali semuanya dengan teknologi media sosial masa kini seperti interaksi di Twitter dan Skype. Masih dapat dibilang masuk akal.

Kalau dari perank-pernik riset dan pengambilan sudut pandang, “28 Detik” punya hal yang kompleks sekaligus komplet, tapi untuk permainan gaya bercerita. Saya pikir, Ifa Inziati masih banyak terlalu berhati-hati. Dari tiap tatanan kalimatnya, banyak saya menemukan pola kalimat yang mirip tahapan membuat sesuatu. Sempat berpikir sih, apa ini disesuaikan dengan temanya ya? Tahapan-tahapan membuat kopi yang enak? Namun, untuk deskripsi gerak-gerik, semuanya nampak seperti sudah diatur dan berjalan konstan. Sampai di bagian klimaks, cukup mengejutkan. Sedikit. Lalu segalanya bisa tertebak.

Tidak menyalahkan tentang alur yang tertebak. Mungkin sebagian besar novel populer punya pola tersebut, tapi untuk gaya bercerita, saya berharap ada kronologi yang dapat dibuat lebih eksperimental dan mengejutkan, seperti dipercepat, diperlambat seketika. Sehingga ada beberapa part yang mungkin bisa di-skip. Dan digantikan oleh alur yang lebih menarik dan lekas.

Selain dari riset dan pengambilan sudut pandang, yang saya sukai dari “28 Detik” adalah para tokohnya yang beragam. Dari mulai Candu yang ambisius dan periang, lalu Rohan yang agak muram, Satrya yang lebih kalem, Winona yang berisik dan berani, Sery yang lebih suka tersenyum ketimbang menimpali, dan Nino yang kebal terhadap teguran orang. Enam tokoh utama yang membuat KopiKasep menjadi sebuah tempat yang hidup dalam benak pembaca. Saya salut dengan celetukan dan dialog-dialog cerkas milik Ifa Inziati. Bagaimana ia menempatkan semua kesibukan dan seloroh dalam satu paket; tapi di saat bersamaan juga, ada yang diam-diam melirik suka. Wow! Luar biasa kompleks dan berhasil terwujud.

Dan untuk Rohan serta kemampuan hebatnya yang bernama sinestesia itu. Walaupun tidak digali secara dalam, tapi sebagai pembaca, saya menikmati cara penyampaiannya yang mudah dipahami soal sebuah kelainan yang jarang terdengar di tengah masyarakat. Terutama dalam pengambilan contohnya, Patrick Stump dan Billy Joel. Dua tokoh yang menurut saya, pas sekali untuk mewakili kepopuleran dua era, dari anak remaja sampai orang tua.

Secara kerangka memang tokoh-tokoh dalam “28 Detik” terasa seru, tapi untuk penyampaian saya merasa, acapkali Ifa Inziati kurang menggali beberapa hal dari tokohnya. Kalau dari permulaan, ia memperkenalkan tokohnya dengan analitik, seperti langsung disebutkan:


 
“Satrya adalah salah satu pegawai yang lebih lama bekerja di sini.

….

Sifatnya lebih kalem dan tenang serta hati-hati.” 28 Detik, hlm. 7

 
Saya malah mengharapkan sebuah pola dramatik dalam penokohannya. Lebih baik penulis membeberkan segala informasi mulai dari gerak-gerik, kebiasaan, cara berbicara, dan banyak lagi yang dapat digali dari sebuah tokoh, sehingga penulis bisa membiarkan pembaca untuk menerka, seperti apa ya tokoh ini? Dengan begitu tokoh pun menjadi lebih hidup dalam benak pembaca.

Secara keseluruhan, kalau para calon pembaca sering dikecewakan dengan iming-iming cover hebat dan sinopsis mirip pantun/puisi. “28 Detik” ini sangat menghibur kok. Apalagi kalau seorang pencinta kopi. Dijamin keranjingan. Karena bukan hanya cerita cinta remaja yang diangsurkan Ifa Inziati dalam “28 Detik”, tapi soal prinsip hidup dan resep kopi terbaik. Dari pengambilan sudut pandang yang tidak henti-hentinya saya puji, saya memberikan 3.5 dari 5 bintang untuk “28 Detik”.

Ada satu harapan untuk saya bagi penulisnya di kemudian hari. Terlebih saat menelaah pola risetnya yang luar biasa fantastis. Mungkin suatu hari nanti Kak Ifa bisa tertantang untuk keluar dari zona nyaman dan lebih bereksplorasi lagi dalam merangkai plot yang lebih rumit. Sci-fi, mungkin? Saya berharap lho 🙂

Leave a comment