Blue Romance – Sheva

 

Judul       : Blue Romance
Penulis    : Sheva
Penerbit : Plotpoint Publishing
Terbit      : Cetakan pertama, 2012
Tebal        : 224 halaman
Rate          : 4 / 5

 

Ada ekspektasi tersendiri saat pertama kali melihat Blue Romance ada di toko buku, ya kira-kira, nyaris setahun lebih silam. Dengan sampul yang manis, saya suka bagaimana desainer sampulnya memadukan kata “Blue Romance” sebagai sebuah kafe tempat bersantai namun terkesan sentimentil di tiap cerita, ilustrasi tersebut pun tertuang dengan media cat air yang terasa tidak intens, tapi pas untuk ditampilkan sebagai sampul depannya.

Bergulir ke isinya, awalnya saya kira, “Blue Romance” karya Sheva ini mirip dengan “The Espressologist” karya Kristina Springer. Satu kedai kopi, namun penulisnta mencoba untuk membedah tiap karakter pengunjungnya sesuai dengan kopi yang mereka pesan, tapi “Blue Romance” sepertinya berbeda. Yang sangat asyik untuk disimak di sini; Sheva mencoba merangkai “Blue Romance” dari berbagai sudut pandang. Bukan dari kisah-kisah pengunjungnya saja. Baristanya ikut terlibat. Sekaligus yang sekadar bernostalgia tentang “Blue Romance” pun lantas akan ikut menjadi tokoh utama.

Dalam “Blue Romance” ada tujuh cerita pendek:
1. Rainy Saturday
Sesuai dengan judulnya, ceritanya tentang pertemuan kedua orang asing di kala hujan pada hari Sabtu. Tokohnya dibuat begitu unik, tanpa identitas di awal, yang bisa dibilang merupakan sebuah trademark dari cerita-cerita Sheva; Sheva jarang menyebutkan karakter namanya secara langsung lantaran ia lebih menyukai penggunaan sudut pandang orang pertama saat bercerita. “Rainy Saturday” adalah cerita yang sangat sederhana, manis, dan dapat ditemui di sekitar kita, namun di sanalah letak keunikannya, dengan alur yang sederhana, Sheva tetap bisa membumbuinya dengan permainan kata hingga dialog yang cerkas.

2. 1997-2002
Bisa dibilang isinya tentang nostalgia, tentang dua orang sahabat yang pernah dekat lalu salah satunya harus pergi untuk studi di luar negeri. Hingga di tahun sekarang mereka bertemu. Namun, sesuatu di masa lalu memang terlalu manis untuk dilupakan. Dalam “1997-2002”, yang paling saya sukai adalah bagian saat tokoh utamanya bercerita tentang hal-hal yang dulu pernah mereka lakukan. Entah kenapa, hal dulu yang coba diungkit oleh keduanya mengalir begitu saja, tanpa ada berkas bahwa itu hanya flashback semata, dan saat kedua tokohnya bertemu, saya rasa, Sheva sangat tahu bagaimana menutup sebuah cerita dengan impresi yang begitu baik. Mirip film-film berkelas, biar pembaca menebak, apa yang akan selanjutnya bakal terjadi.

3. Blue Moon
Well, mungkin ini satu-satunya yang berbeda, berbeda sudut pandang maksudnya, kalau biasa “Blue Romance” banyak bercerita tentang pelanggannya, kali ini biar Edi, salah satu baristanya yang bercerita. Kalau boleh membandingkan, Blue Moon ini mungkin yang paling mirip dengan cerita “My Blueberry Nights”, film karya Wong Kar Wai, yang notabene adalah motivasi utama Sheva dalam membangun “Blue Romance” sebagai kedai kopi fiksi. Masih dengan cerita yang ringan, tapi mungkin saya kurang menikmatinya, bukan karena tidak bagus, tapi lantaran kompilasi emosi yang coba diterjunkan Sheva di dalamnya terasa sangat kompleks.

4. A Farewell To Dream
Ini yang the best, menurut saya. Paling tidak terpikirkan dan paling biasa di permulaan. “A Farewell To Dream” bercerita tentang pertemuan terakhir dua orang sahabat yang dulu saling mendukung untuk impian masing-masing, namun di saat salah seorang di antaranya berhasil meraih impian mereka lebih tinggi, sahabat satunya punya satu alasan kenapa ia tidak boleh pergi terlalu cepat. Masih dengan cerita yang ringan dan santai, saya suka sekali dengan kontradiksi kedua tokohnya, Bima dan Anjani. Anjani awalnya saya kira adalah cewek yang pendiam, menyinggung namanya yang sangat Indonesia, namun justru sebaliknya, Bima yang lebih menjadi pendengar yang baik, sedangkan Anjani, selalu saja ingin didengarkan. Seperti yang saya bilang sebelumnya, permulaan cerita ini tidak terdengar seperti sebuah kisah perpisahan, sederhana, saya kira ini adalah pertemuan curhat antar sahabat, sampai di akhir cerita, plotnya begitu fantastis membuat pembacanya terpaku sejurus untuk percaya.

5. Happy Days
Tidak secerah judulnya lho, “Happy Days” mungkin salah satu kisah yang paling emosional di “Blue Romance”, berkisah tentang penyesalan dan sebuah kejutan di masa yang akan datang. “Happy Days” dirangkai dengan plot yang maju namun mundur di waktu yang bersamaan. Saya cukup suka dengan ceritanya, juga deksripsi serta adisi beberapa pernak-pernik yang ditambahkan penulis sehingga membuat narasinya terbaca sangat pas. Hanya saja, mungkin ini masalah selera, dan saya kurang suka dengan peralihan bahasa Inggris-Indonesia dalam narasinya yang kadang dirasa tidak perlu dan malah terkesan agak plin-plan.

6. The Coffee & Cream Book Club
Berceloteh tentang Bening dan temannya yang sesama pencinta kopi berkrimer yang membuat komunitas diskusi buku. Kalau dilihat polanya, dalam “Blue Romance”, semakin ke belakang, ceritanya menjadi semakin berisi, tidak seperti di depan, “The Coffee & Cream Book Club” tidak seringan judulnya yang membuat pembaca berpikir tentang acara kongkow sekumpulan orang yang kutubuku. “The Coffee & Cream Book Club” menghadirkan karakter yang unik, tentang seorang “kakek” yang ingin membaur dan menjadi bujang untuk kedua kali.

7. A Tale About One Day
Yang terakhir mungkin agak sedikit berbeda, Sheva menutupnya dengan kisah perbincangan seorang anak kecil dan seorang laki-laki 30-an. Kalau sebelum-sebelumnya selalu pakai “aku”, Sheva mencoba menulis dengan sudut pandang ketiga yang sama sekali tidak mengganggu alur ceritanya. Plotnya memang sudah dapat ditebak di pertengahan, tapi yang membuat cerita ini tidak boleh terlewat adalah interaksi kedua tokohnya. Mungkin dalam “The Coffee & Cream Book Club”, Sheva mencoba menghadirkan sosok yang tua ingin menjadi muda, kali ini ia menciptakan satu yang kebalikannya sebagai penyeimbang cerita sekaligus sebuah penutup.

Dari tujuh cerita pendek, saya rasa tiap cerita tidak hanya selintas terbaca oleh mata. Sheva dengan begitu piawai menyatukan pengalaman-pengalaman yang terkadang sangat sepele, tapi dapat menjadi pelajaran hidup tersendiri. Dengan kalimat dan diksi yang mudah dicerna, sesuai dengan suasana “Blue Romance”, novel ini menghibur hati pembaca dengan tema-tema cerita yang pas dibaca kala waktu santai mirip di kedai kopi. Empat bintang untuk “Blue Romance”.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s