Judul : Veronika Memutuskan Mati
Penulis : Paulo Coelho
Penerjemah : Lina Yusuf
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Terbit : Cetakan ketujuh, 2012
Tebal : 235 halaman
Rate : 5 / 5
“Kegilaan adalah ketidakmampuan mengomunikasikan apa yang ada dalam pikiran. Seperti ketika berada di negeri asing, kamu bisa melihat dan memahami apa saja yang terjadi di sekitarmu, tatapi kamu tidak bisa menjelaskan apa yang kamu ketahui atau bantuan apa yang kamu perlukan, karena kamu tidak mengerti bahasa setempat.”
“Kita semua pernah pengalaminya.”
“Kita semua, apa pun bentuknya, adalah gila.”
(Percakapan Veronika dan Zedka, Hal 71)
Apakah kalian pernah berpikir untuk bunuh diri?
Tapi bukan karena tekanan kehidupan atau bahkan karena menanggung malu, melainkan karena hidup ini terlalu membosankan untuk dijalani; hidup seolah-olah hanya menjadi sebuah cangkang sempit yang sudah tidak dibutuhkan lagi. Yah, memutuskan untuk mati hanya karena tidak punya gairah hidup adalah jalan yang ditempuh Veronika—seorang gadis yang tinggal di salah satu Negara pecahan Yugoslavia, Slovenia.
Namun sayang, usahanya untuk mengakhiri hidup dengan cara menegak puluhan pil tidur rupanya gagal. Veronika masih hidup. Tapi bukannya terbangun di atas ranjang rumah sakit yang nyaman, Veronika justru mendekam di sebuah rumah sakit jiwa bernama Villete. Tapi, di tangah rasa sedih, kaget dan tak menyangka kalau usahanya untuk bunuh diri gagal, Veronika justru mendapat kabar lain kalau jantungnya mengalami kerusakan hingga umurnya tinggal lima hari lagi.
Veronika yang tahu kalau umurnya hanya lima hari ini mulai merasa tidak sabaran. Ia ingin cepat-cepat mati dan meninggalkan dunia ini, ia juga tidak mau menjalani sisa hari-harinya di antara orang-orang yang sakit jiwa ini. Sungguh, percobaan bunuh dirinya berujung pada malapetaka lain yang lebih buruk dari pada kematian.
Namun, rasa ketidaknyamanan dan muak yang semula menggerogotinya mulai berubah seiring dengan terungkapnya kenyataan dibalik tembok-tembok Villete. Kenyataan bahwa sesungguhnya orang-orang gila di tempat ini ternyata tidak benar-benar gila. Mereka adalah orang-orang yang tidak sanggup menghadapi dunia ini hingga memilih menjadi gila dan menciptakan kebebasan bagi diri mereka sendiri di Villete.
Veronika mendapati dirinya kembali bercermin. Pembicaraannya dengan Zedka dan Mari—dua wanita gila yang ia kenal di Villete—membuatnya merenungkan kembali hidupnya. Hingga perlahan-lahan rasa sesal itu mulai menjalar dan membuatnya semakin sengsara. Ia kembali mengingat ambisi-ambisinya, kembali menemukan arahnya, kembali menemukan hidupnya, tapi sayang umurnya hanya tinggal menghitung hari dan Veronika mulai takut akan mati.
Veronika menjadi pembicaraan hangat di antara orang gila yang ada di Villete. ‘Veronika, gadis yang sebentar lagi akan mati’ begitu kata orang-orang. Tapi melihat cahaya yang mulai muncul dalam diri wanita itu, mendengarkan Veronika yang memainkan piano setiap malam untuk menghibur hatinya, dan diri Veronika yang pelahan-lahan berubah. Membuat rasa simpatik itu berubah menjadi sebuah semangat untuk meninggalkan Villete, terutama bagi Zedka, Mari dan juga Eduard.
Ya, Eduard, seorang pria penderita Skizofernia yang setiap malam mendekati Veronika dan mendengarkan wanita itu memainkan satu-satunya piano di dalam rumah sakit jiwa itu. Tanpa bicara Eduard menunjukkan ketertarikannya pada musik Veronika, ya, ia hanya mendekat dan menatap Veronika kosong, tapi hanya dengan begitu saja Veronika bisa memahami kalau Eduard ingin mendengarkan permainan pianonya.
Veronika menghabiskan sisa malamnya bersama Eduard. Mereka bertukar rasa dalam ruang tanpa kata-kata; hanya ada lantunan musik Veronika yang mengisi asa mereka. Namun, dengan keadaan seperti itu saja mereka sudah memiliki ikatan yang sangat kuat. Ikatan misterius yang menjerat banyak insan secara magis, ikatan yang membuat segala sesuatu yang tak mungkin menjadi mungkin, dan ikatan yang membuat tembok-tembok Villete terasa lebih mudah untuk di loncati.
Ya, ikatan itu bernama cinta.
Nah, bagaimanakah akhir dari kisah Veronika? Akankah gadis itu menikmati sisa-sisa akhir hayatnya dengan tenang di dalam Villete? Ataukah ada rahasia lain yang terungkap setelah hari-hari penuh inspiratif dan kejutan yang dilalui Veronika di dalam rumah sakit jiwa itu? Mari, cari bukunya dan beli segera!
Well, buku ini memang benar-benar pantas untuk menjadi salah satu koleksi kalian yang memang menyukai buku-buku spiritual dan inspiratif berbumbu romansa. Paulo Coelho telah berhasil membangun kisah yang membuat kita—khususnya aku—benar-benar bertanya pada diri sendiri: untuk apa kita hidup di dunia ini? Sebuah pertanyaan refleksionis mampu membuat hati ini mencelus.
Penuturan kisah dalam cerita ini juga runut, permainan alur maju-mundur dari setiap tokoh mampu membuat kita terbawa dalam berbagai alasan yang menjadi latar belakang para tokoh bisa berakhir di Villete. Setiap kasus yang diungkapkan di dalam diri setiap tokoh pun benar-benar hidup, jika dibaca begitu saja mungkin akan terasa tidak masuk akal, tapi ketika kita mencoba membacanya dengan lebih dalam dengan sesekali merenung, kita bisa menemukan bahwa fenomena-fenomena yang diungkapkan Paulo Coelho dalam buku ini benar adanya.
Terlebih lagi unsur ekstrisik buku ini menguatkan cerita ini hingga nyaris terasa nyata. Paulo Coelho, si Penulis Buku ini, ternyata pernah dijebloskan ke dalam rumah sakit jiwa oleh kedua orangtuanya sendiri saat masih muda. Nah, melalui pengalaman dari penulis tersebut, aku merasakan bahwa di sanalah titik kuat dalam buku ini hingga terasa begitu nyata—selain fakta bahwa tokoh Veronika yang menjadi tokoh utama buku ini sebenarnya sungguh-sungguh ada dan dikisahkan kembali oleh Paulo Coelho, tentunya.
Kemudian, konflik batin yang menjadi komposisi utama dalam cerita ini disamping alur waktu dan latar belakang kejadiannya yang singkat—terhitung lima hari sejak Veronika divonis akan meninggal—juga sebenarnya menjadi poin kuat dalam buku ini. Percakapan-percakapan antar tokoh yang full of quote pun menjadi salah satu sarana kita merefleksikan diri melalui buku ini.
“Berkonsentrasilah pada bunga ini, dan biarkan “aku” yang sebenarnya terungkap.”
“Apakah ‘aku’ yang sebenarnya itu?” tanya Veronika.
“Itu adalah dirimu sendiri, bukan yang diharapkan oleh orang lain terhadap dirimu.”
(Percakapan Veronika, Hal 115)
Namun, bagi sebagian orang yang lebih suka buku yang penuh konflik langsung dan kejadian-kejadian mengejutkan. Mungkin buku ini akan terasa sedikit membosankan karena porsi konflik batin dan alurnya yang terkesan dilambat-lambatkan membaut kita kepengen cepat-cepat berlari ke halaman-halamanan terakhir.
Yah, sebenarnya itu tidak bisa disalahkan, gaya kepenulisan Paulo Coelho memang seperti itu. Dari semua buku beliau yang aku baca, aku menyadari bahwa Paulo Coelho membangun cerita dari konflik batin dan percakapan berat antar tokoh yang kemudian baru merembet pada alur cerita dan hubungan antar tokoh. Kadang kala, gaya ini sulit untuk diterima kebanyakan pembaca yang tidak suka terlalu banyak basa-basi—aku pun awal mulanya tidak menyukai buku Paulo Coelho karena sangat bertele-tele, hahaha. Tapi sekarang sebagai penggemar Paulo Coelho, aku hanya ingin menyarankan kalian yang ingin membaca buku-buku Paulo Coelho untuk membaca dengan hati bukan dengan logika. Singkirkan prasangka dan pikiran-pikiran tidak mengenakan dan baca saja bukunya dengan hati, bebaskan jiwa kalian, pelan-pelan, kalian akan menemukan inti dari buku ini dan merasa bersyukur karena telah membacanya.
So, overall, bintang 5 untuk buku ini. Empat bintang untuk ceritanya yang inspiratif, penuh dengan narasi dan kisah-kisah yang membantuku memaknai hidup dengan lebih baik dan satu bintang yang menyempurnakan untuk ending-nya yang sangat tidak terduga. Spoiler sedikit, di akhir buku, kalian akan mengetahui bahwa untuk menghargai hidup ini dengan lebih baik, kalian hanya perlu mengerti sedikit saja tentang kematian.
Reblogged this on The Book Thief.