Delapan Sisi – Adityarakhman, dkk.

 

Judul       : Delapan Sisi
Penulis    : Adityarakhman, dkk.
Penerbit : Plotpoint Publishing
Terbit      : Cetakan pertama, Juni 2013
Tebal        : 143 halaman
Rate          : 4 / 5

 

Kedelapan kisah singkat ini diawali oleh sebuah nama, tentang seorang gadis muda bernama Rini yang mulanya berwujud anak kecil cerdas yang bertanya mengenai status sosial keluarganya. Sedari kecil Rini sudah ditempa oleh sang ibu agar terus berjuang agar kelak meraih mimpinya menjadi seorang ahli hukum. Rini kecil bertumbuh besar, namun kedekatannya dengan Rendy serta-merta membuat perutnya buncit. Rini tak ingin janin itu menjadi aral bagi mimpinya, ia memutuskan untuk aborsi.

Duduk berdua di atas becak milik Mujis. Rini dan Yani, ibunya, diantar ke dalam sebuah gang milik Dr. Urip, seorang spesialis yang sudah mumpuni menangani kasus serupa. Dan di sanalah kisah-kisah lainnya bergulir, memutar balik sebuah ekistensi nama samaran Urip.

Lahir tanpa diingini oleh sang ibu. Surti dengan terpaksa membuang bayi laki-laki yang dihasilkannya akibat bekerja dalam bidang prostitusi demi menghidupi anak perempuan satu-satunya yang tersisa setelah menjadi pelarian politik.

Pagi itu ia duduk di sebuah kamar mandi umum dan membuang bayi yang dilahirkannya seorang diri di samping bilik terakhir. Lastri menemukan bayi merah itu dan menamainya Sugeng Wicaksono; kelak menjadi seorang yang bijaksana. Lastri membesarkan Sugeng seperti anaknya sendiri namun keadaan berkata lain, semua orang menyukai Sugeng, bocah yang kenes, pintar dan gemar memainkan headset bekas sebagai stetoskop miliknya. Hati Lastri renyuk tiap kali calon orangtua asuh ingin memiliki hak asuh atas Sugeng. Tapi, di antara puluhan anak asuh di pantinya, Lastri harus rela untuk menyerahkan satu demi menghidupi yang lainnya.

Sugeng yang hidup dengan Nyonya dan Tuan Wicaksono, memiliki bakat luar biasa menjadi seorang dokter, bahkan di masa kuliahnya pun ia kerap menerima pujian dari sang dosen. Sayang, keadaan berkata lain, kedua orangtua asuhnya bangkrut, Sugeng memilih jalan yang salah. Ia memegang prinsip: setiap orang punya bebas menetukan pilihan hidupnya, lantas membuka praktik aborsi ilegal di sebuah gang.

Polisi berhasil merangsek ke tempat praktik Sugeng alias Urip. Dan berita itu begitu cepat mengepul terlansir di televisi menuai rasa kecewa dari sang dosen, Tris yang dulu begitu membanggakan Sugeng di depan sang almarhum istri.


“Delapan Sisi” seperti jumlah kaki gurita, begitu juga kaki laba-laba dan Urip bertindak sebagai induknya, memusar di tengah sebagai pelaku utama. Bisa dibilang menarik. Walau dengan sebuah ide yang klise, kedelapan penulis dapat mewarnai teritorinya dengan rupawan. Ada yang sedikit pahit, ada yang sedikit remang, ada juga yang asam manis, membuat bingung pembacanya di bagian akhir. Tapi, kalau terus mengikuti alur yang dibuat, memoar Urip ini terasa sehari-hari dan bercerita tentang satu per satu bagian lapisan masyarakat.

Bertema “praktik aborsi”, kedelapan penulisnya menelurkan delapan orang tokoh yang namanya mewakili tiap bab. Walaupun sudah tidak asing, tapi yang perlu disimak di sini adalah bagiamana kedelapannya berhasil menelanjangi tiap pihak yang terlibat dari proses aborsi. Kalau seringnya yang disalahkan adalah tiga pihak; yang menghamili, yang dihamili, dan dukun aborsi. Tapi, dalam “Delapan Sisi”, mereka membuat kedelapannya punya cerita dan alasan tersendiri, kenapa mereka memilih untuk berbuat seperti itu.

Sebuah hal yang sering dianggap sebelah mata oleh masyarakat dan kini dikemas secara apik dan menarik oleh kedelapan penulis lulusan AkTa (Akademi Bercerita) milik Plot Point. Dengan “Delapan Sisi”, terbukti sudah, untuk kesekian kalinya saya tidak kecewa dengan buku terbitan publishing house tersebut. Mulai dari hal yang eksternal; sampulnya yang didesain menarik. Seorang anak perempuan yang berposisi seperti seorang bayi yang hendak keluar dari rahim seorang ibu. Rapuh, tetapi dengan warnanya yang kontras dengan latar belakang kuning manyala, seolah-olah mengundang calon pembaca untuk menggenggamnya sejurus dan membalik; sekadar menilik sinopsis di sampul belakangnya.

“Delapan Sisi” bisa dibilang bagus dalam satu paket. Keren dari impresi awal, pengambilan tema cerita, sekaligus alurnya yang konsisten. Sedikit jarang memang menjumpai sudut pandang bercerita sebuah buku kumpulan cerpen lokal dengan satu sudut pandang, kebanyakan mereka memilih untuk berpindah-pindah, mungkin takut pembacanya bosan lantaran selalu bersifat sebagai orang ketiga yang mengamati, tetapi dengan sebuah paradigma yang mainstream tersebut, kedelapan penulis “Delapan Sisi” berusaha mengulas cerita hidup Urip dengan begitu baik dan setia pada sudut pandang orang ketiga. Tetap pada alur yang mengalir. Menarik untuk disimak dan tidak melupakan peranan karakternya yang berubah-ubah, pembaca tetap bisa mencerap konflik batin masing-masing tokoh.

Pemilihan tokohnya pun, kendati terasa begitu sehari-hari, tapi berhasil mendobrak berbagai macam lapisan masyarakat. Dari seorang remaja miskin, yang gigih akan menempuh mimpi. Saya kira mulanya cerita ini akan memiliki pola yang sama dari awal hingga akhir, seperti album cerita pendek yang mengisahkan berbagai perjuangan orang tua dan jabang bayi. Namun, dengan kemunculan cerita Surti sebagai cerita kedua dalam antalogi “Delapan Sisi”, bisa dibilang ini adalah cerpen kesukaan saya, mengingatkan saya pada sebuah cerita roman perjuangan jaman S30PKI dulu, seperti pada novel Leila S. Chudori, “Pulang” yang menceritakan tentang perjuangan para tapol, namun kian lama diikuti, perangai Surti malah makin mirip dengan karakter-karakter yang kerap muncul di novel-novel pedesaan ala Ahmad Tohari, seorang perempuan desa yang merantau ke kota besar dan malah dijadikan bahan pelampiasan hasrat laki-laki. Membuat “Delapan Sisi” menjadi begitu berwarna. Masih bergulir di kisah yang sederhana, ada kisah Muji yang menarik perhatian saya, tentang seorang tukang becak yang punya latar belakang unik di balik kerjaan sampingannya. Lalu, sepasang “suami istri” homoseksual yang cukup unik dihadirkan di bagian nyaris akhir. Dan terakhir, kisah Fendira “Dira”, seorang gadis keturunan Tionghoa yang membangkang orangtuanya demi menikahi seorang pria pribumi.

Berkali-kali saya tertegun melibas satu per satu halamannya, meneduhi satu per satu kata yang dituang oleh para penulisnya, dan terkagum-kagum melihat konfliknya yang begitu unik tapi bisa dikaitkan oleh satu prompt: “aborsi”. Tapi mungkin yang menjadi gangguan bagi saya dalam membaca “Delapan Sisi” adalah pelitnya sebuah catatan kaki tertulis di tiap lembar buku kendati banyaknya istilah medis yang tersebar di sekujur cerita. Terutama di bagian “Urip”, alangkah baiknya istilah medis tersebut ditelaah kembali dan dituliskan sebagai introduksi bagi pembaca yang tentunya datang dari berbagai kalangan.

Secara keseluruhan, “Delapan Sisi” sungguh mencuri perhatian dan kesadaran pembacanya untuk selalu lekat dengan rentetan kata dari awal dari akhir. Walaupun dilabeli dengan omnibook namun “Delapan Sisi” adalah satu kisah wahid yang berwarna-warni.

Empat bintang untuk “Delapan Sisi” 🙂 keren!

3 thoughts on “Delapan Sisi – Adityarakhman, dkk.

  1. Hai Azureveur,

    Terima kasih banyak atas kesediaannya mereview omnibook Delapan Sisi. Ini sungguh berarti bagi kami. Sukses selalu. 🙂

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s