Judul : 1984
Penulis : George Orwell
Penerjemah : Landung Simatupang
Penerbit : Bentang Pustaka
Terbit : Cetakan Pertama Edisi II, Februari 2014
Tebal : 400 halaman
Rate : 5 / 5
Kala itu London tak lagi bernama London, semua orang menyebutnya Airstrip One. Winston Smith, pria berumur 39 tahun, hidup di bawah siluet Partai dan Bung Besar. Winston selalu berusaha mematuhi setiap aturan; menjadi warga negara yang baik. Kendati di lubuk hatinya, ia kerap merasakan antipati terhadap kedudukan Partai yang otoriter, Winston Smith tak berani melakukan perlawanan secara terang-terangan.
Tak mengherankan, lantaran Polisi Pikiran, keberadaan teleskrin dan mikrofon yang tersembunyi di setiap sudut kota serta ruangan membuat privasi setiap individu serupa hal utopis. Partai pun bertindak semena-mena terhadap sejarah dan menggubahnya sesuka hati. Negara berkuasa mutlak atas rakyatnya; yang tidak sejalan dan sepikiran maka akan segera diuapkan. Raib tanpa nama, juga tanpa status yang jelas.
Winston tahu semua ganjarannya: ia akan ditangkap Polisi Pikiran, lalu diuapkan. Tapi, ia tak pernah bisa menahan pertanyaan-pertanyaan itu begitu saja. Winston selalu berpikir tentang sejarah—semua yang terjadi sebelum era revolusi. Apakah semuanya baik-baik saja? Lantas, Partai dan Bung Besar yang tak pernah ditemuinya itu malah menghancurkan tata kota?
Malam itu ia berjalan tak tentu arah, menjelajahi seluk-beluk kota dan bertandang di sebuah pemukiman kumuh. Ia menemukan cakap-cakap yang tak pernah didengarnya selama ini di Kafe Chestnut Tree. Hingga menyewa sebuah kamar cadangan di atas toko Pak Charrington, sebuah toko yang mejual barang-barang antik dari era lampau.
Winston sadar kalau langkahnya diikuti oleh seseorang. Sudah berminggu-minggu lalu, seorang wanita mengikuti langkahnya. Wanita muda ber-overall biru; sama seperti dirinya yang memakai seragam partai; bekerja di departemen fiksi, Kementerian Cinta Kasih. Jatuh terjerembab dengan tangan yang dibebat dan dipapah separuh. Winston hendak menanyakan keadaan kamerad itu, namun perempuan itu justru menyelipkan secarik kertas di tangannya. Winston menjadi gugup, apa jangan-jangan wanita itu bekerja pada Polisi Pikiran? Seseorang pasti akan melaporkan acara jalan-jalan tololnya kepada Kementerian Cinta Kasih dan membuatnya diuap, pikirnya.
Winston tertegun lama sebelum akhirnya membuka pesan itu jauh-jauh dari teleskrin yang mengamati meja kerja. Namun, saat ia membaca, jantungnya berdegup kencang. Pesan itu membuat bisul di kakinya gatal tak keruan.
“1984” merupakan sebuah satir tajam karya George Orwell di tahun 1949. Satu tahun setelah karyanya, “Animal Farm” meluncur ke pasaran dengan tema alegori politik. Dan membuat namanya dikenal sebagai salah satu sastrawan yang berpengaruh di era itu. “1984” terbilang literasi klasik. Jutaan umat sudah tahu akan nama George Orwell, keterlibatannya dalam mengisi surat kabar pun sudah tidak dapat disangsikan. Akan tetapi, kendati sudah termasyhur, “1984” merupakan karya pertama dari George Orwell yang saya baca. Jujur, politik bukan liga saya. Tapi, saya berusaha untuk keluar dari zona nyaman dan membaca buku yang sempat dielu-elukan oleh masyarakat di timeline Twitter Bentang Pustaka beberapa bulan lalu.
Dari sisi cover, saya bilang ini cukup menarik. Saya menangkap kesan futuristik mendalam di cover depannya. Dengan warna putih yang mendominasi dan font tajuknya yang penuh siku, saya rasa buku ini akan mencerminkan futuristik dengan segala ketakaburan teknologinya.
Namun, saya salah dalam menilai hal itu dari sampulnya. Kesan pertama saat membaca halaman dari bagian pertama adalah kelabu. Sebuah penjelasan mendetail dan pemaparan setting yang sangat asing, penuh becek, dan lorong-lorong kondominium yang gelap, sarat kedikatatoran. Agak sedikit menjenuhkan, memang, tapi saat sedikit demi sedikit ditelusuri, “1984” cukup membuat saya penasaran dengan kisah hidup Winston.
Dalam “1984” plot yang diangsurkan Orwell, menurut saya, tidak terlalu mempermainkan drama. Tidak ada plot yang ribet ataupun yang penuh fantasi seperti pada novel-novel berbasis mirip dengan fanfiksi. Ya, mungkin lantaran “1984” masuk dalam jajaran literasi klasik, jadi plot yang dipilih Orwell pun adalah sesuatu yang konvensional (kendati sedikit dibumbui kesan futuristik; dengan adanya alat serupa teleskrin). Memang ada intrik-intrik yang menarik dan mengejutkan, tetapi ceritanya lebih berfokus kepada kesan satir dan politik yang merajalela; mengkritisi berbagai paradoks dan kontradiksi.
PERANG IALAH DAMAI
KEKEBASAN IALAH PERBUDAKAN
KEBODOHAN IALAH KEKUATAN-hlm. 127, “1984”
George Orwell memperkenalkan karakternya, Winston, juga dengan sangat baik. Kalau di novel-novel kontemporer karakter utamanya difigurkan pemberani dan memiliki pesona positif, Winston adalah kebalikannya. Ia ringkih, tua, penakut, sedikit-sedikit gugup, tapi George Orwell sangat pintar membuat karakter Julia, sebagai perempuan muda pembangkang yang mewarnai hari-hari Winston, dengan penokohan yang sama baiknya dan mengimbangi kekuarangan Winston. Dalam menuturkan kedua tokohnya, Orwell lebih sering membuat segalanya transparan, kendati dilukiskan dengan futuristik, tapi sesungguhnya semua rakyat Airstrip One kehilangan hal-hal yang konvensional, seperti aroma bubuk kopi, gula (yang kala itu diganti oleh sakarin), rokok (yang kala itu digambarkan diproduksi oleh Partai dan memiliki kualitas yang luar biasa buruk), dan benda-benda lain yang harus diselundupkan dari pasar gelap. Hal-hal itulah yang membuat “1984” menjadi sedemikian hidup di benak saya saat membaca. Dengan gaya bercerita yang memaparkan alih-alih mejelaskan.
“1984” dibagi menjadi tiga bagian utama. Pertama adalah bagian introduksi bagi Winston, bagi Kementerian Cinta Kasih, juga bagi para kamerad yang menjadi anggotanya. Di bagian kedua, “1984” menceritakan tentang hubungan cinta terlarang antara Winston dan Julia. Hingga di bagian ketiga, keduanya berhasil tertangkap oleh Polisi Pikiran. Tiga bagian yang begitu sederhana kalau ingin dirangkum dalam sinopsis cerita, tetapi “1984” tidak sesederhana itu. Geroge Orwell membuat segala yang sederhana menjadi bermakna dan meninggalkan pesan. Menceritakan kritikan-kritikan pedasnya mengenai larangan-larangan dan hal-hal yang dulunya dibuat tabu menjadi kenyataan di dalam sebuah novel fiksi.
Akan tetapi di balik keasyikan membaca “1984” ada satu hal yang perlu ditolerasi, yaitu gaya bahasa terjemahannya. Saya sempat bertanya-tanya, apakah memang gaya penulisan orisinilnya memang penuh dengan bahasa yang sulit dimengerti atau lantaran diterjemahkan, maka menjadi sulit untuk dipahami? Dari bagian pertama, bahasanya memang sedikit ganjil, penerjemahnya banyak memilih diksi yang sulit dipahami dan sintaks kalimat yang tertukar-tukar. Lalu dengan banyaknya istilah-istilah politik yang diselipkan, hal itu menambah bingung pembaca. Dan dengan dilibatkannya bahasa Newspeak (yang kala itu digunakan oleh para kamerad dalam “1984”) membuat percakapan antara tokohnya menjadi sangat ganjil untuk dimengerti. Akan tetapi, dengan bahasa terjemahan yang sulit dimengerti, hal itu tidak menutup kemungkinan “1984” akan tetap memukau pembaca.
Untuk, “1984”, saya memberikan lima bintang, tentunya. Untuk gaya bahasa yang konvensional, untuk lika-liku politik yang dijelaskan sangat baik, dan untuk sebuah drama yang diciptakan Orwell di tengah-tengah keadaan dunia yang sangat unik.
Reblogged this on The book thief.
min boleh tahu tentang kediktatoran? dan apa dampak negatif paling signifikan dari kediktatoran terhadap wiston? buat bahan skripsi saya
Menurut saya, setelah membaca buku ini, dampak kediktatoran yang paling signifikan dari diri Winston mulanya adalah rasa takut, tapi lama-kelamaan jika menilik beberapa lembar awal saja, muncul sebuah ide soal pemberontakan. Dan sepertinya memang sifat dasar manusia, kalau dikekang oleh sejumlah perintah dan aturan, yang ada selalu mencari celah dan penasaran dengan hal-hal yang dilarang.
Reblogged this on arzyumi.