Judul : Negeri van Oranje
Penulis : Wahyuningrat, Adept Widiarsa, Annisa Rijadi, Rizki Pandu Permana
Penerbit : Bentang Pustaka
Terbit : Cetakan Pertama Edisi II, Juni 2014
Tebal : 584 halaman
Rate : 3.5 / 5
Negeri Van Oranje bercerita tentang petualangan lima orang mahasiswa Indonesia yang mengejar gelar S2 di Belanda. Lintang, Banjar, Wicak, Daus, dan Geri; kelimanya pertama kali bertemu di stasiun Amersfoort, terjebak di dalam situasi tak enak menunggu badai mereda. Banjar yang pertama kali menjerit saat kotak kreteknya habis. Lantas, di balik kerumunan berwajah Kaukasia dan berambut blonde, ia menemukan sosok Wicak, yang menyuguhi rokok linting. Maklum, di Belanda rokok menjadi benda yang paling sulit didapatkan, selain larangan merokok di tempat umum, rokok filter bungkusan pun menjadi benda yang kerap membuat kantong mahasiswa cekak.
Dari perbincangan kecil, memang rokoklah yang seharusnya diberi penghargaan sebagai pemersatu. Ada Daus, yang sekonyong-konyong muncul, dan Geri, yang langsung ditatap sinis oleh ketiganya lantaran wajah gantengnya, mengangsurkan rokok kretek yang baru saja dibawa oleh salah satu kawan dari Indonesia. Terakhir, Lintang muncul. Ia satu-satunya perempuan di Aagaban, pemerkasa sekaligus pencetus nama konyol itu sebagai kependekan: Aliansi Amersfoort Gara-Gara Badai di Netherlands.
Kelimanya serta-merta akrab, tak pernah absen nongol di chatroom sekaligus bertemu dan melakukan ritual-ritual seru. Susah-senang ditanggung bersama. Iri-dengki pun dicetuskan tanpa malu-malu. Kelimanya berjanji untuk menjadi sahabat melampaui rintangan-rintangan di dunia perkuliahan. Hanya satu yang paling sulit untuk dijalani, dari satu hati ke hati lain, tiga di antaranya diam-diam memperebutkan satu hati yang selalu menjadi arah mata angin bagi persahabatan mereka.
“Negeri van Oranje” dengan cover barunya sungguh menyegarkan mata. Tajuknya ditulis dengan font khas tulisan Eropa-Eropa di era lampau, miring-miring, tapi manis dipadukan dengan latar jingga terang, khas seragam sepak bola timnas Belanda. Saya membeli “Negeri van Oranje” tak ayal beberapa hari sebelum perayaan Piala Dunia. Dan pertama kali berjumpa dengan wujudnya, saya menemukan sampul jingga terang itu lagi-lagi di timeline Bentang Pustaka, mirip buku-buku sebelumnya yang kerap saya taksir terlebih dahulu. Tapi, perbedaannya, “Negeri van Oranje” yang ber-cover segar itu telah memasuki edisi keduanya. Dan saya pikir, edisi kedua memang punya sampul yang lebih representatif dan lebih menarik di mata pembaca.
Walaupun ada empat penulis yang terlibat di dalamnya, “Negeri van Oranje” terasa seperti ditulis oleh satu orang. Berjalan mulus, kocak, dan juga sarat akan penokohan yang rinci dan cekras. Sekilas saya melihat tampilan luarnya, anggapan saya: novel ini sepertinya punya citra dengan gaya bahasa yang klasik seperti novel-novel terjemahan, tapi, saya sepertinya sudah terjebak dengan tampilan luar. Halaman pertama dibuka dengan adegan yang terburu-buru, sekaligus umpatan-umpatan khas Indonesia yang dicampuradukkan dengan aksen dan kultur Belanda.
“Negeri van Oranje” mengingatkan saya dengan novel “5cm” karya Donny Dhirgantoro yang sempat menggebrak tangga buku di Indonesia. Dengan tema yang nyaris serupa, yaitu tentang persahabatan, tapi bedanya, “Negeri van Oranje” mengambil setting di Negeri Kincir Angin. Dan kalau ingin digolongkan ke dalam genre, “Negeri van Oranje” sepertinya lebih pas dimasukkan ke daftar novel travel. Selain menyuguhkan cerita khas mahasiswa yang luar biasa sibuk dengan kegiatan kampus, para penulisnya tak lupa menuliskan tips-tips keren tentang kultur dan hal-hal yang perlu seorang awam lakukan/simak untuk menetap atau berlibur di sana. Dari hal yang sepele, sampai yang terpenting. Dari acara hura-hura sampai urusan birokrasi dan imigarsi, Wahyuningrat, dkk. berusaha merangkum pengalaman-pengalaman mereka dalam bentuk alur konflik yang menarik. Dan momen yang paling lucu, menurut saya, tentang hal ini adalah saat peristiwa Lintang yang harus membayar sendiri pesanan mahalnya di sebuah acara pesta ulang tahun yang diadakan oleh temannya yang berkebangsaan Belanda. Lantaran, ya … kultur orang Belanda yang memang seringnya hanya menyuguhkan wine dan kacang sebagi jamuan dalam pesta, dan makanan di luar itu, berarti para tamu harus membayar masing-masing.
Karakter-karakter yang dibangun oleh keempat penulisnya pun (seperti yang saya sudah katakan di awal) sangat luwes. Dari banyaknya pernak-pernik setting yang sangat ditonjolkan, Wahyuningrat, dkk. tidak lupa dengan karakter-karakter utamanya sekaligus latar belakang mereka yang berbeda-beda. Ada yang datang dari keluarga berada, ada juga yang datang dari kalangan yang kurang sehingga rintangan yang harus dihadapi oleh satu karakter dan karakter lainnya pun berbeda. Seperti contohnya: Geri yang datang dari keluarga kaya raya, tinggal di apartemen mewah dan Banjar yang kerap pas-pasan dalam membayar biaya hidupnya di Belanda, perlu bekerja paruh waktu di akhir minggu. Tapi kemunculan paradoks-paradoks semacam itu disatukan oleh keberadaan Aagaban, sehingga kelimanya pun bahu-membahu selama tinggal di Belanda. Begitu juga dengan karakter Lintang, Daus, dan Wicak yang sama-sama berwarna; ada yang kalem, ada yang telmi, ada yang seorang computer whiz, tapi masing-masing juga punya kejelekannya, sehingga “Negeri van Oranje” pun terasa berwarna-warni saat disimak dan membuat plotnya kerap dibumbui oleh dialog-dialog kocak.
Yang pasti “Negeri van Oranje” adalah buku yang sangat pas untuk para penggemar acara travelling, dengan konflik-konflik yang menarik, tips-tips bermanfaat, sekaligus penyajian setting–setting dengan sudut pandang yang berbeda. Hanya sayangnya, buat yang berharap lebih akan kisah romannya, seperti saya, pasti bakal merasa “Negeri van Oranje” terlalu tebal untuk menjelaskan segalanya. Konflik percintaannya sudah tertebak dari awal, hanya saja di pertengahan kisahnya sedikit bertele-tele malah menceritakan tentang persahabatan yang nyaris berada di ujung tanduk, sehingga segala penyelesaian konfliknya terasa terburu-buru dan menimbun keseluruhan endingnya dengan sangat kilat.
Well, ini menyangkut tentang selera sih, “Negeri van Oranje” sepertinya tidak terlalu pas dengan cangkir teh saya. Tapi, tetap saya suka dengan ide persahabatan dan juga tips travelling yang diselipkan para penulisnya ke dalam “Negeri van Oranje”. Untuk keseluruhan, saya beri bintang tiga setengah untuk “Negeri van Oranje”.
Halo, salam kenal.
Aku suka cara kamu menuliskan review. Mendalam 🙂 🙂
Buku ini kubeli bulan kemarin dan malah nyungsep di rak buku belum kulanjutkan. Aku agak terganggu dengan ukuran bukunya yang kecil dan tebal. Jadi serasa berat bacanya.
Dan aku setuju kalau buku ini terlalu tebal untuk menjelaskan semuanya. Di tengah-tengah ceritanya terkesan bertele-tele–salah satu alasan kenapa bukunya nyungsep belum dilanjutin.
Tapi aku suka setting dan tips di dalamnya. Aku beli buku ini karena emang tertarik dengan Belanda dan buku ini banyak membantu.
Maaf ya komennya panjang. Aku suka review yang kamu tulis. Jadi pengen beli beberapa buku yang udah kamu tulis reviewnya 🙂
Terus semangat ya nulisnya 🙂
Terima kasih sekali ya sudah mampir. Iya, bukunya memang sedikit membosankan, tapi kalau tertarik dengan Belanda, buku ini pasti terasa pas di hati, apalagi yang bercita-cita untuk ke sana 🙂
Thanks untuk komentarnya mengenai review saya. Duh, baca komen kamu saya jadi pengin membaca buku lagi.