Judul : Ciuman di Bawah Hujan
Penulis : Lan Fang
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : Maret, 2010
Tebal : 360 halaman
Rate : 4/5
“Ternyata sakit bisa jadi nikmat jika kita tahu bagaimana caranya mengubahnya.” – hal 97
Fung Lin adalah seorang wartawati yang hidupnya tanpa sengaja bersinggungan dengan Ari dan Rafi. Kedua pria itu merupakan salah dua dari para manusia yang menghuni gedung Senayan. Bersama Ari, Fung Lin menemukan keceriaan dan persahabatan yang begitu erat hingga membuatnya benar-benar merasa nyaman berada di dekat pria itu. Sementara bersama Rafi, Fung Lin justru menemukan kekacauan hati yang bernama cinta.
Kemunculan kedua pria itu membangkitkan kenangan-kenangan masa lalu Fung Lin yang sudah lama terpendam dalam-dalam. Luka-luka yang dulu ada akibat gambaran pahitnya tentang para pejabat, bapak presiden, pemilu, dan kerusuhan hebat di negeri ini yang sempat meluluhlantahkan hidup gadis-gadis bermata kuaci seperti dirinya pun terkuak.
Fung Lin mulai dihatui mimpi-mimpi aneh, tapi kebanyakan ia bermimpi tentang Rafi—pria yang ia kenal jauh sebelum kehidupannya yang sekarang. Ia menceritakan mimpi-mimpi anehnya serta firasa-firasat tidak baik yang menakut-nakutinya kepada Rafi, tapi pria itu hanya menanggapinya dengan tenang sembari mencoba untuk realistis.
Tapi mimpi-mimpi itu tak mau pergi, mimpi itu terus datang hingga akhirnya Fung Lin mengerti mengapa mimpi-mimpi terus menghantuinya. Melalui penyerangan tikus-tikus di rumah makan tempatnya bekerja setelah ia memutuskan berhenti sebagai seorang wartawati dan hamster peliharaannya yang memakan anaknya sendiri, Fung Lin disadarkan tentang betapa bobroknya dunia politik dan ia tidak mau pria yang ia cintai hancur termakan dunia yang keji itu.
Review:
Aku menemukan buku ini di rak buku-buku diskon dan membelinya setelah membaca tema politik di sinopsisnya. Cukup membuatku tertantang untuk membacanya karena jarang sekali menemukan buku seperti itu, apa lagi ada kata-kata yang mengiming-imingiku tentang membongkar bobroknya politik. Sangat cocok untuk tema kondisi Indonesia beberapa bulan belakangan ini yang sedang dirundung euphoria pemilu presiden.
Secara garis besar, buku ini sebenarnya buku yang “aneh”. Kenapa bisa aku bilang begitu, karena alur ceritanya benar-benar membingungkan dan membuat kita harus berpikir dua kali. Bagaimana ya menceritakannya, agak sulit, bikin resensinya juga lumayan memeras otak sih ini, karena buku ini tidak berlandaskan pada plot ceritanya melainkan pada sudut pandang penulis terhadap kondisi politik di Indonesia pada zamannya (Lan Fang menulis buku ini kira-kira tahun 2009 – 2010).
Kehidupan Fung Lin diceritakan secara alur maju-mundur yang penuh dengan gaya bahasa personifikasi tentang angin, hujan dan matahari yang menggambarkan masing-masing tokoh. Kita harus bisa mendalami buku ini dengan perumpamaan-perumpamaan Fung Lin dan bagaimana ia menceritakan perasaannya saat bertemu dengan kedua tokoh pria tersebut, juga bagaimana perasaan Fung Lin saat mengungkapkan burukan kondisi politik Indonesia dari penyerangan tikus-tikus dan hamster yang memakan anaknya sendiri.
Lalu, kenanehan lain di buku ini adalah tentang novel di dalam novel. Pada awal cerita, Fung Lin meminta Ari untuk membaca calon novel perdananya yang mengangkat tema TKW—salah satu permasalahan yang ditangani komisi tempat Ari bekerja—dan di dalam buku ini pun menceritakan Novel tersebut.
Aku sendiri bisa mengambil kesimpulan dari hal itu karena penulis ingin mengungkapkan kehidupan tenaga kerja Indonesia. Tapi menurutku hal itu tidak begitu kentara karena kisah novel di dalam novel ini tidak benar-benar menendang. Meski sejujurnya justru akan lebih menarik jika novel yang ditulis oleh Fung Lin dalam novel ini digodok lebih dalam menjadi novel baru karena idenya lumayan bagus. Namun sayangnya, Lan Fang, sang penulis telah berpulang sebelum bisa menelurkan karya-karya supernya yang lain.
Kemudian untuk penggambaran karakter dari setiap tokohnya sendiri sebenarnya cukup blur dan bikin bingung karena banyaknya perumpamaan yang menggambarkan sosok tokoh-tokoh tersebut. Tapi kalau kalian bisa menelaah lebih dalam dari setiap kata-kata yang digunakan, niscaya kalian bisa mengerti dengan mudah setiap karakternya. Tapi, aku pribadi sih memang pada kenyataannya masih merasa sedikit mengambang dalam penggambaran karakternya, mungkin karena kurang terbiasa dengan gaya bahasa beliau kali ya, secara ini novel pertama yang aku baca dari Lan Fang.
Terus untuk endingnya, sebenarnya agak keki juga sih untuk bagian ini, karena buku ini memang terkesan sangat menggantung. Pada bagian akhir ada pesan Lan Fang yang menyampaikan kalau “akhir yang menggantung juga merupakan sebuah akhir”, sehingga ia memutuskan untuk membiarkan kisah Fung Lin dan Rafi menjadi rahasia masing-masing pembaca. Well, sebenarnya ini merupakan keputusan egois sih menurutku karena tidak mau menyelesaikan cerita, tapi karena sang penulis sudah meminta maaf bukunya sendiri sejak semula tidak menitik beratkan pada plot cerita. Jadi, aku bisa memaklumi.
Lalu untuk pesan dalam cerita ini bisa dibilang benar-benar tersampaikan karena berhasil menggambarkan buruknya kondisi politik Indonesia kala itu dari sudut pandang yang berbeda-beda. Dari polosnya Fung Lin kecil yang berharap bertemu presiden, keluguan gadis itu saat bertemu pejabat, kemudian pandangan-pandangannya terhadap fenomena asingnya dunia politik.
Namun, Lan Fang tidak hanya menggambarkan keburukan kondisi politik tersebut, penulis juga menyertakan pesan harapan di sana. Seperti saat Rafi menolong Fung Lin yang dikerumuni tikus-tikus dengan membuka pintu dan jendela sehingga cahaya matahari bisa masuk dan membuat tikus-tikus pergi. Sebanarnya itu adalah perumpamaan penulis bahwa harapan seperti cahaya pasti akan datang seburuk apa pun kondisi politik saat itu.
Akhirnya, setelah buku ini selesai aku pun memberi kesimpulan empat bintang untuk buku ini. Secara garis besar aku sangat menyukai buku ini tapi tetap minus satu bintang karena beberapa point yang sudah kusampaikan di atas. Buku ini sangat cocok untuk kalian yang penasaran ingin melihat sisi politik Indonesia dari sudut pandang yang berbeda-beda dan cukup merasa tertantang untuk menelisik lebih jauh politik dari buku ini.