Judul : Every Day (Every Day #1)
Penulis : David Levithan
Penerbit : Knopf Books for Young Readers
Terbit : Cetakan pertama, 2012
Tebal : 322 halaman
Rate : 4.5 /5
“I am made for running. Because when you run, you could be anyone. You hone yourself into a body, nothing more or less than a body. You respond as a body, to the body. If you are racing to win, you have no thoughts but the body’s thoughts, no goals but the body’s goals. You obliterate yourself in the name of speed. You negate yourself in order to make it past the finish line. ” — David Levithan, Every Day
Ia menyebut dirinya sebagai A. A tanpa embel-embel, begitu pun tanpa wujud yang nyata. Setiap hari A berkelana, meminjam kehidupan serta tubuh seseorang untuk hidup dalam durasi dua puluh empat jam. Dan begitulah keseharian A; bangun dalam tubuh seorang asing dan mencoba hidup di dalam dunianya. Semuanya berjalan normal. A mencoba untuk tidak terlibat dalam persoalan dan perasaan individu yang ditempatinya hingga suatu kala ia terbangun dalam tubuh seorang Justin. Lantas, jatuh cinta pada pacarnya yang bernama Rhiannon. A ragu, pun Rhiannon. Terlebih saat ia tahu status A yang selalu berpindah-pindah. Mulai dari kota satu dan kota berikutnya, keduanya berusaha untuk bertemu. Menjadi dekat mungkin hal yang selalu diinginkan A, tapi bagaimana dengan Rhiannon? Rhiannon memiliki kehidupan dan ia berusaha untuk memahami A, tetapi apakah selamanya ia akan seperti itu? Mencintai seseorang dengan wajah yang tak pernah sama.
Ide buku ini sungguh unik. Saya sendiri sebenarnya tidak menyangka bahwa “Every Day” akan bercerita mengenai perjalanan pelik sebuah jiwa. Jujur, pertama kali melihatnya, saya langsung tertarik untuk membaca. Sampulnya begitu megah, mungkin karena bercerita seseorang yang dititis dari surga. Hitam putih. Dengan banyak kontemplasi. Dan lagi-lagi saya mengira kalau David Levithan akan bercerita mengenai kehidupan yang begitu dewasa dan penuh pesan kehidupan. Tapi, setelah saya membaca bab awalnya, impresi itu berubah kembali; “Every Day” terasa sekelas dengan novel John Green, bercerita tentang remaja, kehidupan, dan pergulatan cinta mereka.
Pun diceritakan A sebagai jiwa yang memiliki umur enam belas tahun. Bangun di tubuh individu yang memiliki umur serupa. Dan menghadapi masalah-masalah remaja; bukan hanya cinta, tapi tentang banyak hal, tentang sahabat, orangtua, keluarga, dan sebagainya. Dan itulah yang indah dari “Every Day”, kendati, pertama kali saya menaruh kesan sedikit membosankan dari beberapa bagiannya lantaran tema mengulang hari itu, tapi well, ternyata David Levithan tahu benar di mana ia harus meletakkan poin-poin menariknya. Pertama, ia meletakkan Rhiannon di bab paling depan. Dan sukses membuai pembacanya dengan bacaan termanis tentang kencan sepasang remaja. Lalu, setelah itu, konflik pun dimulai, tapi bukan hanya konflik perasaan A kepada Rhiannon, ada sederet konflik-konflik unik dengan karakter yang sangat unik. David Levithan sengaja menaruh sudut pandang remaja dari segala karakter; pecandu narkoba, seorang lesbian, gay, remaja yang mencoba bunuh diri, dan sederet karakter lainnya. Dan di saat itulah cerita monoton tersebut menjadi seru. Jadi, kalau disimpulkan sih, “Every Day” punya alur yang naik turun, klimaksnya datang dari plot ganda, yaitu plot seorang A dan plot seorang yang lain, yang coba A jalani hidupnya.
Selain Rhiannon, David Levithan ternyata tak membiarkan A terlepas dari dua konflik, melainkan ada konflik ketiga, yaitu saat di pertengahan seseorang bernama Nathan menuduhnya sebagai arwah jahat yang mencoba merasuki para remaja. Ini terkesan konyol sih, tapi saya rasa, itu juga yang menguatkan ide seorang David Levithan dan membuat saya bertanya-tanya, apakah sungguh jiwa seperti A ada. Dia bukan hantu lho, bukan roh jahat juga, lantas apakah dia?
Dan dalam menghadapi hal-hal tersebutlah “aku” sebagai A berhasil membuat saya berkontemplasi kembali tentang arti mencintai. Mencintai seseorang bukan dari wujudnya, tetapi dari hal yang tidak kasatmata. Lalu bagaimana dengan arti sebuah kematian. Dan satu lagi yang paling saya suka dari karakter A yang coba dibangun oleh David Levithan, yaitu bagaimana ia menjelaskan sebuah karakter baru yang dilakoninya dengan rinci, unik; mencoba menelusup ke dalam kotak memorinya dan mengikuti alur kehidupan itu berlangsung.
Kalau ingin dibandingkan dengan novel John Green. Well, ini kali kedua saya membaca novel karya David Levithan, dan perbedaan kontras tersebut ada di novel “Will Grayson, Will Grayson”, novel di mana keduanya berduet bersama. Dan di sini saya merasa David Levithan memiliki ciri khas dari bahasa yang simpel dan sederhana dalam mencoba menjelaskan hal yang luar biasa. Tidak seperti John Green yang menjelaskan sesuatu yang tak pernah dipikirkan dengan metafora. Metafora milik David Levithan lebih kekanak-kanakan dan terkadang bikin pembaca tertawa. Hanya saja, saya merasa ada sedikit paradoks yang ditimbulkan karakter A terhadap karakter-karkater yang dihuninya. Diceritakan A adalah sebuah jiwa, tanpa sebuah status gender maupun biologis. Entah dia laki-laki, entah dia perempuan. Terkadang dia bisa menjadi laki-laki, lalu esoknya mejadi seorang perempuan, tetapi dari narasinya saya selalu menangkap kesan kalau A adalah laki-laki, narasi yang sangat logis, dengan permainan perasaan yang sangat maskulin, kendati ia masuk ke dalam tubuh seorang perempuan.
“It would be too easy to say that I feel invisible. Instead, I feel painfully visible, and entirely ignored. ” — David Levithan, Every Day
Dari lembar pertama hingga ke kertas terakhir; sebagai simpulan akhir, ada poin-poin di mana saya merasa “Every Day” sangat menjenuhkan, tapi untuk bocoran ending, untuk seri pertama “Every Day”, saya sangat menyukai cara David Levithan menutup ceritanya dengan sebuah plot yang mature dan jauh dari pemikiran saya terhadap karakter seorang A. 4.5/5 untuk “Every Day” terutama untuk idenya yang sangat luar biasa. Saya berharap seseorang menggarap buku ini sebagai sebuah serial teve.
Whoaaa… it’s my first time to read ur book review, Kak. Awalnya aku pikir buku ini biasa aja, tapi setelah diuraikan di sini aku jadi lumayan tertarik. Idenya luar biasa :3
Idenya memang gokil banget sih haha 🙂
Reblogged this on The Book Thief.