Amba – Laksmi Pamuntjak

Judul                     : Amba: Sebuah Novel
Penulis                  : Laksmi Pamuntjak
Penerbit                 : Gramedia Pustaka Utama
Terbit                     : Cetakan keempat edisi baru, Oktober 2013
Tebal                      : 577 halaman
Rate                       : 3.5 /5

Amba memutuskan untuk mengunjungi pulau itu, setelah terbang dari Jakarta menuju Ambon, lantas mengambil feri ekspres menuju Pulau Buru. Di tahun 2006, ia masih mengharapkan wajah tampan, yang terakhir dijumpainya saat serbuan Peristiwa 30S di Yogyakarta. Laki-laki itu bernama Bhisma. Seorang dokter lulusan Leipzig, Jerman Timur, yang dicintainya dan memberinya seorang anak di luar nikah.

Waktu telah bergulir, namun ketika kamp tahanan politik dibubarkan dan para tapol dipulangkan, Bhisma tetap tak menunjukkan batang hidungnya. Amba penasaran, ia pergi ke Pulau Buru, ditemani seorang laki-laki bernama Samuel. Kedatangannya membuat ribut seluruh pihak rumah sakit setempat, terlebih tentang perselisihannya dengan Mukaburung. Perlahan Amba mencoba membuka hatinya tentang kisah sejarah yang begitu mencekam. Bagaimana ia bisa bertemu dengan Bhisma? Sekaligus apa yang sesungguhnya telah terjadi di Pulau Buru sehingga Bhisma yang dicintainya tak pernah kembali.

“Amba: Sebuah Novel” begitu kata tajuknya, dengan sampul merah pekat sekaligus mendayu di bagian depan, saya menangkap kesan yang sangat feminin mewarnai novel ini, tapi merah itu sendiri ternyata berkata lain saat saya melibas kertas terakhir. Saya tak pernah membaca novel karya Laksmi Pamuntjak sebelumnya, barangkali ini pertama kalinya juga saya menjumpai namanya di salah satu rak buku Gramedia. Tapi, terlepas dari semua itu, dari komentar sekaligus tebal bukunya, saya tahu, Laksmi bukan seorang amatiran.

“Amba: Sebuah Novel” sesungguhnya ditulis Laksmi Pamuntjak dengan tajuk “The Question of Red” dalam Bahasa Inggris yang kemudian melalui proses penerjemahan secara personal, ia mengubah judulnya menjadi “Amba” dalam versi Bahasa Indonesia.

Kesan pertama yang saya tangkap dalam tulisan Laksmi adalah hawa epos yang sangat kental. Begitu juga dengan diksi yang kemayu, perlahan, dan cantik. Seperti halnya diibaratkan dalam wujud seorang wanita yang tengah memainkan riap rambutnya. Dililit perlahan-lahan, lantas dijumbaikan lepas di bidang punggung. Anggun dan tidak biasa. Dan ada kalanya saya menangkap juga beberapa majas personifikasi yang unik dan tak pernah saya jumpai di novel-novel lainnya, sehingga membuat “Amba: Sebuah Novel” menjadi novel sastra yang memikat untuk disimak.

Dari tema yang diangkat, “Amba: Sebuah Novel” merupakan novel berlatar sejarah yang dominan. Tentang seorang bernama Amba yang menunggu Bhisma, seorang yang dicintainya; seorang tapol di Pulau Buru yang tak pernah kembali ke pelukannya, tapi di saat yang bersamaan pula, Laksmi mencoba menambahkan efek drama dari memoar hidup Amba yang terombang-ambing di antara dua cinta; Bhisma dan Salwa. Mulai plot awal, saya langsung bisa menangkap kesedihan Amba yang larut hingga ke halaman-halaman berikutnya, mungkin sedikit membosankan, tapi kisah hidup Amba punya titik tanjak yang cukup baik; saya suka bagaimana Laksmi membagi novelnya menjadi beberapa bagian buku. Pertama saat ia pertama kali menginjakkan kaki ke Pulau Buru bersama seorang bernama Samuel. Lalu bagaimana ia hidup dan tumbuh menjadi seorang Amba yang berbeda dari kedua adik kembarnya, lantas bertemu seorang bernama Salwa, dan jatuh cinta dengan Bhisma. Kisah itu tidak berhenti sampai sana. Laksmi sukses membuat pembacanya larut dengan plot maju mundur; kembali ke realita sekaligus kepedihan Amba; bernostalgia bersama kenangannya dengan Bhisma dan penyesalannya kepada Salwa.

Dari plot-plot tersebut, saya pun bisa menangkap kultur Indonesia yang sangat kuat, seperti halnya novel-novel Ahmad Tohari, sebagai sandingan yang tepat. Tentang kebudayaan Jawa, tepatnya Kadipura, yang ditanamkan oleh orangtua Amba kepada setiap aspek kehidupannya; tentang tatanan sosialnya yang masih asri, tetapi ada suatu kala ketika politik mencoba untuk merangseki hirearki tersebut. Dari unsur sejarahnya sendiri, bisa saya bilang, Laksmi pun mengambil tema yang mirip dengan novel “Pulang” milik Leila S. Chudori, yaitu bercerita tentang tapol semasa G30SPKI, tetapi, bukan berarti “Amba: Sebuah Novel” memiliki ide yang klise. Kalau “Pulang” bercerita tentang harkat seorang lelaki dengan lika-liku drama yang kompleks, “Amba: Sebuah Novel” sendiri punya sisinya sendiri, yang penuh dengan hawa feminis dan dilema cinta seorang perempuan, yang dilatarbelakangi dengan informasi sejarah yang sangat serius.

Kalau saya diperhadapkan di antara kedua buku tersebut, saya bisa bilang, mungkin “Amba: Sebuah Novel” bukan cangkir kopi saya, lantaran kendati menarik, “Amba: Sebuah Novel” punya jarak pikir seseorang yang sangat kolot dan dewasa. Terlihat dari gaya bahasa dan majasnya, begitu juga dengan sudut pandang penceritaan yang coba digambarkan Laksmi Pamuntjak. Sudut pandang orang ketiga sesungguhnya tidak buruk, hanya saja dengan begitu, Laksmi terasa sangat bebas dalam membeberkan informasi sejarah ketimbang memberikan sentuhan intens mengenai drama yang menjerat para karakternya.

Ada Amba, Bhisma, Salwa, Samuel, begitu juga dengan Adalhard. Saya merasa interaksi di antara Amba dan sederet tokoh prianya terasa dibentuk oleh sebuah jambang sejarah dan politik.  Tidak seperti “Pulang” yang terkesan lebih “novel”, “Amba: Sebuah Novel” lebih terasa seperti membaca tur sejarah yang dibukukan, terutama saat Amba mendaratkan kakinya di Pulau Buru pada tahun 2006, dan ia mencoba menguak satu per satu apa yang telah terjadi pada Bhisma; proses tersebut memberikan klimaks di masa lalu sebuah celah untuk dipertimbangkan kembali ketimbang membubuhi sebuah klimaks baru yang mencekam di masa kini.

Dari lima, saya mungkin memberikan novel ini bintang tiga. Untuk sebuah keseriusan seorang Laksmi Pamuntjak dalam menggarap drafnya dengan begitu rill, begitu juga sederet informan yang diwawancarainya, saya rasa, “Amba: Sebuah Novel” adalah novel sastra yang tepat untuk memperkenalkan bagaimana kejinya tatanan politik di masa lalu kepada dunia.

One thought on “Amba – Laksmi Pamuntjak

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s