Judul : Tomodachi (SCHOOL #2)
Penulis : Winna Efendi
Penerbit : Gagasmedia
Terbit : Cetakan pertama, Juli 2014
Tebal : 360
Rate : 3 /5
Sakura pertama di bulan April merupakan penanda tahun ajaran baru di Katakura Gakuen, yang berarti hari pertama bagi Yamaguchi Tomomi mengenakan seifuku barunya. Saat para teman melanjutkan pendidikan di sekolah lama atau mendaftar sebagai siswa sekolah privat, mungkin hanya Sawada Chiyo, satu-satunya teman sekelasnya dulu yang mendaftar ke Katakura Gakuen. Tujuannya sederhana; kalau mungkin Katakura Gakuen adalah sekolah terbaik, tapi bagi Tomomi, satu-satu tujuannya masuk Katakura Gakuen tak lain untuk mengikuti kata hatinya yang berdebar-debar saat melihat Hasegawa senpai berlatih sepak bola di lapangan.
Dari mengintip Hasegawa senpai, tak sengaja ia malah ditempatkan bersebelahan dengan Yamashia Tomoki, yang selalu bertingkah konyol itu. Sama-sama bernama Tomo, jadi harus akur duduk berdampingan. Tomoki dan Tomomi berpartisipasi dalam kompetisi lari sekolah, di bawah didikan Oga, keduanya menjadi akrab dan selalu mendukung satu sama lain saat berlatih.
Di samping itu, Tomoki pun mengajak teman sepermainannya, Eguchi Ryuu, yang pendiam itu untuk bergabung bersama gengnya. Tomomi, Chiyo, Tomoki, Ryuu, hingga anggota terakhir bergabung. Ia bernama Tabitha, tapi mereka lebih suka menyingkatnya dengan nama Tabi. Perawakannya memang kerap kali sinis, tapi bisa juga ia rival terberat Tomomi dalam mendapatkan Hasegawa senpai.
Berlima, mereka menjalin persahabatan yang begitu unik, solid, dan selalu membantu satu sama lain. Dari sebuah jarak, mereka mengerti satu per satu rahasia, begitu juga saat di antara mereka sadar bahwa persahabatan mereka telah melewati garis lain. Lantas, mungkinkah itu cinta?
Setelah berkiprah dalam seri STPC, kali ini Winna Efendi kembali lagi membawa tema persahabatan dalam seri SCHOOL kedua. Well, saya tidak membaca serinya yang pertama sih, yang bersampul biru itu, alih-alih, mencomot yang kedua, mungkin karena penulisnya juga. Sampai detik ini saya tak pernah kecewa dengan tulisan-tulisan Winna Efendi. Kendati “Tomodachi” dirasa kembali ke lingkaran yang bertemakan sahabat—mirip “Remember When”, hanya saja berlatarkan Negeri Sakura—tapi saya tetap suka bagaimana cara Winna merangkai kata, menyesuaikan topik, dan diksi dengan ruang lingkup settingnya, sehingga cerita sederhana tersebut terasa tetap berisi dan tidak membosankan.
“Tomodachi” bisa dibilang punya tema yang sangat sederhana. Pertama kali saya membacanya, saya langsung teringat pada “Ai”, novel pertama milik Winna Efendi yang saya baca. Dengan setting yang mirip, Winna menjelaskan segala sesuatu yang menjadi latar belakang novelnya dengan baik, oleh karena itu, saya tidak sulit untuk membayangkan tiap karakter dan juga imaji yang coba ia jelaskan melewati tulisan. Tapi, pada plotnya, saya merasakan hawa kuat dorama-dorama Jepang seperti “Hanazakari no Kimitchi e” atau “Kimi ni Todoke” yang telah diadaptasi dari manga dan bertemakan sahabat. Ibarat sebuah diari, begitulah plot “Tomodachi” mengalun. Perlahan, dibumbui keceriaan yang terasa hangat, tapi tetap penuh keraguan, konflik keluarga, juga konflik percintaan. Sungguh tipikal serial cantik manga Jepang. Dengan adegan-adegan yang tidak asing dan sederet acara-acara kebudayaan yang selalu disambut bahagia oleh para tokohnya.
Karakter-karakternya pun dijelaskan dengan baik, mengingatkan saya—lagi-lagi—pada seri “Hana Kimi”, seperti setiap individu pentingnya punya warna yang kontras. Saya menyukai ini karena kadang kali nama-nama Jepang itu sulit diingat dan nyaris mirip seperi Tomoki dan Tomomi, hanya saja dalam geng ciptaan Tomomi ini saya selalu mengingat mereka melalui karakter yang tangkas, ada Chiyo yang bijaksana, Ryuu yang lebih banyak diam, Tomoki yang kadang kali berisik, Tabi yang seperti ratu gosip. Saya pikir ini merupakan sebuah solusi yang baik juga untuk menjadi bumbu bagi plot yang sederhana seperti “Tomodachi”. Begitu juga dengan warna-warni pernak-pernik yang coba ditonjolkan Winna Efendi pada karakter Tomomi sendiri, tentang kecintaannya pada animasi dan karya-karya Studio Ghibli dan berlari. Hanya saja saya agak kurang sreg dengan benang merah antara ke konflik pertemuan orangtua Tomomi di Yogyakarta. Mungkin ini pertama kalinya saya menjumpai hal semacam ini di novel Winna Efendi; kendati ini bukan pertama kalinya ia menulis dengan setting di luar Indonesia, seperti pada “Ai” dan “Melbourne: Rewind”, saya merasa kedua novel tersebut (khususnya “Melbourne: Rewind”) lebih terasa mengalir ketimbang menjangkarkan tokohnya dengan Indonesia lantaran saya merasa gaya tulisan Winna Efendi di “Tomodachi” sudah saya sangat pas dengan temanya yang terasa J-lit, seperti adapatasi sebuah manga yang diterjemahkan ke dalam tulisan. Jadi sedikit aneh seandainya pengarangnya seolah-olah menarik sebuah benang merah dengan Indonesia.
Dari “Tomodachi”, “Remember When”, dan “Melbourne: Rewind”, kendati saya tetap menjagokan “Melbourne: Rewind” sebagai novel Winna Efendi favorit saya, tetapi bukan berarti “Tomodachi” novel yang jelek. Hanya saja bukan cangkir kopi saya, mungkin karena temanya yang sederhana dan plotnya yang mudah ditebak, sedangkan “Melbourne: Rewind” lebih mengandung sebuah percakapan random dua orang yang pernah berpacaran. “Tomodachi” terasa lebih terstruktur, lebih perlahan, pasti, dan saling mengenal, tidak seperti perjumpaan tiba-tiba dua orang yang sudah lama berpisah.
Dan menyahuti dua perbandingan tersebut, saya merasa saat Winna Efendi menggarap “Unforgettable” dan “Melbourne: Rewind” ia mencoba untuk keluar dari tema “persahabatan”, tetapi kini ia kembali lagi menggarap tema yang sama pada novel-novelnya. Mungkin sedikit membosankan sih dari segi tema, tapi untuk saya, entah apa tema yang coba disuguhkan Winna Efendi, saya selalu memberatkan diri memperhatikan cara uniknya dalam menjelaskan plot tersebut, terlepas dari genre yang dipakainya berulang-ulang. Dan dari “Ai” hingga “Tomodachi” saya merasa tulisan Winna Efendi memiliki banyak perubahan, khusunya di “Tomodachi” ini, mungkin karena melewati fase STPC, yang mementingkan setting setiap adegannya, di “Tomodachi” pun saya menangkap penjelasan-penjelasan rinci serupa yang dengan cerkas ia letakkan di tengah-tengah narasi, alih-alih footnote. Poin yang menarik.
Well, dari skala satu sampai lima, saya meletakkan tiga untuk “Tomodachi”, untuk kepiawaian Winna Efendi dalam merangkai kata dengan sejuk dan cerkas. Tetapi, saya selalu mengharapkan lho, mungkin di novel selanjutnya, Winna Efendi bisa mencoba tema yang lebih luas seperti yang coba ia garap dalam “Melbourne: Rewind” atau “Unforgetable” dan membumbuinya dengan sebuah ending yang sama sekali tertebak.