Judul : The Half Life of Molly Pierce
Penulis : Katrina Leno
Penerbit : Harper Teen
Terbit : Cetakan pertama, Juli 2014
Tebal : 256 halaman
Rate : 5 /5
“We remember them even when we don’t remember them.
We try and forget, but it’s pointless.
Even amnesia. Even comas and brain damage and traumatic shock.
Whatever makes us not remember, we still remember.
Our minds flounder like fish but our bodies…
Our bodies remember. “–Katrina Leno, The Half Life of Molly Pierce
Layaknya seorang remaja berusia tujuh belas tahun, Molly menjalani kehidupannya dengan baik-baik saja; kedua orangtua yang menyayanginya, kedua adik yang selalu dekat dengannya, lantas kedua sahabat yang selalu menjadi tempatnya berbicara. Molly pergi ke sekolah seperti kebanyakan remaja lainnya, menoton acara teve, pulang ke rumah. Mungkin ada satu yang berbeda, ia sempat mengalami depresi ringan beberapa bulan lalu hingga harus berjumpa dengan Alex dan menceritakan perkembangannya setiap hari. Tapi, itu bukan masalah. Semuanya baik-baik saja.
Malam itu, lagi-lagi, adalah malam biasa, Molly seolah terbangun dari mimpi panjangnya dan sadar tengah mengendarai mobil di Prince Street. Ia mencoba untuk mencari tahu. Melirik ke sekitar. Hingga sadar lampu lalu lintas berubah menjadi merah. Semua mobil mungkin berhenti, namun seorang pengendara motor dari kejauhan malah menambah kecepatannya, ia pikir ia dapat menerobos lampu di persimpangan. Molly terkesiap saat sebuah truk menabraknya.
Darah berhambur di atas aspal, Molly lekas-lekas turun dan menghampirinya, ia pasti bisa menolongnya. Wajahnya nampak asing bagi Molly, tapi tidak saat laki-laki itu memperkenalkan dirinya sebagai Lyle dan meralat panggilan Mabel dengan nama Molly. Mengapa laki-laki itu bisa tahu namanya?
Molly bertanya-tanya, ke manakah ia selama ini? Mungkin ia hidup, tapi ia tak mengingat apa-apa. Siapa Lyle? Apakah ia mengenal laki-laki itu? Dan mengapa ia memanggilnya dengan nama Mabel?
Di novel pertamanya yang bertajuk “The Half Life of Molly Pierce”, Katrina Leno sudah berhasil memukau pembacanya, termasuk saya. Mulai dari pulasan sampul luar yang dingin. Juga citra putih yang kontras, seputih tabir ingatan Molly Pierce yang mulai membuatnya ngeri. Saya memang mengharapkan sebuah tema yang tidak biasa dari tampilan tersebut, dan voila! Katrina Leno memang mewujudkannya ke dalam novel pertamanya. Dari keseluruhan, saya paling suka dengan plot, intrik, sekaligus penokohan seorang Molly yang menjadi poin utama.
Kalau dari plot, menurut saya, “The Half Life of Molly Pierce” mengangkat sebuah alur yang sangat jarang dipakai. Yaitu dengan bergerak maju, sekaligus mundur di waktu yang bersamaan. Memang terdengar mustahil. Tetapi tidak jika Katrina Leno membangun sebuah karakter seperti Molly Pierce. Di salah satu monolog Molly, ia berkata kalau dirinya mirip Sybil, yang memiliki enam belas kepribadian itu. Saya pikir ini mirip, walaupun tak serumit kehidupan dan cerita Sybil, tetapi Molly Pierce diceritakan lebih rinci sekaligus tergolong penuh misteri. Katrina Leno sangat suka membuat lubang plot, lebih tepatnya. Dari pola yang saya tangkap, karakter Molly dijelaskan sangat sederhana, sangat manusiawi, dan sangat normal, hingga ia bertemu dengan Lyle. Dan akhirnya menimbulkan tanda tanya sekaligus adiksi bagi saya untuk terus membacanya. Tapi, di tengah rasa nyaman itu, saya tahu, saya masih dihantui sesuatu, seperti Molly. Saya pun terperangah di pertengahan cerita, ketika menemukan nama lain bertajuk Mabel, yang membuat semua rangkaian intrik sekaligus kepingan ingatan tersebut terjawab satu sama lain.
Pun ada karakter-karakter lainnya, seperti Lyle, tentunya. Lalu, Sayer. Sedari awal saya punya perkiraan kuat tentang hubungan antara Sayer dan Molly, tapi yang saya suka dari Sayer dan juga karakter lainnya, seperti Clancy dan Hazel, sebagai adik-adik Molly, juga kedua sahabat baiknya, Erie dan Luka adalah ketika mereka bersikap baik-baik saja. Mereka tidak menjauhi Molly, mereka tidak berpura-pura tahu tentang separuh kehidupan Molly, mereka hanya memanggilnya Molly. Dan dengan begitulah kisah misteri tersebut dapat terus berlanjut. Berikut dengan cara penokohan Katrina Leno terhadap karakter Sayer, saya rasa, ini yang paling saya suka. Saya menemukan banyak kontradiksi antara monolog Molly dan sikap Sayer, sehingga di satu sisi saya beranggapan kalau Sayer adalah misteri kedua bagi Molly. Dan sebagai juru kunci, Katrina Leno menempatkan Alex sebagai ruang bicara bagi Molly, mungkin ini satu-satunya petunjuk bagi saya untuk membuat segalanya masuk akal karena sejujurnya saya sempat merasa kalau “The Half Life of Molly Pierce” mungkin saja novel fantasi, tentang reinkarnasi atau pun sebuah drama romantika dengan unsur amnesia. Tapi, toh terlepas dari terkaan-terkaan mainstream tersebut, “The Half Life of Molly Pierce” tetap puna ide yang unik di mata saya.
Gaya bahasa Katrina Leno terbilang santai, ia tidak banyak memainkan kata-kata yang sulit. Ia hanya mempermainkan susunan kata yang ada dan mengulangnya dengan gaya yang tidak biasa. Sifatnya pun tidak memberitahu, alih-alih, membeberkan, Katrina Leno lebih memilih menjelaskan satu per satu yang dilihat Molly dengan presisi, ketimbang merangkumnya dengan sekumpulan narasi kosong. Dengan plot dan intrik yang rumit, Katrina Leno dapat mengimbangi kesulitan tersebut dengan gaya bahasa yang mudah, dengan begitu pembaca selalu semangat dan tidak perlu berpikir ekstra untuk mengikuti alur cerita.
Dari keseluruhan, saya sangat menyukai cerita “The Half Life of Molly Pierce”. Bermula pada iseng membaca di tengah jam kuliah, sekalipun otak saya dipenuhi kata-kata ngalor-ngidul dosen, “The Half Life of Molly Pierce” tetap bisa mencuri perhatian saya. Sangat menegangkan, dan gaya bahasanya pun mudah dimengerti. Mulai dari halaman pertama, hingga ke lembar terakhir, “The Half Life of Molly Pierce”s seolah menyihir saya untuk ikut terperangkap dalam plotnya. Ibarat masuk ke dalam kepala seorang Molly, saya mencoba meramban masa lalunya yang terpenggal-penggal. Hingga di bab-bab menjelang akhir, pembaca diperhadapkan pada pembeberan maksud dari kedua kepribadian demi mempertahankan tubuh yang mereka huni bersama.
Dari lima, saya beri lima untuk “The Half Life of Molly Pierce”, untuk plotnya yang tegang, sekaligus gaya bahasanya yang menarik 🙂
Reblogged this on The book thief.