Judul : Paper Towns ‘Kota Kertas’
Penulis : John Green
Penerjemah : Angelic Zaizai
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : Cetakan pertama, 2014
Tebal : 360 halaman
Rate : 5 /5
“Yang indah dari semua ini adalah: dari sini kau tidak bisa melihat karat atau cat yang retak-retak atau apalah, tapi kau tahu tempat apa itu sebenarnya. Kau mengetahui betapa palsunya semua itu. Tempat itu bahkan tak cukup keras untuk terbuat dari plastik. Itu kota kertas.” –Paper Towns ‘Kota Kertas’, hlm. 69
Berawal dari seorang Quentin “Q” Jacobsen yang tinggal di lingkungan Jefferson Park, yang tak pernah berangan untuk melakukan suatu “kegilaan”, hidupnya biasa-biasa saja, berjalan dari satu rutinitas ke rutinitas lainnya. Tapi Q punya momen gila tersendiri, yaitu kala ia bertemu dengan Margo Roth Spiegelman, yang tinggal di sebelah rumahnya. Q dan Margo telah berteman sejak umur dua tahun, mereka bermain bersama, mengayuh sepeda di sekitaran Jefferson Park. Tapi itu sudah lama sekali, Q dan Margo kini dua orang yang sangat berbeda. Dunia SMA membuat mereka hanya sekadar mengenal, tapi Q, ia masih memperhatikan Margo Roth Spiegelman dari jauh, memandangnya dari jendela kamar dan menaruh perasaan berdebar-debarnya.
Bagi Q, Margo adalah sebuah kejutan dan tepat di suatu malam, Margo merangsek jendela kamarnya dengan wajah dipoles hitam dan hoodie hitam
“Aku butuh mobilmu,” ia menjelaskan.
“Kau kan punya mobil sendiri,” aku mengingatkan.
….
“Apa masalahnya?”
“Ada sebelas masalah,” jawabnya agak tidak sabar.
—Paper Towns ‘Kota Kertas’, hlm. 34-35
Margo memaksa Q untuk melakukan senarai pentingnya malam itu, sebelas masalah super penting yang harus diselesaikannya sebelum matahari terbit. Mereka keliling kota Orlando, mengerjai Jason Worthington (bekas pacar Margo yang tidur dengan Becca), merontokkan alis kanan Chuck Parson dengan ramuan Veet, membobol masuk ke dalam Sea World, dan hal-hal sinting lainnya.
Pulang dari malam yang panjang, Q merasa super berani dan secara tidak sengaja menghentikan tindak bully-ing di koridor sekolah, namun ada satu hal yang pelik, Q tidak pernah bertemu Margo semenjak membisikinya di pagi sebelum mereka berpisah. Orangtua Margo mungkin frustasi, mereka pikir, itu hal biasa, Margo sudah ketiga kalinya hilang, tetapi Margo selalu meninggalkan jejak, tidak pada saat terakhirnya ia menghilang. Tidak ada kata, tidak juga pesan, tapi Q yakin, Margo ingin ditemukan. Margo ingin ditemukan oleh dirinya, bukan oleh orang lain.
Melalui serangkaian aksi detektif amatir, Q percaya bahwa kata “kota kertas” yang diucapkan Margo adalah sebuah kunci tempat ia akan menemukan gadis itu.
Setelah “Looking For Alaska”, John Green kembali hadir dengan karakter unik di ceritanya. Quentin “Q” Jacobsen bisa dibilang jelmaan si kikuk Miles “Pudge”; Margo Roth Spiegelman adalah jelmaan seorang Alaska degan tingkah unik, erratic, dan gemar bermain teka-teki. Semuanya nyaris bersinggungan, tapi satu yang membedakan John Green dengan penulis lainnya, ia selalu punya metafora cantik yang mendasari kisah-kisah gila seorang remaja. Memang kalau diikuti, alur ceritanya terkesan biasa (lagi-lagi mirip dengan “Looking For Alaska”), “Paper Towns” lebih bercerita tentang hierarki murid-murid di SMA pada umumnya, di mana para siswa berlomba-lomba menjadi yang paling populer, punya pacar paling beken, dan di akhir tahun, mereka semua akan sibuk membicarakan tentang pasangan prom. Semuanya terasa wajar saat di awal cerita, akan tetapi, yang membuatnya terasa berbeda adalah saat John Green menamai tiap bagian ceritanya. Di sanalah rasa penasaran pembaca akan diuji karena cerita John Green tidak akan seringan itu. Ia selalu menuturkan sebuah bahasan yang gila. Yang sesungguhnya tidak hanya berdampak kepada kalangan pembaca remaja, tapi nyaris kalangan pembaca dewasa juga.
Gaya bahasa yang digunakannya sederhana, walaupun terjemahan, tapi keseruan remaja yang coba disiratkan di dalam novelnya benar-benar tercermin ke dalam istilah-istilah keren yang populer di kalangan remaja. Hanya saja mulai di bagian belakang cerita, kala John Green mencoba mempersatukan seluruh rangkaian petualangan Q dalam mencari Margo ke dalam rangkaian metafora, di sanalah terjemahannya menjadi sedikit goyah dan rancu untuk dimengerti. Saran saya, mungkin bagian ini lebih baik dibaca dalam bentuk orisinil sebelum diterjemahkan karena sepertinya akan lebih mudah dimengerti.
Para karakternya berporos pada Q yang menjadi seorang narator, mirip dengan seluruh novel karangan John Green (kecuali “The Fault In Our Stars”), dalam “Paper Towns”, Q dijelaskan sebagai seorang yang kikuk, nerd, hidup dengan biasa-biasa saja, mirip dengan karakter Miles “Pudge” dalam “Looking For Alaska”, tapi bedanya Q kali ini ditemani oleh dua orang sahabat yang punya karakterisitik yang unik juga dalam bercakap-cakap. “Paper Towns” mungkin menghadirkan Margo Roth Spiegelman sebagai Alaksa mereka, tetapi, menurut opini saya, saya lebih menyukai kemunculan dan keabsurdan Alaska di dalam buku pertama John Green tersebut. Dalam “Paper Towns” ceritanya lebih didominasi Q, Radar, Ben, dan Lace—sahabat baik Margo, tidak seperti Alaska yang banyak memberikan “hiburan” hingga tiga per empat cerita dan ia menghilang dengan cara yang mengejutkan. Margo terkadang membuat efek yang sedikit mengada-ngada dan di saat masa hilangnya, saya merasa alur cerita “Paper Towns” menjadi sedikit membosankan.
Dalam menggarap plot, kali ini John Green membuka halaman pertama novelnya dengan sebuah cuplikan bertajuk Pagi yang merupakan potongan adegan dari saat-saat terakhir Margo dan Q sebelum keduanya berpisah. Namun, selebihnya kisahnya berjalan maju. Tidak berbelit-belit. Hanya dituturkan dari sudut pandang seorang Q yang ketus mengenai kesibukan teman-temannya mengurusi prom, sementara dirinya lebih memedulikan petunjuk-petunjuk Margo.
Selain karakternya, saya rasa, latar yang coba diangkat oleh John Green dalam “Paper Town” kali ini juga sangat menarik. Memang masih berlatar belakang dunia remaja, rumah bertetangga dengan lingkungan yang luar biasa homey. Tapi, saya agak terkejut saat tahu semua dunia itu dibangun di tengah Kota Orlando, Florida, yang terkenal dengan banyaknya taman hiburan di sana. Banyak menambah wawasan juga sih, termasuk saat John Green bilang dalam lembar Catatan Pengarang kalau daerah Agloe, New York memang nyata. Malah kisah tentang Agloe-lah yang menginspirasi Mr. Green dalam menciptakan buku bertajuk “Paper Towns”.
Dari sederet hal yang menarik, poin-poin yang paling bisa saya petik dari “Paper Towns” pastinya ada pada permainan penokohannya, latarnya yang luar biasa menginspirasi, lalu metafora-metafora dalam kuotasinya yang sangat membekas.
“Tapi kau harus berhati-hati memilih metafora, karena itu penting. Kalau kau memilih senar, artinya kau membayangkan dunia di mana kau bisa pecah tanpa dapat diperbaiki lagi. Kalau kau memilih rerumputan, kau mengatakan kita semua terhubung, bahwa kita bisa memanfaatkan sistem akar itu bukan hanya untuk memahami satu sama lain tapi juga menjadi satu sama lain. Metafora itu memiliki implikasi.” —Paper Towns, hlm. 346
Perlu banyak waktu untuk memahami cerita seru di balik kemonotonan cerita milik Q, tapi kisah John Green selalu mengundang penasaran dan menjadi teman yang tepat untuk membunuh waktu. Lima bintang untuk “Paper Towns”, dari ketebalannya yang super, saya sama sekali tidak merasa jenuh.
Reblogged this on The book thief.
ini novel terjemahan?
Iya, ini novel terjemahan kok 🙂
gak sad ending kan?
gak sedih sih, tapi ada sesuatu hal yang lain juga 🙂
Kak Azuraaa~ aku nggak yakin Kakak masih ingat sama aku atau enggak (karena sepertinya tidak 😀 ). Hm, ini buku masih jadi wishlist. Entah kenapa setelah baca Looking for Alaska, aku jadi ketagihan baca novel-novelnya John Green 😀
Masih ingat dong 🙂 Looking For Alaska menurut saya adalah yang paling terbaik sih ketimbang novel-novel John Green lainnya, saya sangat suka karakter Alaska. Tapi, di Paper Town, sebenarnya perangai Margo juga sedikit mirip dengan Alaska Young.
Selain looking for alaska sama the fault in our star, novel john green yang paling rekomen apa kak ? 🙂
Kebanyakan orang suka Papertown, tapi saya sendiri suka novel kolaborasi John Green dengan Lauren Myracle dan Maureen Johnson. Dingin-dingin manis gitu 🙂
Kak, kk punya ebooknya ga? Versi bindo atau binggris gt. Kalau beli digramed harganya brp yang terjemahan?
Versi Bahasa Inggris punya, tapi formatnya epub. Kalau beli di toko buku online seperti: bukabuku.com atau pengenbuku.net, harganya Rp 51.000, tapi sepertinya sekarang yang tersedia yang covernya versi film.
maksud dari endingnya apa sih? kok Margo gak mau balik ke Florida sama Q?
Kalo dari pandangan aku itu Margo masih mau mencari tujuan hidupnya dikota itu dan makanya belum mau balik sama Q. Nah, abis itu kan Q kayak cerita Margo jadi apa disana. Kalo aku dari film. Kalo dari novelnya ya hampir sama juga sih menurut aku. Bantu jawab aja hehe