Judul : The Darkest Minds (The Darkest Minds #1)
Penulis : Alexandra Bracken
Penerjemah : Lulu Fitri Rahman
Penerbit : Fantasious (Ufuk Publishing House)
Terbit : Cetakan pertama, 2014
Tebal : 584 halaman
Rate : 5 /5
“Mereka tidak pernah takut pada anak-anak yang akan meninggal, atau kehilangan yang mungkin terjadi. Mereka takut pada kami—anak-anak yang masih hidup.” —The Darkest Minds, hlm. 7
Dunia baru saja jungkir balik. Para orangtua berbondong-bondong memasukkan anak mereka ke dalam kamp, atau lebih tepat disebut rumah sakit jiwa. Nyatanya, kala anak pertama bernama Grace Somerfield meninggal; misteri pun mulai terkuak. Mereka menyebutnya seabgai penyakit Everheart, tapi tak lama kemudian orang memberikan nama yang lebih layak sebagai: Idiopathic Adolescent Acute Neurodegeneration—Degenerasi Saraf Akut Remaja Idiopatik (IAAN).
Di hari ulang tahunnya yang kesepuluh, Ruby mencium kening kedua orangtuanya sebelum tidur, tapi ia tak pernah tahu, kalau tanpa sadar ia baru saja menyeludup ke dalam benak mereka dan memanipulasinya dengan sebuah kilatan cahaya.
Keesokan harinya, Susan—ibunya—memekik ngeri, mengetahui seorang gadis baru saja merangsek ke dalam dapurnya. Namanya Ruby. Tapi bukankah Ruby nama anak perempuan mereka? Lantas, mengapa ia tak kenal tentang gadis yang baru saja mengucek mata dan turun dari kamar tidurnya itu?
“Mom?” Kemudian, lebih keras. “Mom?”
Dia berbalik begitu cepat sehingga wajannya jatuh dari kompor dan hampir menjatuhkan korannya ke nyala api. Kulihat tangannya terulur ke kompor di belakang, memutar salah satu kenop hingga bau gas lenyap.
“Aku tidak enak badan. Boleh aku di rumah saja hari ini?”
…
“Bagaimana—bagaimana caramu masuk?”
…
“Aku tanya bagaimana caramu masuk, Nona. Siapa namamu? Kau tinggal di mana?”
…
“Aku tinggal di sini!” ucapku. “Aku tinggal di sini! Aku Ruby!”
—The Darkest Minds, hlm. 352
Ruby masuk ke dalam kamp Thurmond enam tahun lalu. Kamp yang menakutkan dengan para penjaga PSF yang selalu mengadakan patroli. Dalam Thurmond, para tahanan anak diberi kategori; Hijau, Biru, Kuning, Oranye, dan Merah. Warna-warna itu disemprot silang di punggung mereka. Ruby dimasukkan dalam kategori hijau. Kategori yang tidak terlalu berbahaya, tapi di dalam benaknya, gadis itu tahu, ia harus selalu menjaga jarak dengan orang-orang karena tak ingin menyakiti mereka, terlebih Samantha—satu-satu sahabatnya di dalam kamp.
Kala itu Dengung Statis itu menyala, Ruby ditemukan ambruk di Kebun. Satu pertanyaan yang mencuat, Dengung Statis tak seharusnya memengaruhi Hijau. Mereka seharusnya hanya memengaruhi Kuning dan Oranye, lantas siapakah Ruby?
Memasuki sebuah ruang imajinasi milik Bracken, pembaca dijamin dibikin pusing bukan kepalang. Bukan hanya tatanan ruang dan latar yang dipilinnya, namun plot yang membuat semuanya bertanya, apa yang sesungguhnya hendak ia sampaikan kala melibas halaman pertama. “The Darkest Minds” sudah memukau para calon pembaca lewat sampulnya yang pasti, banyak pertanyaan yang terbersit, terlebih dengan adanya lambang Psi di tengah-tengah dan kumparan api yang mengelilinginya, tapi dua hal tersebut sudah dapat merepresentasikan isi cerita “The Darkest Minds” sesungguhnya.
Di tengah-tengah gejolak genre distopia yang bermunculan, Alexandra Bracken bisa dibilang cukup berhasil memadukan ide gila dan unik miliknya untuk disambut ceria oleh para pembaca. Kalau sebelumnya cerita-cerita distopia seperti “Divergent” dan “The Hunger Games” dirasa mirip-mirip, lantas “The Darkest Minds” bisa dibilang sebuah hawa baru bagi genre distopia yang lebih tereksplorasi. Konsep “The Darkest Minds” sendiri berjalan ke arah plot penuh aksi laga, fiksi ilmiah, petualangan, dan roman remaja. Mirip dengan “The Maze Runner”, ide distopia di sini lantaran sebuah wabah penyakit, tapi kemampuan yang dimiliki setiap individunya bukan sebuah kekebalan terhadap wabah tersebut, alih-alih, sebuah kemampuan mirip mutan di X-Men.
Bracken tidak serta-merta memperkenalkan idenya mengenai individu-individu seperti Ruby di halaman pertama. Plotnya disusun secara acak. Kalau di prolog, pembaca menemukan narasi dengan sudut pandang seorang Ruby yang tengah ambruk di tengah serangan Dengung Statis, barulah semuanya terasa dipilah-pilah kala bab pertama. Saat Ruby—sebagai seorang narator—menjelaskan kapan semuanya mulai terjadi dan apa yang sesungguhnya sudah terjadi dengan negeri yang dipijaknya.
Di balik sebuah plot, Bracken juga mendeskripsikan latar setiap adegannya dengan gaya penceritaan “show”. Juga saat menjelaskan adegan dan kontur-kontur bangunan yang terlibat dalam petualangan Ruby. Hanya saja ada kekurangan dari sifat narasi tersebut. Dengan sebuah latar yang terasa asing dan ide yang dirasa baru dan tidak terpikirkan oleh pembaca, saya pun awalnya sedikit merasa bingung saat membaca halaman pertama hingga bab prolog lantaran banyak narasi yang rasanya lompat-lompat, dijelaskan rinci, tapi sulit ditangkap otak. Sempat sesekali membalik ke blurb di sampul belakang, berusaha mencari tahu tentang apa yang sesungguhnya ingin diceritakan oleh Alexandra Bracken. Hingga di bab satu ia mencoba mengeksposisi idenya dari napak tilas seorang Ruby, akhirnya saya tahu, kalau “The Darkest Minds” memang punya ide yang sungguh patut diacungi jempol.
Ruby sebagai tokoh utama diceritakan sedikit berbeda di sini, kalau mungkin di novel-novel distopia lain para pemain utamanya yang seorang perempuan diceritakan kuat seperti Katnis Everdeen, Ruby punya sisi yang sangat lemah. Entah terkadan menjengkelkan karena dia diceritakan sangat tertutup, pemalu, tapi terkadang nyalinya malah mengundang rasa penasaran saya. Namun, selain keunikan tokoh Ruby, Bracken masih mencoba mengikuti track record cerita-cerita yang ada. Kalau ada heroine, maka ia pun menciptakan Liam Stewart sebagai seorang hero untuk menemani Ruby. Di samping Liam, ada juga Charlie “Chubs” Carrington Meriwether IV, dan Suzume “Zu”. Bertemunya Ruby dengan geng pelarian inilah, konflik cerita menjadi menanjak, terlepas dari deskripsi cerita yang mulai menurun di awal buku kala Ruby masih di dalam Thurmond. Misi mereka sederhana; melarikan diri dari pelacak jejak dan menemukan East River tempat Slip Kid berada. Mereka yakin, Slip Kid dalam menampung anak-anak berkebutuhan “khusus” seperti mereka. Keberadaan Chubs dan Zu pun membuat saya, sebagai pembaca yang kebingungan, akhirnya tahu tentang kemampuan-kemampuan keren mereka, seperti misalnya: telekinesis, mind-reading, mind-control, dan meledakkan benda-benda, yang sesungguhnya dimaksud sebagai sisi keren dari ide “The Darkest Minds”.
Kembali pada wujud sebuah novel terjemahan, “The Darkest Minds” bisa dibilang punya terjemahan yang baik, dengan kerumitan cerita dan plot yang tinggi, terjemahannya masih cukup enak dibaca dan untuk terbitan Penerbit Ufuk, menurut saya, kualitas penerjemahannya sudah baik, pun dari sisi editorial. Teringat dulu, saat membaca seri kelima The Mortal Instrument, buku-buku Ufuk mulai mengalami kemerosotan dari banyaknya salah pengetikan di halaman-halamannya, tapi untuk “The Darkest Minds” saya bahkan jarang menjumpainya.
Untuk bagian-bagian menarik, saya rasa, saya sangat suka tentang ide kemampuan tersembunyi Ruby. Dan hubungannya dengan Liam. Bagaikan cerita vampir, Bracken memang jenius dalam merangkai ide dan analogi lain dalam menjelaskan kisah manis mereka berdua.
“Aku monster, tahu. Aku salah satu monster yang berbahaya.” –The Darkest Minds, hlm. 523
Dari lima, tentunya lima bintang full untuk “The Darkest Minds”. Mari tunggu adaptasinya di layar kaca J
Kebetulan tertarik dengan genre distopia dan topik yang diangkat menarik sekali 🙂 aku suka novel yang ada unsur psikologisnya 🙂 Sepertinya akan jadi pertimbangan untuk dikoleksi 🙂
Makasih review-nya, Zura 🙂
Sama-sama, Ami 🙂 iya, ini ada sedikit unsur psikologisnya juga sih, terutama pada bagian Ruby, soalnya dia pun seperti mencari jati diri kembali waktu setelah ulang tahunnya yang kesepuluh.
ah, jadi penasaran sama buku ini. Baru nyelesaiin The Maze Runner dan masih ngos ngos an eh nemu buku baru yang sepertinya seru 🙂
Sepintas ada beberapa bagian dari buku ini yang mirip The Maze Runner sih, tapi The Darkest Minds lebih ke aksi kejar-kejaran mirip film action gitu 🙂 rame banget lho…
Halo, Azura, makasih atas reviewnya. Aku minta izin menautkannya di blogku ya 🙂
Sama-sama, Kak Lulu 🙂 tentu saja boleh dong…
[…] [1] trulyrudiono.blogspot.com [2] letitflowandgo.blogspot.com [3] janebookienary.wordpress.com […]
Reblogged this on The book thief.
Keren reviewnya (y). Aku baru aja selesai baca delirium sama prodigy, terus kepengen baca dystopia lagi, kebetulan ada the darkest mind plus review ini. Mantab (y).
Terima kasih 🙂
Delirium bagus kok, cuma yang ini distopianya sedikit berbeda, lebih tereksplorasi, ketimbang pola yang selama “THG”, “Divergent”, “Delirium”, dan seri lainnya.
Bagusss reviewnyaaa~ kebetulan lagi nyari2 buku buat dibaca.
tapi ini series atau ngga ya? kalau series berapa buku? ~^^
Terima kasih.
Buku ini berseri, kebetulan The Darkest Mind sendiri merupakan yg pertama dari seri trilogi.
Nah, filmnya sudah mau tayang
hai kak, aku baru gabung nih disini. oh ya, mau tanya dong… itu buku nya bahasannya berat dan susah dimengerti ga sih? atau bahasanya malah santai dan enak dimengerti seperti buku harry potter? trm ksh atas jawabanya:)