Judul : Tempest (Tempest #1)
Penulis : Julie Cross
Penerjemah : Angelic Zaizai
Penerbit : Mizan Fantasi
Terbit : Cetakan pertama, Oktober 2014
Tebal : 477 halaman
Rate : 4.5 /5
“Oke, itu benar. Aku bisa berkelana melintasi waktu. Tapi tunggu dulu, ini tidak semenarik yang mungkin kau bayangkan. Aku tak bisa kembali ke masa lalu dan membunuh Hitler. Aku tak bisa pergi ke masa depan dan melihat siapa yang memenangkan Kejuaran Bisbol World Series di tahun 2038. Sampai saat ini, paling hebat aku melompat sejauh sekitar enam jam di masa lalu. Superhero macam apa itu, iya, kan?” —Tempest, hlm. 8
Di tahun 2009, Jackson Meyer, remaja 19 tahun itu tahun akan kemampuannya setahun lalu, kala dirinya tak sengaja tertidur di kelas dan melompat menuju masa lalu. Tapi, selama ini, lompatan yang diujicobakan tak lebih dari enam jam, berikut dengan eksperimen-eksperimen amatir yang dipraktikkan Adam, si Sahabat Jenius. Jackson menimpan jurnal eksperimen itu dengan seperti silabus praktikum. Tak lebih. Itu semua hanya sekadar lompatan waktu anak bawang. Bermain-main, melihat sekitar, lantas kembali lagi ke home base.
Tapi, ada yang tak beres dengan malam itu. Ketika ia mengubah rencananya secara sepihak dengan Adam, dan mengunjungi tempat tinggal Holly. Orang-orang asing mulai merangsek masuk. Jackson pikir, itu pasti mata-mata ayahnya. Kevin Meyer, sang CEO, yang selalu menyimpan rahasia. Tapi, betapa kagetnya Jackson saat tahu, bahwa orang-orang itu tahu, ia bisa melompat sewaktu-waktu. Jackson begitu mengkhawatirkan Holly. Apa yang harus ia lakukan?
“Bunyi letusan berdentam di telingaku, diikuti oleh jeritan Holly. Kemudian semuanya seolah berhenti—jantungku, napasku … waktu.” —Tempest, hlm. 36
Jackson terlempar ke masa lalu. Ia terjebak di tahun 2007. Sudah puluhan lompatan yang ia lakukan hari itu, tapi ia tak bisa kembali ke 2009. Jackson mengkhawatirkan keadaan Holly; sekaligus berusaha mencari tahu, apa yang coba ditutupi oleh Kevin Meyer dengan para agen rahasia direkrutnya. Apakah orang-orang asing tersebut mempunyai keterkaitan dengan salah satu divisi di CIA?
Perlu beberapa jenak untuk masuk ke dalam linimasa yang dimaksud oleh Julie Cross. Ketika buku-buku distopia membombardir rak di setiap toko buku, Julie Cross hadir dengan sebuah kombinasi genre yang luar biasa mencengangkan. Sedikit heran dan sedikit tertipu juga dengan sampul depan yang dihadirkan Mizan Fantasi untuk versi terjemahan Bahasa-nya. Saya pikir pada mulanya, buku ini pasti bercerita tentang bersifat mitologi dan dreamy, seperti dongeng sebelum tidur. Tidak menyangka malah kalau di dalamnya akan banyak adegan aksi yang melibatkan baku-tembak. Tapi, begitulah “Tempest”. “Tempest” sendiri sesungguhnya diambil dari Bahasa Latin tempus yang artinya “waktu”. Dan “Tempest” adalah sebutan dari divisi CIA bagi para penjelajah waktu. Dan klan Tempest dalam serial “Tempest” dibagi atas dua kelompok, yaitu yang baik dan yang jahat (Enemy of Time). Namun, baik dan jahat tersebut sebetulnya masih sedikit pirau di buku pertama. Karena kelompok baik dan jahat itu sesungguhnya merupakan penilaian berdasarkan persepsi para tokoh di dalamnya. Lantas di manakah Jackson?
Ide “Tempest” yang dicanangkan oleh Julie Cross bisa dibilang agak membingungkan lantaran kalau dalam film-film pada umumnya, sebuah lompatan waktu ke masa lalu/masa depan pastinya akan memengaruhi hal di masa sekarang. Berbeda dengan “Tempest”, lompatan tersebut sesungguhnya adalah sebuah lompatan tanpa dampak apa-apa. Akan tetapi, sebuah lompatan malah akan membuka cabang yang baru ke linimasa yang lain. Sebuah ide yang luar biasa brilian. Dan saya jamin, pembaca pun, takkan sampai memikirkan “Tempest” hingga ke galur sebelah sana karena “Tempest” dibuka dengan sebuah kisah remaja pada umumnya. Punya kemampuan keren, dan ia hanya ingin bermain-main dengan kemampuannya.
Bisa dibilang “Tempest” merupakan kombinasi antara novel roman yang sedikit sentimentil seperti “The Time Traveler’s Wife” milik Audrey Niffenegger bertemu dengan novel-novel suspense sekelas Robert Ludlum dan Tom Clancy. Dan kalau dirangkum dalam wujud sebuah film, bisa saja, “Tempest” akan dikemas seperti serial “Arrow” atau film “Jumper”. Hanya saja yang disayangkan oleh saya, “Tempest” malah digolongkan sebagai novel remaja. Karena sepertinya dari apa yang saya baca, terkadang apa yang coba dituliskan oleh Julie Cross melalui karakter Dr. Melvin atau Adam malah mewakili sebuah genre yang sangat serius. Dan dengan adanya roman dan hal-hal remaja lainnya sebagai cerita selipan, “Tempest” malah terkesan agak tidak konsisten; seolah ingin menejejalkan segala genre ke dalam sebuah novel yang punya gagasan sci-fi yang bisa digarap lebih serius.
Penggayaan cerita yang coba dibawakan oleh Julie Cross dalam “Tempest” banyak menggunakan to show. Sesuatu hal yang pas jika dikombinasikan dengan genre sci-fi dan laga, banyak manuver yang kompleks. Adegan berlari, lompat, dan baku-tembak. Semuanya dijelaskan rapi, rinci, layaknya menonton sebuah film yang menegangkan. Tapi, ada juga beberapa bagian yang coba ia bawakan secara to tell dalam beberapa bagian interogasi dan drama. Dengan begitu dapat disimpulkan kalau penggayaan ceritanya sangat enak untuk dibaca, juga dengan terjemahan Mizan yang baik. Kalimat-kalimat yang dipilih sangat mudah dimengerti, mengimbangi banyaknya adegan yang ruwet tersebut. Hanya saja, kendati Jackson Meyer dipilih sebagai sudut pandang orang pertama yang bercerita, saya masih bisa merasakan kesan seorang penulis perempuan dalam pemilihan konflik drama dan alurnya. Begitu juga dengan gaya berceritanya yang banyak memilih narasi yang sedikit dramatis dan emosional, tidak seperti penulis laki-laki yang lebih banyak membicarakan hal-hal yang terkesan logis.
“Tempest” memilih alur yang maju dan mundur yang maju. Membingungkan? Tapi begitulah Julie Cross mengharapkan pembaca “Tempest” untuk selalu waspada; tak lupa membaca keterangan waktu di tiap babnya. Karena ke mana Jackson akan melompat? Tidak ada yang tahu. Dan tidak setiap lompatan tersebut berhasil, terkadang ia melompat ke lini masa yang berbeda. Ada beberapa adegan flashback yang sesungguhnya terselip dalam narasi-narasi Jackson, tapi tidak dihadirkan sebagai flashback yang terpisah. Dan itulah yang saya suka dari “Tempest”, Julie Cross seolah-olah menceritakan sebuah adegan yang maju dan mundur dengan bersamaan, beberapa kali mungkin pembaca akan tertukar, tapi kalau sudah terbiasa, saya pikir, ini merupakan motode yang keren untuk menulis.
Dengan banyaknya lompatan yang dilakukan oleh Jackson, membuat Julie Cross harus bersiasat lebih keras dalam memaparkan latar ceritanya. Bisa dibilang kalau latar utamanya adalah tahun 2009 di New York, tetapi beberapa kali latar tersebut akan berubah, dan mungkin di tahun yang sama, hanya di liniwaktu yang baru, sehingga ada dua tempat yang sama tetapi berbeda. Untuk latar Central Park, Julie Cross menyelipkan sisi ekstrinsik yang baik melalui adegan antar tokohnya, tapi mungkin untuk menengahi soal liniwaktu yang satu dan yang lain, saya sungguh berharap buku ini punya tampilan visual yang bisa meluruskan kebingungan pembacanya.
Dan untuk penokohannya, untuk Jackson Meyer sendiri, Julie Cross membentuknya dengan baik, tapi mungkin saya merasakan sedikit hawa feminin dalam narasinya. Dan untuk Holly, seperti perempuan-perempuan di tokoh superhero, dia gak tahu apa yang akan menghadangnya. Dan untuk Kevin Meyer, alias Dad, ini yang sedikit kurang. Saya merasakan penokohannya yang kurang dibumbui ekstrinsik dari dunia CIA, sehingga di pertengahan saat saya tahu, anaknya mencurigai ayahnya bekerja pada CIA, saya sedikit nyengir. Ini pasti bualan. Tapi, seiring berjalannya cerita, saya suka dengan penokohan dari kelompok-kelompok EOT (Enemy of Time), entah kenapa dengan beradaan mereka, saya pikir, cerita ini menjadi “yakin” dan beranjak serius. Mungkin bisa dibilang, Julie Cross menciptakan tokoh-tokohnya untuk bermain tambal sulam, menciptakan, lantas silih meyakinkan.
Secara keseluruhan, sebenarnya saya ingin memberikan 5 bintang untuk “Tempest”. Tapi, rasanya ada sedikit rasa kurang yakin untuk bintang setinggi itu, mungkin 4.5. Saya merasa “Tempest” sangat keren bagi sebuah novel remaja; dengan ide yang luar biasa dan klimaks-klimaks yang mengejutkan. Tetapi dalam novel, ada banyak bagian membuat saya bingung dan perlu tampilan visualnya. Di lain sisi, jika “Tempest” dibuat sebagai film sebagai representasi visualnya, saya merasa, plotnya akan terlalu remaja yang banyak menyorot roman dan drama. Seperti ingin lebih tapi pasti tidak sebagus yang diingini tersebut. Mungkin “Tempest” merupakan guilty pleasure bagi saya
ketemu blog yang bagus untuk mereview buku. salam perkenalan . .
terima kasih ya sudah berkunjung 🙂 salam kenal juga.
Reblogged this on The Book Thief.
Tempest mengingatkan saya pada film Butterfly Effect-nya Ashton Kutcher.. Bedanya, BE mengubah masa dpn dalam satu galur kalo Tempest tdk mengubah kalo dlm satu galur..
Iya, bisa dibilang mirip, soalnya dia jadi bisa berhubungan dengan orang-orang terdekatnya di masa lalu, cuma benar kata kamu, kalau Tempest ini, si pelaku lompatan gak bisa berbuat apa-apa buat mengubah hal yang bakal terjadi di mana depan.