Judul : Happily Ever After
Penulis : Winna Efendi
Penerbit : Gagasmedia
Terbit : Cetakan pertama, 2014
Tebal : 358
Rate : 3.5 /5
“Kurasa, pada dasarnya, memang tak ada yang pasti dalam kehidupan ini; bukan kebahagiaan, bukan stabilitas, bukan kesehatan, bukan cinta, bahkan bukan persahabatan.” –Happily Ever After, hlm. 143
Jika ditanya ingin menjadi apa, agaknya Lulu satu-satunya yang menjawab: ingin menjadi seperti Ayah. Ayah tukang kayu, arsitek merangkap kontraktor yang telah merancang rumah impiannya. Ayah yang sedari dulu menjadi tempatnya berbagi. Dan Ayah yang sedari dulu menceritakannya dongeng-dongeng dari Grimm Bersaudara.
Lucia Surya, atau lebih akrab dipanggil Lulu, memang berbeda dengan remaja lain seumurnya. Lulu bukannya tidak bisa bergaul, hanya saja ia memilih untuk tidak. Setelah apa yang telah dialaminya, Lulu bersikap dingin dan menarik diri. Ia lebih baik sendiri. Tidak ditemani sahabat. Tidak punya pacar. Keduanya toh tidak membutuhkan dirinya.
Lulu menjalani hari-harinya di sekolah seperti neraka; di-bully, dicela, hingga julukan Lucifer melekat pada dirinya. Tapi Lulu selalu berusaha untuk ceria di rumah. Semua itu karena ada Ayah. Namun, di ulang tahunnya ke-16 tahun, Lulu harus bisa menerima kalau waktu Ayah tak lama lagi untuk berada di sisinya.
“Tapi, bukan karena berarti cerita ini nggak bagus, atau karakter-karakternya nggak pernah bahagia. Kadang, sebuah cerita yang bagus punya akhir sedih. Karena itulah Ayah suka cerita ini.” – Happily Ever After, hlm. 275
Sekadar menyimpulkan, bisa dibilang “Happily Ever After” ini berbicara tentang kontradiksi. Dengan judul yang naif, tapi isinya malah berkata yang sebaliknya. Kalau sebelum-sebelumnya Winna Efendi lebih menekankan pada soal persahabatan dan cinta, kali ini menyelipkan satu genre yang dominan dalam novelnya, yaitu: “keluarga”.
Dari banyak cerita yang ditulis Winna Efendi, bisa dibilang ini salah satunya yang berkarakternya. Dan setelah “Sabtu Bersama Bapak” karya Adithya Mulya, “Priceless Moment” karya Prisca Primasari, kali ini Winna Efendi turut menulis sebuah novel bertajuk keluarga. Masih khas Winna Efendi yang dibungkus cerita persahabatan, ada karakter Lulu dan Karin, keduanya mengingatkan saya pada karakter Blair Waldorf dan Serena van der Woodsen dalam serial teve “Gossip Girl”. Sahabat yang saling sayang, tapi saling bersaing dan saling tusuk dari belakang. Tapi, kalau dibanding dengan “Tomodachi”, novel Winna Efendi yang saya baca sebelumnya, “Happily Ever After” lebih memuaskan saya dari segi plotnya. Ceritanya lebih bermain. Ada sedikit banyak jalan cerita yang memang sudah tertebak, tapi untuk kali ini, saya rasa, lagi-lagi saya menyukai cara Winna Efendi dalam mengakhiri ceritanya.
“Happily Ever After” dari segi alur adalah sebuah novel yang sangat rapi. Saya menikmati setiap pembagian bagiannya dengan runut dan sangat konsisten. Selain ada pembagian bab, ada pula pembagian sub-bab yang lebih detail, yang disertai oleh quotes. Bisa dibilang, quotes merupakan ciri khas dari Winna Efendi. Dan dalam “Happily Ever After”, Winna Efendi menyelipkan lebih banyak quotes ketimbang novel-novel sebelumnya. Quotes yang sederhana, tapi berperan penting untuk menjadi kunci utama agar pembaca bisa dapat menebak sub-bab yang akan mereka hadapi. Terlepas dari plot yang runut tersebut, agar terkesan menjadi sebuah bagian dari alam dongeng, Winna Efendi tak lupa membuat sebuah penutup cerita dongeng di setiap bagian dari novelnya. Hanya saja, pada bagian tersebut, saya tidak terlalu menaruh minat pada gaya bahasa Winna Efendi yang sangat kaku, khas cerita dongeng sebelum tidur.
Saya selalu menyukai gaya penulisan Winna Efendi yang luwes. Ada sedikit banyak hal yang mengingatkan gaya penulisannya dalam “Happily Ever After” pada bukunya “Remember When” apalagi tema ceritanya yang juga berkelindanan dengan dunia SMA. Kendati demikian, dari seluruh buku Winna Efendi, jagoan saya memang tetap “Melbourne”. Mungkin masalah selera. Dalam “Happily Ever After”, gaya bahasa Winna masih tetap mudah dimengerti dan mengalir, perbedaannya dibuat sedikit mendayu-dayu, sehingga menarik perhatian pembaca untuk ikut merasakan momen-momen hangat dan mengharukan milik Ayah dan Lulu.
Kalau di “Tomodachi”, Winna Efendi bercerita dengan latar Negeri Sakura, kali ini Lulu dan teman-temannya kembali menghuni ibukota Jakarta. Latar Jakarta dibicarakan dengan gamblang di narasinya, tapi menurut saya, dari pendeskripsian secara dramatisasi, latar Jakarta sendiri malah terasa luntur. Banyak hal yang terlalu magical jika setting ceritanya berlokasi di Jakarta. Mulai dari rumah Lulu, rumah tanpa penghuni, dan kawasan tempat tinggalnya. Hingga sekolah milik Eli yang punya kolam renang. Saya malah mengimajinasikan kalau setting-setting tempat tersebut terletak di luar negeri. Sedikit simpang-siur sesungguhnya. Mungkin Winna Efendi perlu menambah banyak unsur ekstrinsik lagi yang bersangkutan dengan Jakarta, agar dapat meyakinkan pembaca.
Berbicara soal Lulu versi enam belas tahun, saya menyukai gaya penokohan yang dipaparkan oleh Winna Efendi. Tidak aneh-aneh. Mudah dipahami. Dan mudah dibayangkan. Seperti remaja Indonesia kebanyakan. Terutama sosok Ezra yang berandalan. Di mana pun novel Winna mengambil tema, pasti ada hierarki semacam cowok populer seperti quarterback atau cewek populer yang drama queen yang bermain-main sebagai karakternya. Dan saya suka itu. Tapi, dari semua itu, saya paling menyukai karakter Ayah di cerita “Happily Ever After”, Ayah adalah karakter yang tidak bisa ditebak; tenang tapi malah mengontradiksi setiap kesedihan yang Lulu rasakan. Namun, dari sisi beberapa dialog di awal ceritanya, saya sedikit salah membayangkan umur Lulu, mungkin karena beberapa gaya bahasa yang digunakan pada dialognya yang sangat santai. Saya malah terbawa suasana dari epilog ke bab pertama dan mengira kalau Lulu adalah seorang anak umur lima tahun yang mecintai dongeng. Ups.
Secara keseluruhan, saya memberikan skor 3,5 dari 5 untuk “Happily Ever After”. Lebih oke dari “Tomodachi” dari segi konflik. Suka sekali dengan kalimat-kalimat cantik Winna Efendi yang sederhana tapi sarat makna. Tapi, dari seluruh novelnya, cangkir kopi saya tetap masih dipegang oleh “Melbourne: Rewind”.