Judul : Finishing Touches ‘Sentuhan Akhir’
Penulis : Deanna Kizis
Penerjemah : Ingrid Dwijani Nimpoeno
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : Cetakan pertama, Maret 2011
Tebal : 464 halaman
Rate : 4/5
“Ketika seseorang yang dekat dengan kita meninggal, kita sering kali bertanya-tanya mengapa bukan kita saja yang meninggal. Kita mungkin merasa bahwa pasangan kita tak tergantikan, atau mungkin mendapati diri kita bersemangat untuk berkencan.” —Finishing Touch ‘Sentuhan Akhir’, hlm. 359
Jesse Holtz baru saja menyadari segalanya di umur 29, ketika seluruh kerabat dan para sahabat mempertanyakan alur hidupnya. Ia pikir, dirinya masih bisa bermain-main seperti SMA dulu. Punya dua sahabat keren, tanpa memedulikan kehadiran pria pendamping yang tepat. Semuanya sempurna. Jesse sudah terbiasa dengan label “pemain pendukung”. Menyemangati Cecile yang cantik dan glamor, pun Bryn yang pintar.
Cecile dan Zach; Bryn memilih berkencan dengan rekan sekamar Zach, David. Sedangkan Jesse adalah orang kelima dalam grup kencan ganda mereka. Hingga di suatu malam, Zach mengabarinya tentang kecelakaan lalu lintas yang menimpa Cecile.
Semua orang sempat menggantungkan harap tinggi-tinggi seperti yang dilakukan Jesse. Tapi, kecelakaan fatal itu malah merenggut nyawa sahabat terbaiknya. Jesse seketika itu menjadi linglung. Ia perlu seseorang untuk mengerti. Dan di saat yang sama, Zach pun membutuhkan seseorang untuk menghibur dirinya.
Zach dan Jesse. Gadis itu mulai mempertanyakan pertemuan mereka yang bermula di sebuah asrama kampus sepuluh tahun silam. Tentang pria menarik bermanik biru yang menggodanya di sisi api unggun. Jesse tidak seharusnya terlibat. Zach baru saja kehilangan Cecile, pun dirinya. Bukankah seyogianya mereka berkompromi? Tapi, bagaimana jika ia malah terperosok dalam perasaan-perasaan bodohnya di masa perkuliahan dulu? Dan jangan katakan kalau Zach juga ikut menaruh perasaan padanya.
Lucu, sedih, dan menyentuh. Tiga kata yang tepat untuk “Finishing Touches” karya Deanna Kizis. Dengan ide yang sederhana tapi berbeda. Saya sungguh menikmati kisah seorang Jesse yang tidak hanya berada di saat-saat lucu; kala ia berkelakar atau menghabiskan waktu dengan para sahabat. Tapi, ketika ia berada di bawah di-judge oleh banyak mata di sekelilingnya. “Finishing Touches” tidak bercerita seperti chicklit pada umumnya, bagaimana seorang perempuan kosmopolit hidup di tengah glamor kota. Dan bagaimana masalah cintanya yang konyol dan picis itu mulai diungkap dengan banyak ungkapan metonimia. Alih-alih, mengungkapan perjalanan hidup Jesse yang sarat realitas. Dengan konflik-konflik yang agaknya dikutip dari peristiwa yang banyak terjadi di tengah kehidupan bersahabat dan berumah tangga.
Dari segi bahasanya, Deanna Kizis semacam salah satu penulis yang saya tarik random bukunya di kotak diskon seminggu lalu. Tapi, bukan begitu gaya bahasanya turut menyandang label murah. Masih sekelas chicklit lain, dengan penuh pernak-pernik yang kerap digunakan oleh para penduduk urban dan gaya bahasa metonimia yang bertemperasan di mana-mana. Namun, yang saya tangkap dari “Finishing Touches” adalah tentang dialog yang dibuat ringkas, yang jarang saya temukan di chicklit lainnya. Kalau banyak chicklit gemar mengumbar dialog-dialog gunjingan ala wanita perkotaan, Jesse sebagai naratornya lebih suka mengungkapan dialog itu sebagai bentuk kalimat tidak langsung yang dilontarkannya seperti sebuah kecelakaan. Dan dengan karakter Jesse yang penuh pertimbangan, akhirnya saya menemukan sesuatu yang menarik seperti yang saya jumpai dalam novel fenomenal “Gone Girl” karya Gillian Flynn, yaitu tentang dialog yang ditutup-tutupi. Saya rasa ini sangat menarik. Sebagai pembaca, Deanna Kizis seolah menempatkan saya untuk ikut men-judge Jesse yang sering sekali bertingkah plin-plan dan banyak pertimbangan.
“Finishing Touches” menghadirkan plot yang tidak bertele-tele. Di akhir setiap sub-babnya memang terkesan sedikit terburu-buru, tapi saya rasa, saya menyukai ide itu, tentang bagaimana Deanna Kizis menyimpulkan alur ceritanya yang maju-mundur sehingga pembaca jelas mengenai apa yang ingin disampaikannya sebagai klimaks dalam sub-bab tersebut. Hanya saja yang membuat saya sedikit kaget adalah plot twist yang dipaksakan saat menjelang akhir cerita. Tentang kehadiran seseorang yang tidak pernah diungkapan di bab-bab sebelumnya dan malah ikut terlibat sebagai penutup kisah Jesse Holtz.
Sebagai latar, “Finishing Touches” mengambil la la land, Los Angeles. Completely different. Tidak kaget hanya saja membuat saya tersenyum. Mungkin ini pertama kalinya saya mendapati novel chicklit dengan latar LA, kendati begitu banyak novel ber-genre sama mengambil Kota New York atau Irlandia sebagai latar utama, tapi latar LA di “Finishing Touches” sendiri bukan menjadi komponen yang penting dalam alur cerita karena pokok yang ingin dihadirkan Deanna Kizis agaknya lebih ingin menyinggung tentang dilema para tokohnya yang berduka.
Dari banyaknya komponen yang menarik, Deanna Kizis paling baik menuturkan penokohan para tokoh dalam “Finishing Touches”. Dari sebuah kisah yang klise, tapi unsur penokohan-lah yang membuat “Finishing Touches” menjadi penuh bumbu dan dilema. Dari kehadiran Jesse yang plin-plan dan penuh pertimbangan. Karakter Jesse Holtz sendiri sesungguhnya bukan tipikal seorang karakter utama dalam chicklit, yang harafiahnya lebih merujuk kepada karakter Bryn atau Cecile, yaitu yang penuh intelejensi, seorang yang percaya diri, punya jabatan yang hebat dan penampilan yang luar biasa memuak. Sebaliknya, Jesse Holtz malah digambarkan selalu di belakang layar, mirip tokoh-tokoh pada novel young adult (seperti “To the Boys I’ve Loved Before” karya Jenny Han) yang minder dan takut dalam mencoba hal baru.
Dan Zach, sebagai lawan mainnya, Zach punya pikiran yang impulsif dengan satu tujuan balas dendam kepada keadaan. Mungkin di awal Zach digambarkan sangat menawan dan tegar, tapi ada beberapa bagian di pertengahan yang akhirnya membuat jati dirinya terungkap, yaitu Zach sesungguhnya seorang yang penakut dan rapuh, ia selalu berpikir kalau dirinya akan segera kehabisan waktu karena sesuatu yang penting dalam hidupnya baru saja direnggut oleh maut, dan kini, ia siap merebut kembali semua itu dengan bantuan Jesse. Dua karakter yang sangat rill. Dan sangat padu.
Mungkin ada saat-saat, saya menganggap “Finishing Touches” sebagai novel chicklit sarat lelucon yang ringan seperti biasanya, tapi hingga saya menutup lembar terakhir, “Finishing Touches” bisa disimpulkan sebagai chicklit yang berbeda. Tidak diakhiri seperti kisah chicklit pada umumnya, tapi saya menarik simpulan yang lebih dewasa dari segala sisi, dari sisi tokoh, dari sisi lingkungan, dan dari sisi alur yang sederhana tapi penuh kesan realistis.
Dari 5, saya memberikan 4 untuk “Finishing Touches”. Sungguh jarang bisa menemukan novel dengan tema sedih sekaligus lucu dalam satu paket.