Judul : Under the Never Sky (Under the Never Sky #1)
Penulis : Veronica Rossi
Penerjemah : Dina Begum
Penerbit : Mizan Fantasi
Terbit : Cetakan pertama, September 2014
Tebal : 492 halaman
Rate : 3.5/5
“Sebuah dunia yang benuh dengan tidak pernah di bawah langit yang tak pernah ada” —Under The Never Sky, hlm. 168
Aria tak pernah menyangka kalau ia akan berada sangat dekat dengan Gerai Maut, dunia di balik dinding Pod, di mana badai Aether berdengung kencang menaungi mereka. Dunia sudah terlanjur kacau balau saat Aria dilahirkan, manusia terbagi atas dua kubu; kubu yang mendekam di balik naungan kubah Pod—disebut sebagai Tikus Mondok—dan Orang Luar, suku-suku liar yang primitif dan kanibal.
Setelah insiden kebakaran yang menimpa Ag 6, Aria mendapati Smarteye-nya raib. Ia ingat kalau malam itu Soren dan kedua antek-anteknya mengajaknya memasuki tertorial terlarang di Ag 6. Perilaku mereka sungguh pelik. Soren ingin menujukkan kalau mereka bisa bebas tanpa status Penghuni Pod. Membuktikan bahwa api adalah sesuatu benda yang luar biasa. Tapi, Aria tahu, tindakan itu telah melanggar kebijakan yang berlakukan oleh Direktur Keamanan. Aria berniat merekam, namun sekonyong-konyong surel dengan subyek “Burung Ketilang” dari Lumina, ibunya, muncul di layar Smarteye. Sesuatu yang tidak beres sudah terjadi. Aria tidak dapat mengecek surel itu lebih lanjut, seseorang kepalang membuatnya tak sadarkan diri.
Direktur Keamanan Reverie menuduh Aria sebagai penyebab kebakaran di Ag 6 dan membuangnya ke Gerai Maut. Aria pikir, ia akan segera mati. Hidup di antara desir pepohonan dan kegelapan di tengah malam. Semuanya terasa menjijikkan. Namun, takdir berkata lain dan mempertemukannya dengan seorang pemuda dari Suku Tide bernama Perry. Seseorang yang angkuh, tak banyak bicara, tetapi ia perlu bantuan Aria, pemilik Smarteye yang diambilnya tempo hari.
Kaum primitif, kanibal, dan hi-tech. Tiga hal yang menjadi keunggulan Veronica Rossi dalam membangun latar belakang para tokoh utamanya. Diimbangi dengan tema populer yang banyak diangkat oleh para penulis di era 2013; sebuah imajinasi tentang bagaimana manusia akan bertahan hidup setelah bencana yang meluluhlantakkan seluruh negeri. “Under The Never Sky” terbilang cukup menghibur.
Menggabungkan kesan primitif seperti trilogi “The Hunger Games” dengan Sektor 13-nya—kala orang-orang harus berburu untuk mendapatkan makanan, membuat pakaian tradisional—dan kesan hi-tech seperti seri “Pretties” karya Scott Westerfeld, kala semua orang menggunakan teknologi canggih, dapat mengubah genetika mereka sehingga menjadi cantik dan tangkas untuk melakukan sesuatu hal. Dua hal yang kontras tapi Veronica Rossi mengambil langkah yang luar biasa berani untuk menggabungkan dua ide tersebut.
“Under The Never Sky” bisa dianggap cukup berhasil. Hanya saja di beberapa bab awal, saya cukup sulit untuk terjerumus ke dalam imajinasi gilanya. Mungkin lantaran diimbangi oleh gaya penulisan Veronica Rossi yang menjurus ke to show. Gaya penceritaan tersebut memang sangat efektif jika dipadukan dengan genre yang diambil “Under The Never Sky”; banyak manuver laga, banyak juga perdebatan yang melibatkan penjelasan fisik. Hanya saja di bagian awal ceritanya, agaknya akan lebih baik kalau Veronica Rossi membuat prolog tersendiri untuk menjelaskan hal apa yang terlewatkan oleh pembaca, seperti asal muasal bencana badai Aether, bagaimana dunia terpecah menjadi dua kubu, dan istilah berlaku antar suku di Gerai Maut.
Veronica Rossi membuka ceritanya dengan alur yang sangat lekas. Ia menggunakan sudut pandang orang ketiga, sebuah sudut pandang yang luas, yang dapat berpindah-pindah sewaktu-waktu, menjelaskan ini itu, tidak hanya tokoh utamanya. Dan pertama kali saya membuka lembar bab pertama, nama Aria langsung saja muncul, disusul oleh Soren, Echo, dan sederet nama lainnya yang tidak diketahui tetapi bermunculan begitu saja. Pun dengan latar tempatnya yang dijelaskan hanya berupa label nama Ag 6, Reverie, Pod. Yang membuat saya bingung dengan apa yang tengah terjadi, siapakah orang-orang tersebut dan di manakah ini?
Alur di bab-bab awal “Under The Never Sky” masih terasa konsisten, menanjak ke tengah, alurnya terbilang pelan, tapi saya masih bisa menikmatinya, mungkin karena disesuaikan dengan momen-momen roman yang ada di dalamnya, tetapi agaknya, Veronica Rossi tak sabar ingin mengakhiri ceritanya dengan segera. Ada gaya certia menjadi to tell ketimbang gaya to show seperti di bab-bab awal. Dan saya agak sedikit terpesona dengan endingnya, sangat berbeda dengan novel-novel distopia tentang kehancuran dunia lainnya. Sama-sama mengusung seri trilogi, tapi entah kenapa saya merasa konfliknya ditandaskan dengan begitu cepat.
Veronica Rossi seolah-olah membuat senarai to-do dalam menciptakan konflik-konfliknya, dan semuanya harus komplet di bab terakhir. Mulai dari memperbaiki Smarteye milik Aria, menemukan kemenakan Perry yang hilang diculik oleh Penghuni Pod, mengetahui bagaimana keadaan ibu Aria di Bliss, dan menjadi Pemuka Darah Suku Tide. Semuanya habis dibahas dalam buku pertama. Sesungguhnya saya lebih memilih buku yang punya konflik akbar dan membuat pembaca kesal di penghujung buku pertamanya, karena saya pikir, buku pertama biasanya bersifat sebagai Pilot, yang menyimpan tujuan utama bagi seri-seri selanjutnya, tapi sayangnya, “Under The Never Sky” malah ingin menyampaikan konflik yang lain di buku keduanya.
Akan tetapi, menurut saya, penokohan kedua tokoh utamanya sangat baik. Saya pikir, sesungguhnya gagasan Rossi terhadap “Under The Never Sky” sangat brilian dan digodok dengan matang. Terbukti dengan banyaknya istilah rumit yang coba ia masukkan ke narasi para tokohnya. Seperti Aria yang datang dari dalam Pod. Saya suka sekali dengan kerumitan penjelasannya mengenai barang-barang hi-tech yang digunakan oleh para Penghuni, seperti keberadaan Smarteye, sebuah lensa kontak yang menjadi kunci utama para Penghuni untuk masuk ke Kawasan. Kawasan yang disebutkan di sini sesungguhnya adalah sebuah tempat virtual di mana para Penghuni bersenang-senang.
Juga dari kubu para suku primitif, seperti tokoh Peregrine, atau sering dipanggil Perry. Mereka hidup di alam terbuka dan memiliki tradisi yang sangat kental. Seperti beradaptasi dengan lingkungan sekitar, para pemuda suku mempunyai kemampuan khusus dan dinamai menggunakan klan, seperti kaum Scire—penciuman yang luar biasa peka, Aud—punya pendengaran yang sangat baik, dan lainnya. Selain itu, Veronica Rossi juga menciptakan keberadaan suku kanibal, kaum Croven, yang menjadi tokoh antagonis, yang mengejar Perry dan Aria. Sungguh tiga kombinasi yang keren dan setelah saya berhasil masuk ke dalam jalan ceritanya, akhirnya saya tahu, kalau “Under The Never Sky” ternyata bercerita tentang hal yang tak pernah dipikirkan sebelumnya.
Dari lima bintang, saya memberikan 3,5 untuk “Under The Never Sky”. Cerita yang luar biasa, kendati membuat bingung di awal, tetapi masih tetap asyik untuk dijadikan bacaan ringan. Hanya saja sedikit berharap, Veronica Rossi dapat menciptakan konflik yang lebih rumit lagi di sekuelnya.
P.S.
Sesuai dengan tema Baca Bareng 2015 BBI, di tanggal yang kelewat satu dari jadwal awal ini (maaf kemarin saya dibombardir sama tugas kampus :() saya harus posting soal resensi dan memecahkan riddle yang saya terima tempo hari. Proses pemecahan riddle saya payah banget. Tapi, saya dibantu satu orang yang luar biasa jenius dan ngerti tentang segala hal berbau riddle, namanya A. S. Dewi, yang saya kenal via Twitter.
Dari riddle tulisan yang di atas, sebenarnya saya sudah tau beberapa nama yang menjadi kandidat, akibat bisik-bisik tetangga di grup Whatsapp. Tapi, dari nama-nama itu masalahnya, saya tidak tahu, mana yang menjadi sasaran utama. Dewi yang bilang kalau di klu nomor satunya: “Namaku adalah aplha”. Klu tersebut sudah terjawab, karena “alpha” adalah “satu”, dan “satu” adalah Ika. Jadi pasti namanya Ika. Setelah itu, kalau dilihat dari kalimat selanjutnya: “Tanda-tanda dariku ada di setiap ibukota”, ibukota di sini merujuk ke kata “capital” dalam Bahasa Inggris. Dan “ambil semua dan rangkailah”, sebenernya sudah kentara kalau kapitalnya merujuk ke satu kata “Bintang”. Tapi, lagi-lagi saya belum sadar. Hahaha… dan soal Bintang tersebut, Bintang di sini merujuk ke kata yang menurut saya paling cantik, yaitu “Kartika”. Well, jadi namanya Ika Kartika dan blognya: Ika’s Bookshevles.
Saya mau mengucapkan terima kasih banget buat Ika dan bukunya yang telah mengisi liburan saya kemarin. Hehe… berharap saya bisa ikutan event semacam ini lagi. Seru banget. Dapet pengalaman lucu. Sekaligus dapat teman baru yang asyik juga seperti Dewi. Thanks ya sudah membantu saya memecahkan riddle-nya 🙂
Reblogged this on The Book Thief.
Hihi, dipuji namaku cantik *blushing*
Halo Anastasia Cynthia (panggilannya apa nih?), senang banget bisa kenalan denganmu dan jadi santamu lewat event SS ini 🙂
Salam jitak juga buat mbak Dewi yg udh jd Sherlock-nya 🙂
Saya selalu suka kata “kartika” lho 🙂 hahaha…
Halo juga, Ika. Panggil saya Ching atau enggak Azura, silakan dipilih. Iya, senang juga berkenalan dengan kamu. Saya newbie banget sih di sini, jadi pas tau bisa ketemu temen baru, rasanya seneng juga.
yeay, selamat ya tebakannya bener 🙂
aku juga lumayan suka sama buku ini, tiap hujan dan ada petir aku bayangin hidup kayak di novel ini, ngeriiiiii 🙂
🙂 iya, idenya brilian sih, cuma pengeksekusiannya yang kadang bikin saya sedikit bingung buat berimajinasi hahaha…