The Thirteenth Tale ‘Dongeng Ketigabelas’ – Diane Setterfield

cover-the-thirteenth-tale

 

Judul                     : The Thirteenth Tale ‘Dongeng Ketigabelas’
Penulis                 : Diane Setterfield
Penerjemah       : Chandra Novwidya Murtiana
Penerbit              : Gramedia Pustaka Utama
Terbit                    : Cetakan kedua, Maret 2009
Tebal                     : 608 halaman
Rate                       : 5 / 5

 
 

“Ceritakan padaku yang sesungguhnya, katanya.” The Thirteenth Tale ‘Dongeng Ketigabelas’, hlm. 19

 

Lantaran mendengar perkataan pelik itu, Vida Winter sekonyong-konyong diserang sensasi aneh di sesi wawancara terakhir. Ia bukan sosok yang terbuka, setelah menelurkan novel buku ke-56, Vida Winter tetap menutupi jati dirinya selama empat puluh tahun. Kepada para wartawan yang penasaran, ia memberikan 19 versi jawaban mengenai dirinya. Namun, dari 19 jawaban itu, ia sengaja menutupi kisah kecilnya mengenai Keluarga Angelfield.

Sementara itu, memasuki Laundress Passage, Margaret Lea, seorang penulis biografi muda, menemukan sebuah amplop persegi di teras rumahnya. Surat undangan dari Vida Winter. Hatinya bergidik. Seluruh penjuru negeri jelas tahu, siapa Vida Winter. Tapi, apa yang membuat Vida Winter memilih dirinya? Sesungguhnya Margaret Lea tidak pernah tertarik pada literartur kotemporer, tapi apa boleh buat, ayahnya, yang seorang pemilik toko buku antik, ternyata memajang buku-buku Vida Winter di rak koleksi terbaiknya. Di salah satu kolom, Margaret Lea menjumpai judul “Tiga Belas Dongeng-dongeng Perubahan dan Keputusasaan”, namun dongeng ketigabelas hanyalah isapan jempol belaka. Bab ketigabelas adalah kesalahan cetak pada oplah lama. Dan kini, kata “ketigabelas” adalah sebuah misteri bagi para pembacanya.

Awal pertemuan Margaret Lea dan Vida Winter merupakan sebuah bencana. Margaret Lea menganggap Vida Winter orang yang aneh, tapi Miss Winter perlu bantuannya.

 

“Kita kadang-kadang menjadi amat terbiasa dengan kengerian yang ada pada diri kita, dan lupa betapa ngerinya hal tersebut bagi orang lain.”The Thirteenth Tale ‘Dongeng Ketigabelas’, hlm. 90

 

Mulanya Vida Winter terbata-bata, ia memperlihatkan luka mengerikan di telapak tangan kanannya. Luka bakar empat puluh tahun lalu. Ketika ia menjadi bagian dari sebuah Keluarga Angelfield. Ketika ia mengenal George Angelfield, sang kakek yang mengurung dirinya selama bertahun-tahun di dalam kamar; Isabellle, ibunya yang cantik; Charlie, pamannya yang sedikit dungu. Si Kembar Angelfield, Adeline dan Emmeline yang liar. Sekaligus hantu yang selalu menjadi pemerhati di tengah kedatangan dan kepergian para penghuni rumah.

Berangkat dari sebuah kisah, lantas keberadaan dan kehilangan orang-orang di Keluarga Angelfield serta-merta menjadi sebuah misteri yang menarik untuk dipecahkan. Margaret Lea menjadi terlalu bersemangat sampai-sampai ia lupa dengan masalahnya sendiri, kesedihan yang coba ia tutupi di depan ayahnya, kendati ia tahu, kalau ia tak sendirian kala hadir ke dunia ini.

 
 

Satu dari beberapa buku yang sempat diragukan kala membelinya, “The Thirteenth Tale” memang sekilas terlihat menarik. eMTe yang tak perlu diragukan. Ia sanggup mengubah sesuatu yang  beresensi pelik menjadi sesuatu yang berbusana memukau. Tapi, jauh di balik sampul yang keren, “The Thirteenth Tale” memang sesungguhnya cantik dan unik dari segala segi. Dari segi eksentrik para tokohnya, dari segi ide yang mengombang-ambing, dan dari gaya penulisan Diane Setterfield yang gotik.

Melihat karya-karya keluarga Brontë yang kerap disebutkan dalam jajaran narasi, ide yang dilontarkan Setterfield sesungguhnya memang tak jauh dari semua itu. Ide cerita intinya sangat gelap, walaupun ia mencoba untuk membalutnya dengan kisah kedua tentang interaksi antara Margaret Lea dan Miss Winter di masa sekarang, tetapi dari keseluruhan, bisa dilihat kalau tema utamanya adalah kisah Keluarga Angelfield yang tinggal di sebuah mansion besar, keluarga yang luar biasa kaya dengan seorang asisten rumah tangga, para pembantu rumahan, dan seorang tukang kebun yang dipekerjakan untuk membereskan seisi rumah. Sangat sederhana, bukan? Tetapi, sebagai penulis yang mumpuni, Setterfield sengaja membuat seutas benang merah tersirat yang harus dipecahkan oleh Margaret Lea.

Alur cerita yang disampaikan Setterfield bisa dibilang membingungkan. Di awal, saya mendapati novel ini begitu membosankan dengan gaya bahasa yang kaku, dingin, dan bisa terlihat kalau cerita ini akan mengarah ke sebuah latar yang sangat tua, klasik, dan berumur mungkin seabad. Inti cerita yang dijelaskan terasa samar, entah ia ingin bercerita tentang Margaret Lea dan kisah kelahirannya atau sesosok Vida Winter yang begitu misterius. Tetapi, begitu masuk ke dalam sesi pertemuan Miss Winter dan Margaret Lea yang pertama, saya pikir, tokoh Vida Winter di sini adalah sesuatu yang sangat unik dan menarik. Dengan cerita-ceritanya, ia menggiring pembaca untuk ikut menjelajahi waktu. Maju dan mundur. Dan ia membuat perbincangannya dengan Margaret Lea seperti sebuah narasi di dalam narasi; ada kalanya ia bernarasi sebagai sudut pandang orang ketiga dan terkadang ia berbicara sebagai dirinya; memasukkan dirinya sebagai tokoh di dalam cerita Keluarga Angelfield. Bisa dibilang kalau novel ini tergolong seperti dongeng yang dibungkus kisah kontemporer, sebuah tabrakan hibrida yang keren tetapi agak menakutkan. Masih dibumbui dengan misteri yang tua, sesuatu yang bersifat tidak pasti seperti hal-hal supernatural tapi juga bukan. Semua pertanyaan-pertanyaan dijamin mencuat di benak pembaca hingga di bab akhir.

Gaya bercerita Setterfield banyak mengingatkan saya pada kisah-kisah gotik seperti Neil Gaiman di era kontemporer, tapi juga membuat saya menyamakan untaian-untaian narasinya dengan novel klasik, yang sarat dengan pertanyaan di setiap akhir sub bab. Teknik berceritanya didominasi teknik “to tell”, bisa dimaklumi dari tema utamanya yang ingin menjurus ke dongeng. Dongeng yang silih berkait dengan sebuah klimaks yang kadang ceritakan sangat mengejutkan. Pasalnya sepanjang saya membaca “The Thirteenth Tale”, perasaan tenang sebuah mansion tua itu sendiri seolah membayangi saya. Seperti tiap tokohnya berjalan dengan aneh tapi didiamkan oleh naratornya dan tiba-tiba saja, tanpa dikira, kejutan itu datang dan membuat tokohnya hilang satu per satu.

Latar yang diangkat dalam “The Thirteenth Tale” sudah kentara dari lembar pertamanya, yaitu sesuatu yang lampau. Dan tentang mansion yang dihuni oleh Keluarga Angelfield, setiap detailnya dijelaskan amat baik oleh Setterfield. Bukan hanya dari penjelasan yang dituturkan perlahan dalam narasinya, tapi juga dari unsur ekstrinsik yang sangat mendukung, seolah “The Thirteenth Tale” adalah novel abad lalu yang dikirim ke masa sekarang untuk diterbitkan.

Dan dari semua yang diragui dan dikagumi dari “The Thirteenth Tale”, yang paling saya jagokan adalah penokohannya. Mulai dari George Angelfield hingga Si Kembar, Adeline dan Emmeline, semuanya bisa dibilang punya jiwa yang mati, kehidupan yang liar, tapi kekayaannya tak pernah habis. Saya pun bingung. Dan di tengah sebuah keanehan itu, ada saja orang-orang yang datang sebagai penghuni mansion dan mencoba mengadakan eksperimen untuk mengobati kejiwaan pada Keluarga Angelfield. Dari tiga silsilah yang hidup dan pergi, yang paling saya sukai adalah karakter Charlie Angelfield. Charlie di sini mengingatkan saya pada karakter Heathcliff pada novel “Wuthering Heights” milik Emily Brontë—sebuah novel yang tak kalah sintingnya. Charlie adalah laki-laki yang selalu dianggap dungu, tapi malah menaruh kasih pada saudara perempuannya sendiri. Mulai dari kepelikan itu, saya baru menganggap “The Thirteenth Tale” sebagai kisah yang keren. Sebuah kisah misteri yang menantang tetapi selalu membuat saya bingung setiap ingin mengakhiri tiap babnya. Seperti setiap lembar kertasnya mengajak saya untuk harus selalu berbalik kembali dan mencoba untuk berpikir tentang konflik yang baru saja terjadi.

Perlu-perlu kunci jitu untuk mengusut kisah “The Thirteenth Tale”, konsentrasi penuh, dan juga daya khayal yang luar biasa. Dari sebuah kisah panjang yang saya ikuti dan coba saya nikmati di awalnya yang membosankan, akhirnya saya menarik sebuah simpulan, “The Thirteenth Tale” adalah sebuah kisah di dalam sebuah kisah, di mana kisah itu bercerita tentang sekelompok orang gila di masa lalu yang kini mencoba untuk menutupi realita itu. Dari lima, dan semula saya ingin memberikan bintang empat, sebagai minus kebosanan di depannya, tetapi saat melewati bab “Akhir” akhirnya saya mereguk liur dan memberikan bintang sempurna untuk karya gila Setterfield.

 

 

 

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s