Jatuh Cinta adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri – Bernard Batubara


   
Judul                     : Jatuh Cinta adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri
Penulis                  : Bernard Batubara
Penerbit                 : Gagasmedia
Terbit                     : Cetakan pertama, 2014
Tebal                      : 300
Rate                       : 5 / 5
   

“Aku tidak bersepakat dengan banyak hal, kau tahu. Kecuali, kalau kau bilang bahwa jatuh cinta adalah cara terbaik untuk bunuh diri. Untuk hal itu, aku setuju.” Jatuh Cinta adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri, hlm. 252

 
 
Pernah mendengar selentingan kalau cinta adalah sesuatu yang manis? Banyak orang mengasumsikannya dengan premis seperti itu; manis, hangat, terang, semuanya pasti ada dalam satu paket. Tapi, di balik sebuah tatapan teduh seseorang dan buaian manis sebuah kata, ada satu hal yang tak pernah bisa lekang dari nalar seorang manusia. Manusia terlalu pandai untuk menyakiti.

Mereka dapat saling bunuh untuk lembaran uang; membunuh untuk sekadar mendapatkan apa yang meraka mau. Lantas, dengan kumpulan cerpennya Bernard Batubara mencoba mengumpulkan lima belas cerita pilu yang tak melulu tentang cinta yang manis. Jika cinta punya sisi terang, pun cinta punya sisi gelap.

  1. Hamidah Tidak Boleh Keluar Rumah
  2. Nyanyian Kuntilanak
  3. Seorang Perempuan di Loftus Road
  4. Hujan Sudah Berhenti
  5. Bayi di Tepi Sungai Are
  6. Seribu Matahari untuk Ariyani
  7. Langkahan
  8. Meriam Beranak
  9. Lukisan Nyai Ontosoroh
  10. Bayang-bayang Masa Lalu
  11. Orang yang Paling Mencintaimu
  12. Nyctophilia
  13. Bulu Mata Seorang Perempuan
  14. Menjelang Kematian Mustafa
  15. Jatuh Cinta adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri

   

Dari satu sampai lima belas, cerpen-cerpen milik Bernard Batubara tak ayal telah melangkahi lini ekspektasi saya. Mulanya dari rasa penasaran dan tertarik dengan sampulnya yang cantik, namun di cerpen pertama pun, kalimat pertamanya sudah membuat saya penasaran. 

“Tinggallah di rumah saja, Hamidah, bintang-bintang di langit dan rembulan purnama tak menginginkanmu keluar rumah, mereka cemburu dengan parasmu yang eloknya mengalahkan kesempurnaan pesona dewi-dewi nirwana. Jika kau keluar juga, kau akan meletakkan hidupmu dalam bahaya.” Jatuh Cinta adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri, hlm. 2

 
“Hamidah Tidak Boleh Keluar Rumah” punya kalimat pembuka yang begitu kuat. Dari gaya bahasa yang digunakan, Bernard Batubara seolah-olah mengajak pembaca untuk masuk ke era-era lalu, kala perempuan masih harus dipingit dan tidak boleh keluar rumah, karena takut para tetangga main mata. Lalu dengan idenya yang sederhana, ia mencoba memainkan sudut pandangnya dari seorang lain laki-laki pengunjung kedai kopi milik si “aku”, sehingga cerita tersebut diteruskan oleh narator utama agar sampai ke benak pembaca. Sungguh gagasan yang luar biasa. Jarang saya menemui yang seperti ini. Untuk sebuah cerita pembuka pun, saya cukup menyukainya, sayang yang kurang saya sukai adalah alur akhirnya yang terasa terlalu lekas ingin dipungkas. Saya masih berharap narasinya akan penuh bunga-bunga kata seperti di depan, kendati dibuat konklusi untuk mengejar sebuah plot twist yang mencengangkan pembaca.

Dalam  “Jatuh Cinta adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri”, Bernard Batubara seolah mencoba banyak eksperimen dalam cerita-ceritanya. Dari segi plot, dan juga dari ide, tapi kebanyakan karena kisah kumpulannya adalah celotehan melankolis dan gelap, Bernard Batubara banyak mengambil unsur supernatural dan juga magis. Seperti jelmaan benda mati, alam mistis, dan kematian. Seperti pada cerita “Nyanyian Kuntilanak”, menjadi judul kedua dalam antalogi cerita Bernard Batubara.

“Nyanyian Kuntilanak merupakan kisah yang kocak. Ada kala awalnya saya beropini pasti ceritanya bakal mengarah pada cerita mistis dan horor. Tapi, saya salah kapra, Bernard Batubara malah memutarbalikkan fakta menakutkan tersebut menjadi cerita dongeng lucu di balik sosok menakutkan Kuntilanak. Idenya boleh juga. Dari kata-kata sang Kunti pun banyak mengandung kalimat satir, hanya saja dari segi gaya bahasa saya bisa merasakan unsur budaya dan kisah-kisah hikayat di masa lalu. Tapi, yang paling suka dari “Nyanyian Kuntilanak” adalah bagian gaya bahasa sang narator (Kuntilanak) yang mencoba melibatkan jasa si penulis untuk berkomunikasi dengan pembaca. 

“Kami, para perempuan yang telah mati sebagai manusia dan tetap hidup sebagai pohon, mempunyai cinta yang tidak mampu diukur oleh lelaki mana pun di dunia.” Jatuh Cinta adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri, hlm. 27

 
Dari alam gaib, Bernard Batubara mengajak pembaca untuk terbang ke Loftus Road. “Seorang Perempuan di Loftus Road”  memperkenalkan tokoh utamanya sebagai sebuah jelmaan pohon. Pohon yang sudah menunggu pria yang dicintainya selama bertahun-tahun, kendati tahu pria itu sudah beristri dan mempunyai anak, tapi perempuan itu dan pohon-pohon lainnya masih menunggu.

Bisa dibilang “Seorang Perempuan Di Loftus Road” merupakan salah satu cerita kegemaran saya di antalogi “Jatuh Cinta adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri”. Selibat saya berpikir dari segi dialognya yang cerkas, cerpen ini mirip cerita-cerita Hemingway dengan latar klasik tapi ending yang cantik. Diksinya sederhana, tidak penuh bunga-bunga kata, dengan begitu kendati menyimpan sesuatu yang magis, ceritanya masih terasa modern. Idenya pun demikian, begitu klise (tentang cinta yang tak sampai, dan salah seorang dari mereka harus menunggu), tapi dengan sebuah ide yang biasa, semuanya menjadi terkesan sangat rill dan tidak mengada-ngada. Dari awal hingga akhir, di penghujung cerita akhirnya saya tahu, jika semua alur luar biasa itu berawal dari sebuah kata “kadang”, tapi dengan kepiawaian Bernard Batubara dalam meramu kata, “kadang” menjadi sesuatu yang mencengangkan.

Permainan cerita Bernard Batubara tidak berhenti dari pengemasan latar yang baik, tapi juga dari segi gaya bahasa yang berubah-ubah. Mungkin kebanyakan cerita Bernard Batubara mengambil sudut pandang orang pertama sebagai naratornya, tapi dengan sebuah sudut pandang Bernard Batubara mencoba menjelaskan personalia si narator dari gaya bahasanya. Contohnya dalam cerita “Hujan Sudah Berhenti” dan “Seribu Matahari untuk Ariyani”. Bernard Batubara punya sejuta cara untuk mengaburkan sesuatu yang brutal untuk menjadi cantik di mata pembaca dan naratornya. Seperti dalam cerita “Seribu Matahari untuk Ariyani”, yang paling saya suka juga, ia menyamarkan sesuatu yang tabu dengan kata-kata “pohon” dan “matahari”.

Membaca cerita “Seribu Matahari untuk Ariyani” mengingatkan saya dengan film karya Woody Allen, “Forrest  Gump”, seperti saat Forrest memandang sosok Jenny, seorang gadis hati yang baik padanya sekalipun tahu, kalau ia punya kekurangan. Penokohannya amat sangat baik. Pembaca memang tidak langsung digiring untuk mengetahui sosok “aku”, yang diejek-ejek sebagai Tompel, secara analitik. Tapi, dengan menggunakan gaya bahasa yang sederhana, terpenggal-penggal, sehingga pembaca tahu, seperti siapa sih sosok narator yang akan menuntun ceritanya.

Mungkin kebanyakan latar cerita dalam “Jatuh Cinta adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri” punya latar yang sangat Indonesia dan mendayu-dayu, tapi usaha baru Bernard Batubara untuk mengeksplorasi beberapa genre di antalogi cerpennya perlu diacungi jempol, seperti dalam cerita “Orang yang Paling Mencintaimu” dan “Menjelang Kematian Mustafa”  yang melibatkan adegan pertumpahan darah sengit. 

“Hanya orang yang paling mencintaimu, yang mampu membunuhmu.”Jatuh Cinta adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri, hlm. 174

 
“Orang yang Paling Mencintaimu” adalah cerpen yang-entah-ke-berapa yang saya sukai dalam antalogi cerpen Bernard Batubara. Di awal cerita yang menceritakan tentang seorang laki-laki yang menunggu perempuan bernama Miranda di balkon rumah, saya sempat meragukan, siapa sosok laki-laki itu sesungguhnya, perangainya aneh. Tapi, cerpen-cerpen Bernard Batubara memang tidak selayaknya dibocorkan. Muncul dengan sebuah kata pertama yang pelik, lantas di plot twist-nya bisa saja pembaca menemukan sesuatu yang lebih pelik.

Dari banyak penokohan yang coba dibangun, nyaris semuanya dibangun dengan sempurna, kendati ada beberapa yang menjebak seperti pada “Nyctophilia”. Sesungguhnya saya sempat terjebak sih, kalau pertama kali melibas halaman-halaman awal, mungkin pembaca akan sama terjebaknya dengan saya, terkungkung pada sebuah kelainan psikologi bernama nyctophilia, tapi sesungguhnya, pembaca harus lebih menyimak dan awas terhadap tiap ilustrasi di tiap bab. Karena… di sanalah semua kuncinya.

Dan menutup kisah-kisah untuk tersebut, Bernard Batubara mengambil sebuah kisah fantasi dengan tokoh seorang malaikat bernama Bril dalam cerpen bertajuk Jatuh Cinta adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri. Agak mengherankan mengapa cerpen yang menjadi tajuk utama malah diletakkan di belakang, tapi menurut saya ini sangat pas, karena dari cerita-cerita sebelumnya, sesungguhnya konklusi terberat ada pada cerpen terakhir.

Seperti yang kutip dari kata-kata Dee, “dibandingkan karya-karya ia sebelumnya, kali ini ada warna yang berbeda.” “Jatuh Cinta adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri” punya eksplorasi ide, plot, dan gaya bahasa yang lebih beragam. Jika sebelumnya saya berekspektasi terlalu tinggi dan pusing saat membaca kalimat-kalimat prosa pada “Milana”, dalam “Jatuh Cinta adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri” bahasa yang digunakan Bernard Batubara terasa lebih ramah dan lebih mengutamakan plot maupun penutup yang menarik.

Kendati tergolong sebagai cerpen-cerpen yang berhawa sastra, tapi “Jatuh Cinta adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri” tetap pas jika dinikmati saat santai. Tidak perlu terburu-buru. Karena cerita-cerita dalam antalogi novel Bernard Batubara tidak akan semudah itu membiarkan pembaca lupa akan plotnya, banyak kontemplasi dan pertanyaan yang akan menghantui, bahkan sampai ke akhir buku.

5/5 untuk sebuah novel eksperimental  Bernard Batubara yang keren.

 

2 thoughts on “Jatuh Cinta adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri – Bernard Batubara

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s