Judul : Romansick
Penulis : Emilya Kusnaidi
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : Cetakan pertama, 2015
Tebal : 280
Rate : 3.5 / 5
“What screws us the most in life is the picture in our head of how it is supposed to be.”—Romansick, hlm. 68
Semuanya serba-sempurna bagi Audrey ‘Dre’ Kahono; karier sebagai seorang executive editor di majalah terkenal; rekan kerja yang baik; serta berjalan ke mall diiringi dua bodyguard alias sahabat superkeren. Tara, cowok paling eligible di ibukota yang sering mematahkan hati para wanita, satu lagi, Eren, si tumpul yang kerap kali bikin Dre panas dingin sampai memaki-maki dalam hati.
Perkara Dre, bagi Eren adalah sekadar sahabat dari SMA, tapi Dre tentang Eren jelas berbeda. Perasaannya pada Eren bukan lagi sahabat terlampau akrab, ia jatuh cinta, pada sahabatnya sendiri. Sayangnya, Eren si Tumpul yang kepalang lurus, malah mengungkapkan perasaan sesungguhnya untuk Ayuna, matan pacarnya yang menetap di New York. Tidak ada lagi kata pengunduran, pun menanti, Eren akan lepas landas dalam hitungan minggu untuk melamar perempuan itu.
Dre ciut. Pesta soft opening Castello yang digelar Tara berubah menjadi bencana. Dre nyaris kehabisan napas. Ia tak sanggup mendengar pengakuan sinting itu lebih panjang. Bibirnya baru saja hendak melontarkan sejagat keberanian tentang perasaannya kepada Eren, namun sekonyong-konyong kepalanya berputar, asmanya baru saja kambuh, ia perlu lebih banyak udara. Langkah jenjang Dre ambil sempat membuatnya oleng, menerobos kerumunan orang, tangannya menjenggut sesosok yang dianggapnya sebagai Tara.
Inhaler baru saja ia hirup sekuat tenaga. Napasnya teratur. Namun, suara yang bertanya bukanlah suara yang ia kenal sebagai Tara. Sial!
“Lo mabuk ya?”
What?
Mabuk katanya? Sesaat mulut Dre membulat. Alisnya menukik tajam. Orang ini… inconsiderate banget sih! Nggak lihat apa, Dre sedang mencari oksigen dan menenangkan dari dari semua kestresan ini? Nggak lihat apa, Dre jauh banget dari orang mabuk! For goodness sake’s bahkan ia hanya minum dua gelas wine, yang nggak mampu membuatnya mabuk.
“I’m not,” balas Dre lantang sambil mendongak.
DUK!!
–Romansick, hlm. 58
Cairan merah mengucur dari hidung pria asing di hadapannya.
Klasik tapi memorable, dua kata dari saya untuk merangkum “Romansick”, novel debut dari Emilya Kusnaidi. Di novel pertamanya, kentara kalau Emilya Kusnaidi tidak ambil banyak risiko; ia mengambil sebuah ide yang klise sebagai konflik utama—yang sudah pasti disukai oleh banyak pembaca dewasa muda. Well, mungkin terasa ringan dari segi ide, tapi dari segi gaya berceritanya: LUAR BIASA. Saya rasa, Emilya memang sengaja membuat “Romansick” sebagai bacaan ringan yang asyik untuk dibaca dalam beberapa jam.
Benci tapi cinta memang sering diangkat sebagai inti konflik di novel-novel lain, contohnya: “Romansick” kerap mengingatkan saya pada kisah Troy Mardian dan Gadis pada novel Karla M. Nashar, “Love, Hate, and Hocus-Pocus”, dari gaya bahasa yang berpindah-pindah, Inggris ke Indonesia, Indonesia ke Inggris. Hal memang bukan cangkir teh yang tepat buat saya. Terasa amat mengganggu dengan pemakaian grammar yang kadang meleset. Tapi, kalau disikapi dari segi latarnya yang menceritakan kehidupan sosialita ibukota, gaya bahasa tersebut bisa dibilang sangat mendukung dari segi latar, pun penokohannya, sehingga menjadikannya rill. Selain dari Inggris-Indonesia yang menjadi acuan gaya bahasa, Emilya rupanya tidak berhenti sampai sana untuk menyulap “Romansick” menjadi bacaan yang asyik. Yang membuat saya terpukau adalah soal unsur ekstrinsik yang ditambahkan Emilya, sehingga sebagai pembaca, saya bisa merasakan dunia majalah fesyen yang menjadi tempat Dre bekerja. Kalau dilihat dari halaman belakang, “Tentang Penulis”, Emilya Kusnaidi adalah seorang dokter lho. Tapi, kalau melihat dari kacamata pembaca “Romansick”, penulisnya bisa disalahkenali sebagai seorang pakar dalam dunia fesyen. Mulai dari dress code tiap karakter, ia jabarkan dengan sempurna, dengan istilah-istilah fesyen kelas atas.
Ada sedikit banyak saya menyamakan gaya menulis Emilya dengan sederet penulis Indonesia ternama seperti Christian Simamora dan Ika Natassa. Christian Simamora dari segi dunia fesyennya yang kompleks, pun dari narasinya yang terkadang hiperbolis. Kalau bercerita tentang perdebatan batin, Dre pasti yang bakal jadi nomor satu seksi panik di antara ketiga sahabat tersebut. Sedangkan, gaya bahasa yang sedikit beraroma Ika Natassa adalah gaya bahasa yang luar biasa pop, interaktif, tidak bertele-tele, serta latar yang membikin Indonesia dan Singapura menjadi sekelas New York.
Alur ceritanya di awal sesungguhnya cukup membuat saya mengernyit, kendati secara keseluruhan, “Romansick” mengambil alur maju dari sudut pandang orang ketiga yang luas dan konservatif. Tapi, dalam pembukaannya, pembaca pasti bakal terasa bingung untuk menerka siapa yang sedang berbicara di sana. Seperti rutinitas ibukota, “Romansick” dibuka dengan acara gosip. Dari sahut-sahutan dua sahabat, sayangnya saya sempat mengira kalau keduanya adalah wanita. Sedikit membosankan sih, karena sebelum tahu-menahu prelude yang hendak dibahas, topiknya sudah melompat ke sana kemari, mungkin ini ciri khas Emilya Kusnaidi sih; cepat, interaktif, seperti acara arisan ibu-ibu, si satu berbicara tentang tas, satu lagi menimpali, tapi untuk membuka sebuah cerita, agaknya lebih enak jika dibuka dengan sesuatu yang lebih santai dan menjelaskan secara runut inti permasalahannya, sehingga pembaca bisa tahu siapa tokoh-tokoh yang terlibat, baru menelusup masuk ke dalam acara gosip kafenya. Tapi, overall, setelah masuk ke bagian klimaks, seperti yang saya katakan tadi, Emilya langsung bisa meng-handle semuanya dengan baik dan membuat cerita menjadi kian menarik.
Beranjak ke segi penokohan, tokoh yang paling suka di sini adalah Tara. Bukan karakter utama, tapi entah kenapa saya suka dengan pembawaannya yang berada di tengah, karakternya yang dijelaskan sarkastik tapi kadang maksudnya baik. Namun, bukan berarti karakter Dre tidak bagus lho. Semua karakter-karkater dalam “Romansick” terasa sangat hidup. Kendati idenya klise, tapi penokohan adalah salah satu senjata epik Emilya Kusnaidi yang dapat memukau para pembaca. Dari dress code of the day, gestur, obrolan, cara berbicara, karakter Dre, Tara, Eren, Austin, entah siapa pun yang terlibat di dalamnya, semuanya dideskripsikan sangat detail tapi tidak bertele-tele. Ditambah istilah-istilah fesyen dan jurnalistik, siapa coba yang tidak bakal terbayang dengan ruang kerja tempat Dre biasa bengong membayangkan Eren dan Austin bergulat di benaknya.
Terlepas dari semua itu, sayang ada sedikit kekurangan yang saya tangkap dari segi penokohan. Lantaran berlatarbelakang dunia fesyen, Emilya kerap kali menerjunkan para karakter laki-laki dalam “Romansick” dalam wadah yang sama. Mereka menjadi terkesan metroseksual, dengan candaan berkelas, pakaian serba-necis, dan orbolan pulang pergi luar negeri yang mudah dilontarkan. Tidak salah. Hanya saja, saya mengharapkan warna yang lebih bervariasi, mungkin dari segi latar belakang, dengan begitu banyak eksplorasi yang dapat terasa dan membuat plotnya menjadi semakin berwarna.
Secara keseluruhan, “Romansick” sangat pas untuk digunakan sebagai pengisi waktu kosong. Temanya mudah dicerna. Latarnya sangat rill dan mudah dibayangkan. Dari ide yang klise, terbukti Emilya Kusnaidi mampu mengeksekusi ide ceritanya dengan amat baik. Tokoh-tokohnya begitu hidup. Narasinya juga sangat interaktif.
3,5 dari 5 bintang untuk “Romansick”, suka sekali dengan konfliknya yang klasik tapi membuat hati menggelitik. Untuk pencinta fesyen, wajib mencicipi “Romansick” 😀