Judul : Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi
Penulis : Eka Kurniawan
Penerbit : Bentang Pustaka
Terbit : Cetakan pertama, Maret 2015
Tebal : 170 halaman
Rate : 5 / 5
“Kalian orang-orang tolol yang percaya pada mimpi.” –Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi, hlm. 34
Bukan saja kehilangan kekasih, tapi Sayuri pun kehilangan muka. Maya enggan berkata kalau kekasihnya pergi meninggalkannya semalam sebelum hari pernikahan mereka. Para tamu telah berdatangan tanpa bisa dicegah. Maya lagi-lagi mencari alasan, ibunya pasti akan menganggapnya sinting jika ia menceritakan mimpi itu. Mimpi terindah kala ia bertemu dengan seorang laki-laki yang berlari di tepian pantai sambil menggiring seekor anjing.
“Dalam mimpinya, si kekasih tinggal di kota kecil bernama Pangandaran. Setiap sore, lelaki yang akan menjadi kekasihnya sering berlari di sepanjang pantai ditemani seekor anjing kampung.” – Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi, hlm. 28
Ia harus ke Pangandaran; kota kecil yang tak pernah ia dengar namanya. Keluarganya tak setuju, tapi Maya nekat kabur melalui jendela dan mencegat taksi. Bus malam mengantar Maya sampai di Pangandaran dengan rasa ragu, mungkin saja mimpi itu sekadar omong kosong. Tapi, ia memutuskan untuk tinggal dan memilih Pantai Timur yang lebih sepi. Mencari strategi untuk menemukan laki-laki yang akan menjadi kekasihnya.
Lantas bagaimana cara ia menemukan laki-laki itu? Menunggunya setiap senja, seperti yang ia tilik di mimpinya? Tapi, bagaimana jika batang hidungnya tak kunjung muncul?
Sebagai cerita pendek yang diangkat sebagai tajuk utama dari antalogi cerpen Eka Kurniawan, “Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi” sama sekali tidak mengecewakan para pembaca. Setelah menunggu-nunggu, melihat cuplikan sampul depannya yang sangat menawan di blog resmi Eka Kurniawan, akhirnya antalogi cerpen ketiga pun terbit di pasaran. Ada lima belas cerpen cerkas di dalamnya:
- Gerimis yang Sederhana
- Gincu Ini Merah, Sayang
- Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi
- Penafsir Kebahagiaan
- Membuat Senang Seekor Gajah
- Jangan Kencing di Sini
- Tiga Kematian Marsilam
- Cerita Batu
- La Cage aux Folles
- Setiap Anjing Boleh Berbahagia
- Kapten Bebek Hijau
- Teka-Teki Silang
- Membakar Api
- Pelajaran Memelihara Burung Beo
- Pengantar Tidur Panjang
Ide dalam cerpen-cerpen Eka Kurniawan sesungguhnya sangat sehari-hari, permasalahan yang kerap dijumpai, tapi yang saya sukai dari tulisannya bukanlah ide yang sederhana, tapi bagaimana kesederhanaan itu dibuat kompleks dengan eksekusi kata-kata yang indah. Berikut juga dengan komedi dan humor-humor kocak yang kadang tak saya kira akan terselip di antara kalimatnya. Terutama di bagian dialog.
Dan jika dibandingkan dengan antalogi cepren yang sebelumnya saya baca, “Jatuh Cinta adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri” milik Bernard Batubara. “Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi” punya karakter yang tidak terburu-buru, mulai dari cerpen pembuka, “Gerimis yang Sederhana” yang menceritakan tentang pertemuan laki-laki dan perempuan di salah satu pojok Los Angeles, punya plot yang sesederhana judulnya, tapi yang saya suka dari “Gerimis yang Sederhana” ada di sisi penokohannya, alih-alih, bagaimana tiap karakter ditempatkan di sebuah situasi asing dengan latar belakang ideologi yang berbeda. Dan untuk mengakhiri cerpennya, ada sesuatu yang berbeda, yang ditawarkan oleh Eka Kurniawan. Ia tidak langsung memotong kisah pertemuan Efendi dan Mei dengan sebuah klimaks, seperti cerpen kebanyakan, tapi memperpanjang ceritanya untuk mencapai sebuah anti-klimaks.
“Sejak ia jatuh cinta kepada Rohmat Nurjaman, apalagi setelah mereka menikah, ia tak pernah membuat merah bibirnya untuk lelaki lain.” –Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi, hlm. 24
Menanjak ke cepren kedua, kali ini terlihat kontras plot-twist yang ingin ia tunjukkan. Berjudul “Gincu Ini Merah, Sayang”, saya suka dengan tema yang diangkat Eka Kurniawan. Seperti cerpen yang pertama, latar belakang tokohnya pun diangkat dari dunia yang tidak biasa, yaitu seorang PSK. Menceritakan soal pertemuan Marni dengan Rohmat Nurjaman, yang membuat pria itu meminangnya dan keluar dari bar Beranda, tapi karena perkara gincu merah, Rohmat malah menceraikannya secara sepihak. Sesungguhnya hanya sekadar perkara saling percaya. Tapi, malah merembet ke mana-mana. Lucu bukan main.
Dan yang paling saya nikmati dari cerpen yang satu ini adalah alurnya, kendati pembaca tahu, jika diatur dengan alur yang biasa-biasa saja, terus maju, maka segalanya akan nampak gamblang, tapi Eka Kurniawan menantang pembacanya dengan sebuah permainan alur maju mundur, yang sedikit demi sedikit ia pertontonkan untuk menguak latar belakang tokoh-tokoh yang sebenarnya.
Dari beberapa cerpen yang disuguhkan, ada beberapa yang menjadi jagoan saya sesungguhnya. Mungkin yang pertama tentang larangan kencing dalam “Jangan Kencing di Sini”.
“Ke mana pun aku pergi, aku seperti melihat tanda ‘Jangan Kencing di Sini’. Maka, aku pun menahannya.” – Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi, hlm. 60
Baru kali ini saya menyaksikan kompilasi genre yang luas hanya dalam satu cerpen. Mulai di awal, saya suka sekali dengan kata-kata pertama yang diangsurkan ke benak pembaca. Eka Kurniawan membuat bau pesing menjadi tokoh antagonis di sini. Tanpa wujud, hanya bau. Dan itu mengusik benak Sasha, seorang pemilik butik, yang mati-matian ingin mengusir bau tak enak yang ikut mengusir pergi para pelanggannya.
Dari gagasan tersebut, saya pikir, cerita ini penuh gaya humor yang akan terus menjurus hingga ke belakang, apalagi kala ditimpali oleh nasihat-nasihat gila milik Marjan. Namun, berjalan ke pertengahan plot, “Jangan Kencing di Sini” malah terasa sedikit berbahaya, diwarnai oleh fantasi-fantasi Sasha. Dan di akhir cerita. Ups. Ada sedikit kali saya pikir adisi di bagian belakang ini terasa membingungkan, tapi jika dipikir-pikir ulang, hal tersebut malah memperkuat pembaca tentang karakter sinting seorang Sasha. Luar biasa.
Selain, “Jangan Kencing di Sini”, ada beberapa cerpen yang membuat saya cukup mengernyitkan kepala, dan saran saya, sebaiknya dibaca dengan kepala yang memang ingin berpikir. “Tiga Kematian Marsilam”, contohnya. Ada banyak kali saya harus membaca ulang dan menerka sesungguhnya siapa Marsilam, mengapa ia bisa mati hidup hingga berkali-kali?
Cerita “Tiga Kematian Marsilam” dibuka dengan sebuah adegan tragis tentang laki-laki kaya yang melompat dari lantai 12 sebuah hotel. Belum apa-apa, tapi karakternya sudah mati duluan, tapi diusut punya usut, lagi-lagi Eka Kurniawan menyuguhkan sebuah plot yang terbalik, ia memainkan dulu apa yang seharusnya berada di belakang. Baru membeberkan cerita sebelumnya soal Marsilam dan masa-masa dulunya kala dituduh sebagai salah satu anggota PKI.
Idenya luar biasa hebat. Dan karakternya yang luar biasa hebat pula. Setelah menyaksikan banyak cerpen-cerpen sebelumnya, saya merasa, kembali mengenal tulisan Eka Kurniawan dalam wujud buku “Lelaki Harimau” yang pernah saya baca. Bagaimana ia mengomentari sesuatu dengan banyak metafora. Dan bagaimana ia melibatkan alam sekitar yang menjadi latar belakang cerita. Cerita ini memang perlu dibaca dua kali, agar pembaca terjerumus ke dalam rencana licik seorang Marsilam.
Ada lagi “Cerita Batu”. Ini salah satu yang paling saya suka. Ceritanya sangat lucu. Sangat congkak. Soal sebongkah batu seukuran kepala bayi yang mencoba untuk balas dendam kepada manusia yang berani merusak reputasinya. Dari keseluruhan ceritanya, bisa dibilang Eka Kurniawan selalu menggunakan sudut pandang orang ketiga untuk menjelaskan segalanya. Tapi dalam “Cerita Batu”, walaupun ia tidak menjelma menjadi batu, dan bercerita tentang “aku”, tapi Batu yang sesungguhnya sepele, menjadi primadona yang dielu-elukan di mana-mana. Inilah yang membuat cerita menjadi luar biasa menarik. Alih-alih, di belakang, saya tahu, cerita ini punya konflik utama yang klise. Haha!
Dari awal hingga ke pertengahan, saya nyaris menyukai sebuah cerita-cerita pendek milik Eka Kurniawan. Ada yang bersifat naif seperti “Membuat Senang Seekor Gajah”, konyol seperti “Penafsir Kebahagiaan”. Banyak yang dilatarbelakangi oleh humor ringan, memang, tapi tak sedikit juga yang meinggalkan pelajaran.
Dan satu lagi yang saya sedikit terkejut soal permainan gaya bahasa lain yang dipraktikkan oleh Eka Kurniawan dalam “La Cage Aux Folles”. Tema utamanya soal transgender. Soal Marto yang ingin mengganti dalaman menjadi Martha dan bergabung dengan sebuah kelab bernama “La Cage Aux Folles”. Saya merasa gaya bahasa Eka Kurniawan di sini sangat centil. Berbeda dari biasanya yang lugas. Ia banyak memakai metonimi soal ini dan itu. Latarnya pun di Los Angeles. Tapi, sayang, saya merasa eksplorasi soal latarnya sedikit kurang. Kendati diwarnai oleh pernak-pernik negeri barat, tapi tiap seluk beluk kelab La Cage Aux Folles sendiri kurang dijelaskan dengan detail, Los Angeles hanya dijelaskan dengan nama. Mungkin akan lebih menarik kalau dijelaskan dengan lebih “to show” ketimbang “to tell”. Secara keseluruhan saya menikmati ide hebat dari cerita ini. Alurnya pun menarik. Tidak melulu maju. Lagi-lagi pengarangnya memenggal apa yang di belakang dan meletakkannya di belakang. Hanya saja bagian belakangnya terkesan terburu-buru dan merepetisi apa yang di depan.
Dan ada satu yang membuat saya bingung. Yaitu soal tokoh Kemala. Kemala yang awalnya hanya diperlihatkan selibat menjadi perantara Marto dengan negerti seberang menjadi sedemikian krusial dan ditempatkan di akhir cerita tanpa hal yang jelas. Saya mencurigai satu sub-bab menjelang sub-bab akhir menjadi kuncinya, tapi saya merasa kalau perkenalan tokoh yang ditempatkan di sana terlalu terburu-buru dan membuat terkejut pembaca. Seperti sesuatu yang dipaksakan, yang awalnya tidak terlalu penting, lalu dalam satu waktu, ia pengin menjadi penting. Dan segala informasi mengenal Kemala pun dibeberkan sekaligus.
Hingga di akhir buku, saya terjebak berulang-ulang. Dari awal yang ingin serta-merta menebak bagaimana ending sebuah cerita akan diutarakan seorang Eka Kurniawan, tapi berulang kali saya terjebak dan tidak menyangka. Begitu pun saat ia menutup cerita dalam antalogi cerpennya dengan sebuah cerpen manis berjudul “Pengantar Tidur Panjang”.
“Setelah meninggal Bapak masih memberiku ongkos bus.” – Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi, hlm. 167
Cerita yang sangat sederhana tentang bapak di dalam keluarga. Ada bebarapa bagian di cerpen ini yang mengingatkan saya tentang ayah seorang karakter bernama Amba (dalam novel “Amba” karya Laksmi Pamuntjak). Bagaimana bapak menjadi seorang yang sangat demokratis kendati ia sangat taat beragama. Dan di akhir cerita, seperti sebuah karma, kebaikan memang dibalas kebaikan.
Ide ceritanya memang mengharukan tapi ada beberapa dialog di sini yang sangat cerkas. Lucu. Dan saya tidak menyangka akan diletakkan di sana. Dan bagaimana seseorang sangat berat kala menghadapi kematian, dalam “Pengantar Tidur Panjang”. Kematian malah digambarkan seperti sebuah kisah tidur yang bermakna alih-alih berisi cerita kesedihan.
Secara keseluruhan, saya merasa dalam menyelami berbagai sisi dari gaya penulisan Eka Kurniawan. Dari awalnya saya hanya mengenal tulisan Eka Kurniawan lewat “Lelaki Harimau” yang mistis, sangat Indonesia, dan berinteraksi dengan alam. Sekaligus gaya bahasa yang berat dan permainan metaforanya yang unik. Kini, terlihat kontras kalau Eka Kurniawan mencoba berbagai macam gaya bercerita dan penokohan, mulai dari benda hidup sampai benda mati. Akan tetapi, terlepas dari semua itu, saya berharap Eka Kurniawan bakal lebih mengeksplorasi latar tempatnya. Dari banyak kisah, saya hanya menangkap beberapa kisah yang punya deskripsi luar biasa soal tempat. Mungkin, menanggapi itu, Eka Kurniawan sendiri punya alasan.
Namun, untuk “Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi” saya memberikan 5 bintang seutuhnya. Saya bakal menunggu sesuatu yang hebat lainnya dari Eka Kurniawan.
Makasih ya udah ngereview buku ini. Kemarin habis baca buku ini dan aku suka banget.
Walaupun aku butuh agak lama meresapi cerita yang ditulis Bang Eka, aku suka gaya penceritaannya Bang Eka yang gak bertele-tele dan gak berbunga-bunga. Hehe: D
Sama-sama 🙂
Saya pun suka dengan bukunya. Dari kejadian yang sangat sehari-hari, pengemasan cerita dari Eka Kurniawan, membuatnya menjadi unik dan sangat hidup.
[…] Apresiasi untuk buku antologi cerpen Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi karya Eka Kurniawan. Ulasan ini juga dimuat di sini. […]
Whiw, blognya keren! Saya kayaknya bakalan sering mampir-mampir di mari :))
Terima kasih, Kak 🙂 yuk, monggo…
aku telat banget baru baca buku ini kemariin.. dan bingung juga soal Marsilam.. 😀 bakal sering berkunjung nih, kayaknya.. 🙂
Bukunya memang menarik tapi memiliki dwi-makna sih. Silakan 🙂