Kira-Kira – Cynthia Kadohata

Judul                     : Kira-Kira
Penulis                 : Cynthia Kadohata
Penerjemah       : Poppy Damayanti Chusfani
Penerbit              : Gramedia Pustaka Utama
Terbit                    : Cetakan pertama, Februari 2009
Tebal                     : 200 halaman
Rate                       : 3.5 / 5

  

“Meski aku anak nakal, tapi aku berusaha keras jadi anak baik.”Kira-Kira, hlm. 28

 
 
Katie Takeshima lahir pada tahun 1951 di Iowa. Tumbuh di tengah keluarga yang sangat sederhana. Hari-harinya ia habiskan bersama sang kakak, Lynn. Katie selalu beranggapan, Lynn tahu tentang segalanya. Tentang hal-hal yang hebat. Termasuk “kira-kira”, kata pertama yang selalu menjadi kesukaan Katie. “Kira-kira” dalam Bahasa Jepang berarti gemerlapan.

Katie kerap menghabiskan waktu dengan Lynn, membelah ladang jagung di dekat rumah. Dikejar anjing bersama. Hingga suatu kala, Lynn memberitahu simpanan rahasia milik orangtuanya di bawah lemari pendingin. Mom dan Dad rupanya sedang menabung untuk rumah impian mereka. Kendati Katie suka dengan rumah kontrakan mereka yang sederhana, tapi Lynn menjelaskan betapa menyenangkannya memiliki rumah sendiri.

Pagi dan malam, Mom dan Dad membanting tulang untuk rumah baru mereka. Sudah ada beberapa lembar seratus dollar yang Katie hitung. Namun, toko bahan pangan Oriental yang dimiliki orangtuanya kepalang tutup lantaran tidak ada orang Oriental lain di Iowa.

Paman Katsuhisa datang, ia bekerja di tempat penetasan telur ayam di Georgia, dan berjanji akan mencarikan pekerjaan layak untuk Dad. Katie, Lynn, dan seluruh perabot rumah mereka dikirim beriringan dengan truk Paman Katsuhisa menuju Georgia.

Di Georgia, mereka tinggal di sebuah flat mungil. Berisikan segala perabot. Dan kesibukan kedua orangtuanya pun meningkat. Katie dan Lynn harus selalu bahu-membahu, terlebih dengan kehadiran si kecil Sam, adik laki-laki mereka. Katie selalu mempercayai Lynn, Lynn memang perempuan yang jenius. Bahkan ketika mereka masuk sekolah, banyak laki-laki yang mengagumi dirinya.

Tapi, sayang, di balik semua keberuntungan Lynn, perempuan itu malah jatuh sakit. Sakit anemia ringan yang lama-lama dideteksi sebagai salah satu penyakit berbahaya. Seluruh anggota pun keluarga turut sedih. Kedua orangtuanya selalu ingin melakukan terbaik untuk Lynn; Katie kerap harus mengalah, tapi ia tahu, ada sesuatu yang gemerlap di balik semua yang terjadi di tengah keluarganya.


  
Sepintas saya mengira kalau “Kira-Kira” bukan buku terjemahan. Alih-alih, “kira-kira” yang secara literal memang berbahasa Indonesia. Namun, dari sampulnya yang berwarna  nila tua dan figur bunga putih yang mengambang di sudut kiri dan kanannya, saya tahu, bukunya akan secantik sampul depannya. “Kira-Kira” tidak berbicara tentang sesuatu yang besar. Perang dunia, misalnya. Dalam “Kira-Kira”, Cynthia Kadohata mencoba menyampaikan aspirasinya mengenai sebuah keluarga imigran Jepang yang bermukim di tanah Iowa; sebuah keluarga yang diliputi hawa sederhana, saling membantu, dan bekerja keras untuk bertahan hidup.

Membaca “Kira-Kira”, mengingatkan saya pada buku-buku Jepang yang pernah saya baca, seperti “Tokyo Tower” karya Lily Franky, buku-buku Haruki Murakami. Kendati berlatar Iowa, tapi esensi Jepang yang terkandung di dalamnya sangatlah terasa. Dimulai dari unsur kekeluargaannya yang kuat dan gaya narasinya yang mengambil sudut pandang orang pertama, yang banyak melibatkan monolog-monolog sepihak, alih-alih dialog dua arah. Jika diadaptasi menjadi rangkai bingkai gerak, pastinya semuanya terasa sunyi, sepi, damai, tetapi elok untuk diperhatikan.

“Kira-Kira” milik Cynthia Kadohata tidak jauh dari buku “Atonement” karya Ian McEwan. Dengan sama-sama mengambil sudut pandang seorang anak kecil sebagai seorang narator, Cynthia Kadohata mencoba menyampaikan perkara-perkara serius dan rumit yang berkecimpung di pikiran orang dewasa. Tentang isu-isu sosial, misalnya perkara diskriminasi suku dan ras yang melibatkan warna kulit yang masih marak dibicarakan di masa itu, lalu bagaimana kaum kapitalis masih menduduki banyak orang-orang kecil dan memperkerjakan mereka tanpa tahu waktu. Semuanya Katie jelaskan dengan kata-katanya yang sederhana dan polos. Ia mencoba menyembunyikan sesuatu ketidakadilan di antara ketidaktahuan. Tapi, sebagai pembaca, saya malah tertantang untuk berpikir dua kali dan merasa tercenung di akhir setiap bab.

Dari segi gaya bahasa, Cynthia Kadohata turut membalut kisah keluarga Takeshima dengan sebuah citra khas pedesaan. Bukan mempermainkan diksi yang rumit, tapi bagaimana ia menjelaskannya setiap gerak-gerik orang di sekitarnya secara lugas dan tidak ditutup-tutupi. Dan sebagaimana orang Jepang mencintai alam, Katie dan Lynn pun banyak menggunakan analogi-analogi cantik yang menautkan kesenjangan, keelokan hidup lewat analogi-analoginya yang mengibaratkan alam menjadi hidup dan ikut terlibat.

Kalau disimak dari bab pertama, “Kira-Kira” terasa tenang dan menghanyutkan. Tipikal alur sebuah drama Jepang. Ada lembah yang sedikit membosankan di tengah, lantaran Cynthia Kadohata mencoba menjelaskan segalanya secara dramatik. Ia jarang menyebutkan sesuatu secara langsung. Ia memanfaatkan identitas Katie sebagai anak kecil untuk membuat segalanya menjadi lucu dan bersifat baik-baik saja. Tetapi, melintasi lika-liku perjalaan Katie Takeshima, “Kira-Kira” bukan sebuah buku tipis yang membosankan, alih-alih bermakna.

Karakter Katie, bisa dibilang karakter kesukaan saya dalam “Kira-Kira”, dari umurnya yang sebelas tahun, ia bisa mengetahui banyak hal lewat ceritanya. Karakternya pun lucu. Ia bukan perempuan yang anggun seperti Lynn, tapi perempuan yang berani dan suka mencari tahu. Katie mungkin tidak sejenius Lynn, tapi seseorang yang setia dan mengerti keadaan. Dan keangkuhannyalah yang kadang membuat saya tertawa.

Terlepas dari karkater utamanya, Mom dan Dad dalam “Kira-Kira” adalah sosok yang saya kagumi. Melihat keduanya bekerja keras demi keluarga mereka, hati saya sering trenyuh. Dari dua puluh empat jam sehari, Mom dan Dad diceritakan mengambil pekerjaan ganda yang purnawaktu. Tidak punya waktu untuk beristirahat. Tidak ada waktu untuk duduk ataupun pergi ke toilet. Tapi, sedetik pun keduanya tidak pernah bersungut-sungut. Luar biasa.

Dari segi latar, dengan menyebutkan secara pasti, 1950. Cynthia Kadohata tak lantas bergantung dengan sisi ekstrinsik yang tengah terjadi di masa itu. 1950 tidak diperlakukan sebagai sekadar angka, tetapi dari situasi yang dialami keluarga Takeshima. Terutama tentang keadaan toko bahan pangan mereka yang tutup, dapat terlihat kalau di tahun tersebut, masih sedikit imigran Jepang yang bermukim di ranah Amerika Serikat. Dan banyak lagi unsur-unsur ekstrinsik yang dengan baiknya disisipkan Cynthia Kadohata agar membuat “Kira-Kira” menjadi sangat hidup dan menyentuh.

Secara keseluruhan, “Kira-Kira” bisa dibilang buku yang cukup menghibur dan sangat membekas. Alur yang dibuat seperti memoar singkat, membuat buku ingin menuai banyak penasaran tentang apa yang selanjutnya keluarga Takeshima harus lalui. Ketebalan buku yang tipis dan gaya bahasanya yang sederhana pun membuat “Kira-Kira” asyik dan mudah untuk dinikmati.

3.5 dari 5 bintang untuk “Kira-Kira”.

One thought on “Kira-Kira – Cynthia Kadohata

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s