Weedflower ‘Bunga Liar’ – Cynthia Kadohata

 

Judul                     : Weedflower ‘Bunga Liar”
Penulis                 : Cynthia Kadohata
Penerjemah       : Lanny Murtihardjana
Penerbit              : Gramedia Pustaka Utama
Terbit                    : Cetakan pertama, Oktober 2008
Tebal                     : 272 halaman
Rate                       : 3 / 5

 

 

“Dia adalah Sumiko Terhina.

 Seperti inilah rasanya kesepian:

  1. Seakan-akan semua oang menatapmu.
  2. Seakan-akan tak seorang pun melihat kepadamu.
  3. Seakan-akan kau nyaris hendak menangis.”

Weedflower ‘Bunga Liar’, hlm. 48

 

Sumiko sudah terbiasa merasa kesepian. Menjadi satu-satunya gadis Jepang di kelas bahkan tidak membuat mata-mata itu diam untuk tidak menyalang.  Ia dibesarkan di perkebunan bunga di California. Hidup menjadi yatim piatu; tanpa ayah dan ibu; tapi dengan seorang adik, Takao ‘Tak-Tak’, Jichan (kakeknya yang renta), paman, bibi, serta kedua sepupu laki-lakinya. Ichiro dan Bull. Sebagai keluarga imigran, keluarga sang paman hidup dengan damai, sangat bersahaja, dan selalu berusaha untuk membaur dengan warga setempat.

Sumiko begitu senang ketika suatu siang sepucuk surat undangan melipir di meja kelasnya. Pesta ulang tahun Marsha Melrose diadakan di Hari Sabtu. Jichan boleh saja menyepelekan, tapi tidak dengan Paman. Kendati pendapatannya pas-pasan, ia membelikan hadiah terbaik agar diberikan kepada Marsha. Namun, senja itu acara yang sangat ditunggu-tunggu Sumiko, seketika menjadi bencana.

Ia tahu, keberadaannya tidak dianggap. Dengan langkah gontai menyusuri aspal rumah, ia berusaha untuk tidak menangis; menutupi kenyataan; berkata bohong tentang pesta fantastis yang baru dialaminya. Tapi, tangis Sumiko pun tumpah di malam kala Bull menemaninya sebelum tidur.

Jepang dan Amerika begitu berjarak. Pearl Harbour kepalang menjadi peristiwa yang membekas. Setiap Nikkei ‘orang Jepang’ di dataran California mulai dicurigai sebagai mata-mata Kaisar. Para warga imigran lekas-lekas melenyapkan benda-benda pribadi yang memiliki unsur Jepang. Mereka ingin selamat. Namun, Sumiko tak dapat mencegah menyergapan siang itu. Jichan dan Paman ditahan. Ichiro, Bull, Bibi, Sumiko, dan Tak-Tak terpaksa harus pindah menuju kamp konsetrasi di padang yang begitu panas.

Kusebana ‘bunga liar’ tidak lagi menjadi pemandangan pekarangan depan rumah. Sumiko berusaha untuk menikmati kehidupan barunya. Mencari teman baru. Dan ia pun bertemu dengan seorang pemuda Indian bernama Frank. Sumiko ingin Frank menjadi sahabat barunya, tapi pemuda Mohave itu malah terlanjur marah lantaran menganggap orang Jepang yang merebut tanah milik Indian. 


 
Karya-karya milik Cynthia Kadohata memang tak bisa jauh dari kata historikal dan anak perempuan. Setelah “Kira-Kira”, yang mengangkat era 1950 sebagai latar utamanya, “Weedflower” pun memgiring pembaca ke masa-masa historis di era Perang Dunia II. Jika dibanding dengan “Kira-Kira”, “Weedflower” lebih menitikberatkan dari segi historikal ketimbang keluarga. Kendati keluarga masih menjadi sebuah cetusan utama dan tempat berayom tokoh utamanya, namun, dari deskripsi narasinya, kentara jika Cynthia Kadohata menyusun begitu banyak catatan dan riset sejarah untuk membentuk sebuah latar kompleks yang syahdu.

Dari banyak isu-isu sosial yang diangkat, sesungguhnya dalam “Kira-Kira” saya sudah mengendus adanya permasalahan diskriminasi ras dan suku yang hendak dipertontonkan oleh Cynthia Kadohata. Namun, alih-alih, menyinggung permasalahan warna kulit, seperti novel-novel historikal lainnya, kali ini Cynthia Kadohata mengajak membaca untuk menyelami hati para imigran Jepang di Amerika dulu. Bagaimana kesusahan mereka untuk berbaur dan selalu tertindas kendati mereka tidak berbuat apa-apa.  Bagaimana mereka mencoba untuk bertahan, selalu berpindah-pindah untuk menyelamatkan diri. Dan bagaimana prasangka buruk para warga Amerika begitu menindas mereka pasca peristiwa Pearl Harbour. Semuanya dituliskan oleh Cynthia Kadohata dengan sangat sederhana, murni, dan riset yang sangat mendalam sehingga membuat saya pun tidak merasa cerita tersebut sebagai fiksi.

“Weedflower” pun kesan yang pelik di benak saya, terutama dari sudut pandang, ada kalanya saya merindukan sudut pandang yang digunakan Cynthia Kadohata dalam “Kira-Kira”. Masih dengan gaya bahasa yang sederhana, seperti cerita anak, Cynthia Kadohata mencoba mengombinasikan gaya penjabaran yang sederhana tersebut dengan sebuah isu yang kompleks. Hanya saja saya merasa Cynthia Kadohata punya citra yang hebat dalam menulis dengan sudut pandang orang pertama alih-alih sudut pandang orang ketiga seperti dalam “Weedflower”. Dalam “Weedflower” saya seperti disuguhkan oleh riset-riset beruntun yang kadang malah terkesan bertele-tele. Berbeda dengan sudut pandang utama yang membuat hal-hal tersebut seperti ditudungi oleh monolog-monolog lucu nan polos tokoh utamanya.

Penerjemahan “Weedflower” terbilang baik. Pas dengan jiwa historikal yang kontras. Tapi, yang saya sayangkan adalah penerjemahan istilah Jepangnya yang sering dilupakan. Istilah-istilah tersebut lebih sering nampak ketimbang di “Kira-Kira”, tapi sayangnya, hal tersebut tidak disandingi dengan catatan kaki sehingga saya kerap bingung untuk mengerti maksud dari hal yang ingin ditunjukkan oleh penulis.

“Weedflower” sempat membuat saya kebosanan di bab-bab pertengahan. Alurnya runut, tapi tidak diimbangi oleh narasi yang konsisten. Di awal semuanya terasa sangat lamban. Cynthia Kadohata ingin menjelaskan segalanya secara rinci di bagian introduksi; terlepas dari sebuah rutinitas, ia pun menceritakan itu satu per satu, hari lewat hari, sehingga cerita pun berjalan sangat lambat. Klimaks yang sudah digambarkan dengan baik di bagian sinopsis belakang buku sayangnya terasa datar. Dan di bagian tiga per empat buku, ketika cerita tersebut menjadi seru dan menarik (saat pertemuan Frank dan Sumiko berkembang menjadi talian sahabat), sayangnya, hal tersebut diletakkan terlalu belakang sehingga tidak sempat disingkap lebih rinci dan menghasilkan premis yang mengambang.

Namun, terlepas dari alur yang cukup membosankan, karakter Sumiko dalam “Weedflower” punya penokohan yang amat baik. Cynthia Kadohata memang punya trik indah tersendiri saat menjelaskan seorang anak perempuan. Ia jarang memilih orang dewasa. Selalu anak-anak sehingga cerita yang disuguhkannya punya kesan tidak mengada-ngada dan memiliki sisi lain untuk dinikmati. Tetapi, selain Sumiko, Bull sesungguhnya adalah karakter yang tidak kalah penting dan cukup saya sukai, dibanding Ichiro, Bull bisa dibilang lebih dewasa dalam berpikir. Sayangnya untuk Frank, saya berharap karakter tersebut lebih digali, lantaran menjadi seseorang yang cukup penting dalam kehidupan Sumiko, namun pembahasannya hanya diulas kala ia bertemu dengan Sumiko, padahal dengan mengambil sudut pandang orang ketiga, penulis bisa membahas karakter Frank dengan lebih luas dan lebih tidak terikat dengan karakter Sumiko.

Secara keseluruhan, saya memberikan 3 dari 5 bintang untuk “Weedflower”. Ada sedikit poin-poin membosankan yang saya tangkap sebagai pembaca, tapi mungkin ini hanya masalah selera. Dalam “Weedflower” saya mengharapkan sebuah permainan narasi yang lebih hidup dan cerkas, tapi untuk hal latar dan konten yang berbobot, “Weedflower” punya materi bahasan yang membuatnya terasa lebih dewasa ketimbang “Kira-Kira”, novel karya Kadohata yang saya baca sebelumnya.

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s