Judul : By the Time You Read This, I’ll Be Dead
Penulis : Julie Anne Peters
Penerjemah : Hedwigis Lani Rachmah
Penerbit : Noura Books
Terbit : Cetakan pertama, April 2015
Tebal : 332 halaman
Rate : 4 / 5
“Aku hanya tahu, aku bangun tiap pagi dan berharap aku mati.” –By the Time You Read This, I’ll Be Dead, hlm. 78
Daelyn tidak gemuk, tapi ia selalu berpikir sebaliknya. Menjadi gumpalan lemak menjijikkan. Menjadi bahan tertawaan teman-teman di sekolah. Memang untuk hal-hal itulah dirinya diciptakan.
Orangtuanya bisa saja pindah dari sebuah kondominium, membeli rumah di sebuah lingkungan baru enam bulan lalu untuk sebuah awal baru. Tapi, bagi Daelyn. Semuanya tetap sama. Ia tidak perlu teman, sama seperti teman tidak perlu dirinya. Dan awal dari semua hidup baru, bukanlah sebuah lingkungan baru, melainkan sebuah perjalanan menembus cahaya.
Hanya perlu satu sidik jari yang pas untuk mengakses Menembus-Cahaya, begitu kata forum rahasia itu. Daelyn nampak begitu bersemangat. Ia menekan “iya” tanpa ragu. Menentukan tanggal yang pas, yaitu dengan hitung mundur menuju 23 hari sebelum ia mewujudkan rencana sempurnanya.
Setelah beberapa kali, bahkan puluhan kali, Kim dan Chip berhasil menyelamatkan nyawanya. Kali ini tidak akan ada yang bisa menghalangi Daelyn. Ia harus segera pergi dari dunia ini, dengan begitu ia bisa bebas.
Tapi, sebuah petaka muncul. Santana Llyod Girard II merebut bangku miliknya. Bangku yang seharusnya ia gunakan seorang diri untuk menunggu Kim menjemput. Tapi, laki-laki itu begitu ngotot ingin mengenal Daelyn. Kendati diabaikan, Santana tidak semudah itu menyerah.
Daelyn menjadi bimbang. Ia tidak ingin seorang pun menjadi dekat dengannya. Apalagi seorang laki-laki. Tidak ada hal lain yang diinginkan oleh seorang laki-laki, selain hal yang paling ditakuti dirinya.
Diawali dengan sebuah pesan yang disulap menjadi judul, Julie Anne Peters memilih frasa yang pas untuk mengundang pembaca agar menjadi penasaran. Kata “dead” yang tertera adalah kata kunci tema yang coba diangkat oleh Julie Anne Peters, bukan bunuh diri, alih-alih, bullying. Penyebab yang kerap dianggap sepele oleh masyarakat, khususnya remaja, tapi siapa sangka malah bisa bersikap fatal.
Mengolok-olok di masa remaja dulu, sering kali dianggap lucu. Mengatai si A dengan julukan yang tidak pantas. Melabeli B dengan nama panggilan tidak senonoh-nonoh. Bagi sebagian orang, hal itu bisa saja diwajari, tapi karakter Daelyn yang dibangun oleh Julie Anne Peters dalam “By the Time You Read This, I’ll Be Dead” punya alur pemikiran berbeda.
Secara keseluruhan, “By the Time You Read This, I’ll Be Dead” bercerita tentang seorang perempuan bernama Daelyn menjadi bahan bullying, mulai dari verbal hingga ke fisik. Dari awalnya ia ditolak oleh masyarakat karena fisiknya yang bertubuh gemuk, lantas hal itu berbalik menjadi Daelyn yang menolak masyarakat. Ia menolak untuk dijamah. Begitu pun terhadap kedua orangtuanya. Dari segala usaha yang dilakukan, Daelyn selalu saja punya pikiran kedua.
“By the Time You Read This, I’ll Be Dead” dipenuhi oleh monolog-monolog Daelyn. Daelyn bisa saja berbicara. Tapi ia enggan. Dengan begitu ia selalu saja berkata dalam hati. Dan membaca “By the Time You Read This, I’ll Be Dead” terasa seperti dibisiki oleh teman sebangku yang gemar bergosip dan mengatai orang dari belakang. Terkadang sedikit kesal, marah, lantaran saya sering mengira, kenapa Daelyn selalu saja berpikir negatif terhadap segala hal, padahal orangtua, guru, dan lingkungannya sudah berusaha untuk membantunya? Tapi, karakter Daelyn tidak dibuat semata-mata atas dasar karya fiksi. Seperti seseorang yang terbiasa dikucilkan, hal itu terasa realistis jika label “terkucil” tersebut malah secara otomatis sudah melekat di benaknya. Dan hal itu pun berlaku pada Daelyn, sehingga di mana pun Daelyn berada, yang perlu ia ingat adalah, dirinya merupakan sebuah kegagalan.
Dan menyinggung masalah konflik, sesungguhnya, konflik yang diciptakan Julie Anne Peters sudah berada dalam diri Daelyn sendiri. Bagaimana ia berinteraksi dan di kala awal, ia menemukan sebuah Forum Final, tempat para korban bullying berkumpul. Tapi, alih-alih mengangsurkan sebuah kejenuhan dengan alur maju dan bersifat seperti rutinitas keseharian seorang remaja perempuan, Julie Anne Peters mengonfrontasi konflik batin Daelyn soal keputusannya dengan seorang pemuda bernama Santana.
Seperti paradoks, Santana diciptakan dengan sifat yang sangat berkebalikkan dari Daelyn. Santana adalah sosok yang terbuka, ceplas-ceplos. Kendati tidak pernah ditanggapi oleh Daelyn. Dari dialognya yang terkesan tidak sopan, to-the-point, ia berusaha mengenal seorang Daelyn yang keras kepala dan muram. Menasehatinya sedikit demi sedikit tentang menghargai kehidupan, dan bagaimana seharusnya setiap manusia bersikap satu sama lain. Bukannya mencela. Dan melukainya.
“Kepercayaan moral dasar bahwa menyakiti satu orang di antara kita, berarti menyakiti kita semua. Bahwa kita semua saling berkaitan.” –By the Time You Read This, I’ll Be Dead, hlm. 269
Sehari lepas sehari, dari monolog-monolog Daelyn yang kadang menjengkelkan, Julie Andrews menyelipkan segudang kisah napak tilas mengenai perjalanan dan rencana-rencana bunuh diri Daelyn yang pernah gagal. Dan dengan konversasinya antar-para korban bullying di Forum Final, bisa terlihat bagaimana benak setiap orang ketika mereka memilih diam. Mereka bukan berarti bisa menerima, alih-alih, memaki cara lain.
Situs Menembus-Cahaya bisa saja sebuah situs fiksi yang diciptakan sang pengarang. Tapi, hal itu terasa nyata. Isinya seperti sebuah direktori pas untuk seseorang yang ingin bunuh diri. Mulai dari seksi khusus untuk berkomunikasi antar-anggota, sebuah program hitung mundur menuju “rencana besar”, dan juga sebuah laman yang khusus membahas tips-tips hebat untuk bunuh diri. Cukup gila. Tapi, Menembus-Cahaya terasa meyakinkan di benak saya.
Mulai dari halaman depan dari “By the Time You Read This, I’ll Be Dead”, bisa dilihat tujuan dari novel ini dibuat, yaitu untuk berkampanye mengenai anti-bullying. Metoda yang pas. Situs Menembus-Cahaya dan Forum Final-nya juga sangat efektif untuk membuka mata pembaca untuk tidak melihat dari sisi Daelyn yang tersiksa, tapi dari remaja-remaja lainnya yang mengalami bullying dengan berbagai macam cara.
Dari segi penokohan pun saya menyukai pendeskripsian setiap tokohnya. Kalau Santana yang menjadi karakter utama seorang laki-laki di novel young-adult pada umumnya akan diceritakan dengan deskripsi mengenai ketampanan yang luar biasa dan sebagainya, tapi pendeskripsian seorang Santana yang digarap oleh Daelyn terasa pas dan meyakinkan. Tidak melebih-lebihkan. Alih-alih, hanya seorang laki-laki biasa yang mencoba berteman. Pun dengan karakter Daelyn yang tidak dijelaskan secara analitik. Membaca “By the Time You Read This, I’ll Be Dead” bisa diibaratkan seperti merobek bungkus kado. Kisahnya seperti dibalik mundur, dari konflik di masa sekarang, saat Daelyn memutuskan untuk menentukan 23 hari sebelum ia bunuh diri, lalu penokohan dan penyebab keinginan tersebut muncul sedikit demi sedikit. Hari demi hari, sehingga membuat setiap hari yang kerap terasa diulang-ulang menjadi mendebarkan. Kira-kira akan ada kejadian apa lagi hari ini?
Menyakut tema bullying yang diangkat oleh Julie Anne Peters dalam “By the Time You Read This, I’ll Be Dead”, bisa dibilang, novel ini punya sudut pandang pembahasan yang mirip dengan “Wonder” karya R. J. Palacio. Hanya saja berbeda dari sisi target pembacanya, kalau “Wonder” yang sama-sama membahas tentang kekurangan seseorang lebih memiliki warna yang ceria, dengan gaya bercerita yang positif. Mungkin hal tersebut dikarenakan kalangan pembacanya yang lebih banyak anak-anak. “By the Time You Read This, I’ll Be Dead” sendiri terkesan gelap dan gloomy, seperti yang sudah dipaparkan, banyak lontaran negatif dan ucapan-ucapan saraktastis, dialog-dialognya pun terkesan lebih dewasa dan tidak menutup-nutupi diri untuk sesuatu yang dianggap tidak senonoh. “By the Time You Read This, I’ll Be Dead” lebih ingin berbicara sebuah fakta dan pemikiran dari seorang korban bullying secara menyeluruh.
Secara keseluruahan, “By the Time You Read This, I’ll Be Dead” cukup menghibur bagi saya. Kendati awalnya saya berpikir mengenai bab-bab yang berurut mengenai tanggal tersebut akan menjadi sebuah kisah yang menjenuhkan, tapi lewat plot dan napak tilas seorang Daelyn, di penghujung cerita, saya menjadi punya kesan lain terhadap kisah menyentuh tersebut.
Dari gaya tererjemahannya juga, kalimat-kalimatnya mudah dipahami. Tidak menambah kesan eulogi dari tema gelap yang coba diangkat Julie Anne Peters. Semuanya terasa mengalir. Dan seperti sebagai tujuan utama, “By the Time You Read This, I’ll Be Dead” adalah senjata yang pas untuk memerangi bullying yang kerap di tengah remaja.
Empat dari lima bintang untuk “By the Time You Read This, I’ll Be Dead”. Jika seorang teman pernah berkata, “By the Time You Read This, I’ll Be Dead” merupakan panduan yang pas untuk bunuh diri, tapi di akhir cerita, seseorang perlu tahu: terkadang kita tidak selalu harus berperang sendirian di dunia ini.