Judul : Shades of Earth ‘Bayang-Bayang Bumi’ (Across the Universe #3)
Penulis : Beth Revis
Penerjemah : Barokah Ruziati
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : Cetakan pertama, April 2015
Tebal : 496 halaman
Rate : 5 / 5
“Semua yang sudah kita lakukan, semua yang sudah kita korbankan—semuanya percuma. Bumi sudah menaklukkan planet ini. Mereka datang, mereka melihat, mereka pergi. Dan sekarang kita di sini.” –Shades of Earth ‘Bayang-Bayang Bumi’, hlm. 226
Separuh awak Godspeed bersuka ria; pendaratan bisa terbilang tidak terlalu mulus, namun Elder berhasil mendaratkan kapsul utama di Bumi-Centauri, planet yang akan menjadi rumah baru mereka. Tabung-tabung kronik mulai dibuka. Elder masih dihantui petuah Orion, prajurit atau budak, mengingat para manusia beku akan segera dicairkan.
Bumi-Centauri nyatanya berbeda dari yang selama ini mereka pikirkan. Dengan dua matahari yang menggantung di pucuk langit dan keberadaan para ptero yang agresif. Para koloni mencoba bertahan dan meneliti tentang planet baru mereka. Namun, semakin hari, keadaan tak bertambah baik.
Satu per satu korban berjatuhan. Elder tahu, Kolonel Robertson, Ayah Amy, memang pria yang keras kepala, tapi ia tak berhak menyembunyikan sebuah rahasia di balik danau sana. Rahasia tentang sebuah peradaban yang ada sebelum mereka tiba.
Elder tak bisa membiarkan koloninya musnah, pun dijadikan budak-budak FRX. Seiring dengan penggembokan kapsul yang dilakukan secara otomatis, tabung kronik Orion mencair tanpa bisa dicegah. Napasnya terengah. Ia sekarat. Tapi, agaknya pria itu belum berhenti bermain. Orion berpesan, bahwa masih ada satu petunjuk lagi yang tertinggal. Bukan di Bumi-Centauri, lantas apakah dengan petunjuk itu, mereka dapat menyelamatkan koloni dari serangan makhluk asing?
Sebagai penutup dari seri “Across the Universe”, “Shades of Earth” bisa dibilang sangat berhasil. Saya merasakan klimaks yang meletup-letup di dalamnya. Setelah sebelumnya, dalam “A Million Suns”, Beth Revis bermain-main dalm Godspeed dan teka-teki misteri Orion, kini dalam “Shades of Earth” ia mencoba mengombinasikan hal-hal yang berbau ilmiah dari buku pertama dengan misteri di buku kedua serta latar baru dan konflik-konflik yang mengejutkan sebagai penutup cerita.
Secara pribadi, “Shades of Earth” dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: Pendaratan, Penyerangan, dan Pengungkapan. Di mulai dari akhir buku kedua, sesungguhnya saya sudah bertanya-tanya, bagaimana Bumi-Centauri yang Beth Revis maksud? Apakah sebuah planet yang tandus? Hanya berupa kawah-kawah, seperti yang pernah divisualisasikan dalam film “Interstellar” karya Christopher Nolan atau akan berbeda? Secara garis besar, Beth Revis tidak menjelaskan Bumi-Centauri secara bertele-tele. Dengan berbagai pembuktian ilmiah atau data-data statistik yang membuktikan kalau planet tersebut layak dihuni, tapi yang menarik adalah makhluk-makhluk di dalamnya yang terkesan primitif, pun dengan keadaan tempat-tempatnya yang terlihat tropis. Sehingga sebagai visualisasi pemandu, saya pikir, menjelajahi Bumi-Centauri bersama koloni Elder terasa seperti menonton film Star Wars. Banyak daun-daun rimbun, gua-gua terbengkalai, dan juga makhluk-makhluk yang unik.
Dari penjelasan latar yang unik dan baik, pada bagian “Penyerangan” yang saya maksud, adalah sebuah misteri. Beth Revis bisa dibilang amat menyukai teka-teki. Sehingga, alih-alih memperlihatkan wujud si penyerang, ia lebih suka bermain petak umpet. Hal ini mengingatkan saya pada novel-novel Michael Crichton, The Jurassic Park, lebih tepatnya. Dengan latar yang mirip, sama-sama tropis, lalu perasaan menegangkan, serta teror yang dialami oleh setiap anggota koloni. Kesan tersebut membuat “Shades of Earth” menjadi semakin kompleks dan menarik.
Dan di bagian terakhir, “Pengungkapan”, saya rasa, saya tidak bisa berbicara banyak soal ini. Dengan alur yang tidak jauh berbeda dari buku pertama, bagian “Pengungkapan” membuat pembaca, termasuk saya, tercengang. Bukan karena mengandung jawaban. Tapi, yang membuat “Shades of Earth” terasa “wah”, adalah sebuah kompleksitas yang ditawarkan Beth Revis. Banyak novel sci-fi atau fantasi, khususnya distopia, yang berjalan dari satu seri ke seri lainnya seperti setapak lurus. Terus maju, tanpa memedulikan yang lalu, namun, yang membuat “Shades of Earth” terasa berbeda adalah, konflik berkait yang diambil oleh Beth Revis tidak hanya mengaitkan sebuah konflik baru dengan konflik sebelumnya, alih-alih, ke konflik dasar, sebuah sumber yang kecil, yang bisa dibilang tidak pernah saya kira akan menjadi jawaban atas semua konflik yang pernah para awak Godspeed alami.
Dengan sebuah ide yang kompleks, “Shades of Earth” pun punya plot twist yang sangat baik. Hanya saja membuat alur terasa melompat-lompat. Saya merasakan ketidak-konsistenan pembahasan yang coba dibangun oleh para naratornya. Jika sebentar Elder membahas tentang pembunuhan, tiba-tiba Amy akan menyinggung soal misteri, lalu hal tersebut akan melompat ke konflik yang lain. Tidak seperti “A Million Suns” yang terasa mengalir, dari satu teka-teki yang menarik pembaca kepada teka-teki selanjutnya. Memang lebih ke preferensi pembaca, mungkin ada yang sulit berimajinasi, “Shades of Earth” terbilang buku yang lebih menguras konsentrasi ketimbang “A Million Suns”.
Aksi laga yang bermunculan di “Shades of Earth” bukan satu-satunya genre yang terasa dominan mewarnai seri penutup “Across the Universe”. Jika di “Across the Universe” hubungan Elder dan Amy hanya berupa pertemuan dan pertemanan, dalam “Shades of Earth” hubungan keduanya diceritakan lebih intim dengan frekuensi yang lebih sering. Roman bisa dibilang bumbu yang baik untuk menjadi intermezo dari planet baru yang diciptakan Beth Revis. Sayangnya, tidak terasa terlalu nikmat jika disangkutpautkan dengan gaya bahasa. Dari konflik dan kesan sci-fi sci-fi yang kental, agaknya gaya bercerita Beth Revis terkesan seperti “ikut-ikutan”, dari sebuah penjelasan narasi yang rapi, enak dibaca, mudah dipahami, sekaligus beralur cepat dan cerkas. Pada bagian roman, Beth Revis seperti ingin mengikuti tren melodrama dengan gaya bahasa yang mendayu-dayu dan penuh kiasan. Tidak bersifat merusak struktur cerita, hanya saja terkesan jomplang. Mungkin baiknya, menyandingi tema yang “tangguh”, roman pun bisa diusung dengan deskripsi yang praktis dan terkesan tidak mendayu-dayu.
“Shades of Earth” sekilas bisa disimpulkan seperti sebuah buku yang berisi A-Z. Selain dunia yang baru, karakter-karakter baru pun bermunculan. Dengan introduksi yang singkat. Saya menyukai karakter Kolonel Robertson yang dijelaskan melalui gestur dan dialog-dialognya yang tegas. Hanya saja seperti para pemain sampingan, agaknya saya cukup terkejut dengan adanya nama-nama asing yang tiba-tiba muncul tanpa adanya penjelasan sebelumnya. Seperti halnya seorang pemuda bernama Chris. Pada bagian ini, penokohan, Beth Revis agaknya membalik alur yang seharusnya berisikan introduksi menjadi sebuah karakter yang muncul tiba-tiba sebagai sebuah lubang plot yang akan menjawab semua misteri penjelajahan mereka melintasi alam semesta.
Secara keseluruhan, “Shades of Earth” adalah sebuah buku penuh jawaban. Jawaban terhadap “Across the Universe”, yang membiarkan tanda tanya besar tentang keberadaan senyawa bernama Phydus. Jawaban terhadap “A Million Suns” yang membuat para awak Godspeed menolak untuk mendarat di Bumi-Centauri selama ratusan tahun. Dan sebuah jawaban terhadap sebuah kehidupan tersembunyi di Bumi-Centauri sendiri.
Dari lima, saya memberikan lima bintang untuk seri “Across the Universe”. Banyak novel berseri lainnya yang kadang membuat saya kecewa di seri ketiga, yang didominasi oleh rasa bersalah dan roman yang mendayu-dayu. Tapi, dengan adanya roman yang intens di “Shades of Earth”, bukan berarti menghilangkan ketegangan dan keseruan petualangan Elder dan Amy, alih-alih, membumbui sebuah jawaban yang jauh dari yang saya pikirkan selama ini.