Judul : The Catcher in the Rye
Penulis : J. D. Salinger
Penerjemah : Gita Widya Laksmini
Penerbit : Banana
Terbit : Cetakan ketiga, Juni 2015
Tebal : 296 halaman
Rate : 4 / 5
“Hidup memang sebuah permainan, Nak. Hidup adalah permainan di mana semua orang harus ikut aturan.” –The Catcher in the Rye, hlm. 12
Perjalanan kecil itu bisa dibilang yang terakbar yang pernah terjadi pada Holden Caulfield. Sudah ketiga kalinya ia dikeluarkan dari sekolah. Kali ini adalah Pencey Prep. Sekolah yang katanya penuh dengan orang-orang hipokrit. Di mana setiap orang berusaha bertingkah baik, tapi tidak di kamar asrama masing-masing.
Holden memutuskan untuk mengunjungi Pak Spencer malam itu, dengan perasaan enggan. Orangtuanya mungkin belum dihubungi oleh si gaek Thurmer; memberitakan bahwa anak laki-laki mereka baru saja hengkang dari senarai murid sekolah. Dengan uang seadanya, pemberian sang nenek, Holden nekat berangkat ke New York. Menyewa sebuah kamar hotel murah. Dan mengunjungi satu per satu bar, meminum sebanyak-banyaknya gelas bir dan soda yang sanggup ia tenggak.
Bertemu dengan Sally, teman perempuannya dulu, bernostalgia mengenai Jane. Ia masih gusar tentang perkara kencan terakhir Jane Gallagher dengan Stradlater, teman sekamarnya yang bangsat. Jane mungkin bukan gadis yang cantik, tapi setidaknya perempuan itu tidak dungu, seperti para teman di Pencey Prep. Lantaran hal itu, Holden Caulfield merasa tertarik untuk pertama kalinya.
Tanpa aturan, hidup Holden berpindah dari satu kamar hotel ke kamar hotel lain, iseng menghubungi perempuan di tengah malam dengan bermodalkan bilik telepon. Memesan seorang pelacur ke kamar dan malah menuai sebuah bogem mentah dari Maurice yang membual soal tarif main semalam dan sekali main.
Dari satu deret kalimat yang berada di sampul belakang berwarna putih susu, “Mengapa buku ini disukai para pembunuh?” agaknya saya mulai mempertanyakan diri sendiri, bagaimana saya bisa menceritakan kisah sinting Holden yang terombang-ambing kepada orang lain. Tapi, toh buku ini sudah dicetak ratusan kali, mungkin ribuan dengan puluhan versi dan sampul wajah yang berbeda. Hanya menilik judulnya, “The Catcher in the Rye”, semua orang percaya ini buku bagus.
Kalau boleh bilang, “The Catcher in the Rye” adalah buku klasik yang plin-plan, tapi mungkin karena ke-“plin-plan”-annya itulah yang membuat buku ini terasa nyaman untuk dibaca oleh banyak kalangan. Cukup sederhana, namun bercerita secara jujur, realistis, dan tidak ditutup-tutupi mengenai keadaan yang terjadi di zamannya.
“The Catcher in the Rye” bersifat seperti memoar. Menceritakan perjalanan hidup Holden, seorang remaja yang dikeluarkan dari salah satu sekolah terbaik di daerahnya, Pencey Prep. Tapi, alih-alih, pulang ke rumah orangtuanya, ia malah menggunakan sisa ujan pemberian sang nenek untuk menetap di New York sementara waktu. Keputusan Holden itu memang terasa gegabah, tapi lewat pertemuannya dengan banyak orang dan sikapnya dalam mengambil keputusan, saya seperti dibawa terombang-ambing dalam monolog dan dialog-dialognya.
Kepergian Holden ke New York terasa eksperimental. Pembaca terasa seperti memakai kacamata kuda, yang mana, Holden-lah yang menjadi kusirnya. Entah apa yang akan ia hadapi. Mabuk-mabuk ‘kan semalaman? Bercinta dengan para pelacur yang ia sewa melalui penjaga lift hotel? Dari deretan peristiwa yang terjadi, memang tidak ada klimaks yang benar-benar menanjak secara tajam, alih-alih, mengonfrontasi ucapan Pak Spencer di awal cerita, tentang hidup yang merupakan aturan.
Bagi orang muda seperti Holden, hidup adalah perjalanan yang dapat ditempuh sesuka hati. Menjumpai orang yang sudah lama tidak ia jumpai. Mencoba hal-hal yang tak pernah ia lakukan di sekolah. Melanggar aturan sebanyak-banyaknya, pun menggunakan banyak umpatan kepada orang-orang di sekitarnya.
Dari gaya bahasa yang digunakannya, kendati “The Catcher in the Rye” digolongkan sebagai novel klasik, namun gaya bahasa yang digunakan sungguh enak dibaca. Pas dengan karakter utamanya, Holden, yang masih SMA. Ia banyak menggunakan umpatan, yang membuat dirinya terasa seperti jagoan satu kota. Berbicara dengan takabur dan santai. Tidak kolot, dan tidak sulit untuk dicerna. Setiap pendeksripsiannya pun terasa realistis. Dan lewat gaya bahasa juga, seorang J. D. Salinger berusaha menyampaikan karakter seorang Holden.
Dari satu sisi, sebagai pembaca, saya sempat mengira, Holden memang pantas dikeluarkan dari sekolah, melihat gayanya berbicara seperti seorang bajak laut. Dan kalau novel in sempat dilarang beredar di Amerika, tempat asal penulisnya, hal tersebut tentu dapat dimaklumi, lantaran banyaknya kata umpatan di dalamnya. Tapi, lewat gaya bahasa tersebut, karakter Holden sendiri menjadi sangat hidup. Sebagai seorang remaja, ia melihat segala sesuatu dengan mata telanjang, kalau ia pikir itu jelek, ia langsung berkata jelek, tanpa ditutup-tutupi ataupun diimbuhi dengan bunga-bunga kata.
Tapi, jika menyimak hingga ke akhir ceritanya, Holden bisa dibilang karakter hebat yang pernah saya baca. Holden bisa dibilang cukup mewakili jiwa muda dalam hidup seseorang. Ia bisa saja mengumpat pada semua orang, tapi sesungguhnya Holden punya hati yang baik dan rapuh. Ada bagian kala ia terlihat seperti bajingan, tapi ada pula ia bersikap penuh rasa kasih dan menjadi seorang yang cengeng kala dihajar oleh keadaan.
Membaca “The Catcher in the Rye” bisa dibilang seperti didongengi oleh seorang tua yang tengah bernostalgia. Dengan alur yang maju. Terkadang mundur. Lantas berputar-putar. Saya paling ingat bagaimana ketika Holden bercerita mengenai sarung tangan bisbol milik Allie. Banyak bagian yang mirip dengan hal seperti itu terulang di sepanjang novel. Seolah-olah saya membaca chicklit versi seorang laki-laki. Ketika ia menjadi sangat ceriwis dan mengaitkan satu cerita dengan hal-hal lampau. Terkadang memang membuat saya menjadi bosan dan merasa bingung, sesungguhnya, apa inti dari cerita ini?
Pun seperti saya menulis ulasan ini, sempat bingung juga, apa yang harus saya acungi jempol dan apa yang harus saya bilang tentang unsur-unsur intrinsik lainnya. Tapi dari keseluruhan memoar perjalanan kecil Holden, saya merasa, “The Catcher in the Rye” cukup menarik untuk dibaca.
Dari lima, empat bintang untuk “The Catcher in the Rye”. Saya begitu terpikat dengan karakter seorang Holden dan umpatan-umpatan hebatnya. Saya menunggu novel lain yang mungkin bisa mengungguli karakter Holden dalam “The Catcher in the Rye”. Bagaimana ia bisa terasa hidup dan realistis.
Halo Jane, reviewnya apik. Udah lamaaa banget mau baca buku ini tapi males karena ngga ada yg versi terjemahannya. Eh ternyata ada yaa.. yang banana ini, Beli di mana?
Mau beli jugaaak
Terima kasih, Kak. Iya, ini ada terjemahannya. Kemarin saya beli di Kinekuru. Kalau secara online, bisa beli di standbuku.wordpress.com 🙂
Hai Jane, terima kasih reviewnya yang menginspirasi. Aku baru saja nonton filmnya, Jane. Judulnya Rebel in the Rye. Lalu saya googling, barulah membaca novelnya. Suka sekali gayanya J.D. Salinger. Sangat ekspresif.