Extraordinary Means – Robyn Schneider

  

Judul                     : Extraordinary Means
Penulis                 : Robyn Schneider
Penerbit              : Katherine Tegen Books
Terbit                    : Cetakan pertama, Mei 2015
Tebal                     : 324 halaman
Rate                       : 4 / 5

  

“Art is pain. And so is life.” Extraordinary Means, hlm. 23

 
 
Lane sudah memetakan hidupnya yang nyaris sempurna. Menghabiskan waktu dengan Hannah; mengikuti ujian saringan masuk untuk Universitas Stanford. Tapi, tidak dengan rencana B yang datang tiba-tiba. Diagnosis dokter mengatakan Lane terkena penyakit tuberkolosis kronis, yang membuatnya harus dikarantina selama beberapa bulan.

Hidupnya hancur. Latham House merupakan mimpi buruknya. Terlebih Dr. Barons melarangnya untuk belajar, alih-alih, ia berkeras harus mencetak skor terbaik untuk ujian saringan masuk Standford.

Di hari pertamanya menginjakkan kaki ke sanitorium itu, Lane bertemu dengan seorang gadis eksentrik dan luar biasa percaya diri, bernama Sadie.

Bukan seseorang yang ia harapkan bertemu untuk kedua kali. Ia ingat Sadie ketika tiga belas tahun dulu; Sadie dan Lane mendatangi kemah musim panas sama seperti anak-anak seumur mereka lainnya.

Tapi, apa yang membuat Sadie enggan berbicara dan menghindari Lane di Latham House? Sementara Lane begitu penasaran dengan sosok Sadie yang dulu hanya dipandanginya dari jauh.

  

Tuberkolosis ditambah gadis ekstentrik dari dorm wanita, para pembaca John Green pasti sudah tahu jawabannya. “Extraordinary Means” memang bukan serta-merta sebuah cerita tiruan antara “Looking for Alaska” dan “The Fault in Our Stars”, ada sedikit kesamaan kedua karakternya yang sama-sama penderita tuberkolosis, sebuah penyakit yang juga mematikan seperti kanker. Tokoh perempuan yang eksentrik dan pemberontak seperti Sadie, seperti halnya Alaska Young dalam “Looking for Alaska”. Serta seorang karakter laki-laki nerd yang menjadi pusat perhatian pertama seperti Lane. Tapi, lewat kata-katanya yang menarik karya fenomenal kedua dari Robyn Schneider ini punya daya tarik sendiri lewat gaya bahasanya yang lebih sederhana.

Masih ada beberapa permainan metafora. Tapi, ketimbang karya John Green perlu pemikiran dua kali untuk memecahkan kompleksitasnya. “Extraordinary Means” lebih menekankan plot yang berkisah tentang persahabatan, hubungan, serta tips-tips menghadapi kematian.

Datang dari dua kubu yang berbeda, Lane dan Sadie sesungguhnya ada sepasang paradoks yang sederhana. Seorang nerd dan seorang gadis pembangkang. Tapi lewat paradoks itu keduanya malah saling menyemangati untuk melewati masa-masa sulit mereka di saniotorium Latham House.

Perbedaan paling kontras dari “Extraordinary Means” dengan kedua karya John Green lainnya adalah dari gaya bahasanya. John Green selalu bercerita lewat satu sudut pandang. Biasanya laki-laki. Tapi, Robyn Schneider mencoba untuk mengungkap rahasia dari dua sudut pandang sekaligus. Sedikit kaget di bab-bab awal memang. Bahkan di bab kedua saya sempat mengira bahwa bab yang berjudul “Sadie” tersebut masih dinaratori oleh Lane yang bercerita tentang Sadie, gadis yang membuatnya penasaran setengah mati.

Gaya bercerita Robyn Schneider sendiri bisa dibilang luwes. Ini pertama kalinya saya membaca buku karya Schneider, tapi saya langsung merasa “klik”. Lewat narasinya dari sisi Lane, pun Sadie, Robyn Schneider membuat sebuah komposisi bercerita yang ceriwis. Tidak monoton dan hanya itu-itu saja. Monolog-monolognya selalu bercerita. Tidak hanya gerak-gerik di sekitarnya. Tapi dengan banyak analogi yang juga menyangkutpautkan persoalan masa lalu dan latar belakang para tokohnya. Dan sekalipun “Extraordinary Means” ditulis dengan Bahasa Inggris, saya rasa, kosakata yang digunakan oleh Schneider sangat mudah dipahami dan tergolong sehari-hari. Tidak seperti buku-buku John Green yang lebih menekankan ke persoalan metafora rumit dengan bahasa yang cukup rumit pula.

Mendukung sebuah gaya bahasa yang ceriwis, plot yang digagas oleh Schneider bercerita banyak lewat introduksi-introduksi di bab awal. Cerita menjadi sedikit lambat dan berputar-putar. Tapi, yang saya suka, Schneider tidak membuat adegan lovely dovey yang keluar batas, cukup dengan kadar dan narasi yang cepat. Seperti halnya menonton film. Dan adegan-adegan tersebut hanya diputar dengan dibarengi musik latar.

Di pertengahan, saya menangkap plot cerita “Extraordinary Means” punya gaya yang serupa seperti “Looking for Alaska”, yang mana para tokohnya mulai mencoba hal-hal gila. Mencoba meminum minuman keras, pergi ke bar, berkeliaran ke luar batas sanitorium. Dan seperti halnya berkendara dalam gelap. Mereka pun mulai menuai konsekuensi di akhir cerita. Hanya saja, yang mengurangi poin “Extraordinary Means”, gaya bahasa Schneider yang lekas, yang menjadi kekurangan.

Alih-alih, membeberkannya dengan banyak teka-teki dan pertanyaan, saya rasa premis dari “Extraordinary Means” menjadi kurang sampai di benak pembaca. Entah ini ingin mebahas tentang kehidupan, tentang persahabatan, atau tentang cinta. Seperti ketiganya berlalu dengan cepat dan tidak mendapatkan apa-apa.

Tapi, secara keseluruhan, saya sangat menyukai permainan karakternya. Kalau John Green hanya bermain dengan satu wujud sudut pandang. Schneider nampak bisa meng-handle keduanya dengan cukup baik. Tidak terpaku pada satu karakteristik, tapi ia mencoba membuat sebuah grup seru di dalam cerita. Seperti halnya grup seru milik karakter Charlie dalam “The Perks of Being a Wallflower” karya Stephen Chbosky.

Dan untuk setting, tidak terlalu kompleks. Schenider memilih sanitorium Latham House, yang awalnya saya pikir mirip dengan rumah jompo. Tapi, seiring kegilaan-kegilaan yang terjadi, saya mulai membayangkan sebuah adaptasi dari novel “It’s Kind of Funny Story” karya Ned Vizzini, yang mana banyak ruangan menarik di tengah sanitorium tersebut. Pun sebuah hutan yang memungkinkan para penghuninya pergi melarikan diri dan bercumbu di antara pepohonan.

Well, dari satu sampai lima, saya memberikan empat bintang untuk “Extraordinary Means”. Bisa dibilang novel yang cukup menghibur. Tidak memusingkan. Kosakatanya dapat dipahami dengan mudah. Pun ada pelajaran-pelajaran moral di dalamnya.

 

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s