Judul : Finding Audrey ‘Aku, Audrey’
Penulis : Sophie Kinsella
Penerjemah : Angelic Zaizai
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : Cetakan pertama, Juli 2015
Tebal : 360 halaman
Rate : 4.5 / 5
“Tapi, Audrey, begitulah hidup. Kita semua memiliki grafik bergerigi. Aku tahu aku begitu. Naik sedikit, turun sedikit. Begitulah hidup.” –Finding Audrey ‘Aku, Audrey’, hlm. 332
Kacamata hitam sesungguhnya bukan atribut penting bagi Audrey yang biasanya. Tapi lantaran menderita gangguan kecemasan, pasca insiden bullying di sekolah. Audrey menutup diri dari lingkungan sekitar.
Ia melewatkan sekolah; Natalie—sahabat baiknya—pun tidak tahu ke mana Audrey menghilang. Ia bersembunyi di dalam gelap. Dan satu-satunya tempat yang berani Audrey kunjungi adalah ruang praktik Dr. Sarah. Kosultasinya berjalan perlahan. Hingga Frank, abangnya yang kecanduan game Land of Conquerors membawa teman setimnya ke rumah. Audrey tak ayal jadi kerasan.
Linus tidak secuek Frank. Dan ia memang pakar. Melihat keadaan Audrey yang selalu menutup diri malah membuat Linus penasaran. Mereka bertukar pesan tulis. Hingga Audrey pun memercayai kalau Linus dapat membantunya sembuh.
Mendengar Sophie Kinsella, rasanya para pembaca setia buku-bukunya akan sedikit meragukan keberadaan “Finding Audrey”. Bukan lantaran kepiawaian menulisnya, alih-alih, idenya yang mengusung sebuah plot young adult. Tapi, jangan bilang Sophie Kinsella kalau tidak asyik. Kendati membuat sebuah novel dengan gaya baru, saya sebagai salah satu yang menggemari beberapa chicklit-nya merasa sangat puas dan tercengang dengan kehadiran “Finding Audrey”.
Di halaman pertama yang menunjukkan lembar “terima kasih”, Sophie Kinsella sudah menuliskannya, kalau “Finding Audrey” adalah untuk keluarganya. Dan plotnya adalah wujudnya. Mulai dari permulaan, sesungguhnya, “Finding Audrey” tidak hanya berbicara soal Audrey yang mengalami gangguan kecemasan. Tapi, ini soal keluarga Turner. Termasuk anak pertama mereka, Frank, yang juga mengalami kecanduan game komputer. Dan buku ini dibuka dengan begitu realistis. Pembaca tidak dilayangkan dengan kerumpun kisah sedih tentang bullying yang menimpa Audrey, alih-alih, sebuah adegan seru khas seorang ibu supercerewet yang hendak melempar komputer lewat jendela lantai dua.
Well, bagaimana cerita itu bergulir selanjutnya?
Sesungguhnya sederhana. Tiap rangkaian ceritanya punya problem-problem yang jujur, nyata, dan dikemas dengan gaya eksekusi yang mengarah ke unsur komedi. Jadi, kalau mulanya pembaca berpikir, kisah ini akan terdengar setragis novel Julie Anne Peters, “When You Read This, I’ll Be Dead”, nyatanya sama sekali berbeda.
Pun dari gaya menulis Sophie Kinsella. Seolah umur tak pernah menghalanginya untuk berkreasi. Setiap monolog, dialog, deskripsi, semuanya masih sangat Sophie Kinsella. Hanya bedanya, kalau di seri “Shopaholic”, Becky Bloomwood sebagai lakon utamanya merupakan seorang wanita dewasa yang mencemaskan persoalan orang dewasa seperti tagihan kartu kredit, kini sebagai Audrey dalam “Finding Audrey”, Sophie Kinsella mencari problem-problem remaja yang bisa dikomentarinya. Dan selain Audrey, citra Sophie Kinsella sendiri sesungguhnya ikut melekat dalam sosok Mum, yang mana ia seorang ibu supercerewet, mudah panik, dan mudah terpengaruh oleh isu-isu terbaru di Daily Mail. Cukup lucu melihat keduanya berinteraksi. Terlebih dengan kehadiran Frank, remaja lima belas tahun yang mencoba mengelabui kedua orangtuanya untuk bermain game dengan cara apapun, bisa dibayangkan seramai apa keluarga Turner?
Dirangkum dengan sebuah alur yang dominan maju, sesungguhnya, ini part yang menurut saya kurang diungkap secara total, yaitu soal Audrey yang sesungguhnya. Dan insiden bullying yang dihadapinya. Di episode-episode awal, saya merasa cukup menikmati ceritanya. Sempat tertawa-tawa dengan tingkah Mum yang histeris, Dad yang serba-polos, dan Frank yang mati-matian menuntut pengembalian hak bermain game-nya. Tapi, di mana Audrey? Itulah yang seolah-olah dinomorduakan dalam kisah tajuknya sendiri. Dan setelah sosok Audrey terungkap, saya rasa, permasalahan bullying pun masi coba ditutup-tutupi. Sehingga saya sempat bingung, mengapa Audrey bisa mengidap penyakit gangguan kecemasan, menghindari dari sekolah, dan siapa tokoh-tokoh yang membuatnya menjadi bersikap paranoia berlebih?
Sophie Kinsella agaknya ingin membuat “Finding Audrey” dengan kesan fun ketimbang kisah tragis. Ia pun menghadirkan Linus dan istilah-isitlah lucunya untuk memanggil Audrey, dan membuat “Finding Audrey” menjadi kisah roman yang manis, ringan, dan asyik untuk dinikmati.
Tapi jauh dari ide dan plotnya, yang paling sukai adalah karakter-karakternya yang begitu nyata. Lima anggota keluarga. Dan semuanya berceloteh satu sama lain di saat yang bersamaan. “Finding Audrey” terasa ramai dan berisik. Mum yang digambarkan dalam “Finding Audrey” adalah sosok jujur dari seorang ibu; yang serba ingin tahu tentang tren-tren yang berkembang, selalu mengomentari sikap anak-anaknya. Tapi dengan cara-cara menyebalkan tersebut mereka berusaha menunjukkan kasih sayangnya. Dan Dad, saya kira ia karakter yang paling lucu. Di mana Mum mencoba menjadikan Dad sebagai tameng untuk menghadapi komentar balasan dari anak-anaknya, Dad bersikap sok tegas, dibayangi sedikit keragu-raguan karena sesungguhnya ia memang tidak peduli. Dan Frank, karakter dia yang paling nyata menurut saya, bagaimana remaja berumur lima belas yang ketagihan game berusaha untuk mengambil hati orangtuanya. Kadang menjengkelkan, tapi saya sempat tercengang dengan deretan dialognya. Seperti itulah remaja zaman sekarang, terkadang hal-hal yang tidak diduga bisa saja terlontar dari benak mereka.
Dari banyak kekacauan, problem rumahan, serta roman yang manis asam, Sophie Kinsella sesungguhnya tidak banyak mengacu pada dominasi latar tempat. Sederet dari latar yang ia gunakan: rumah, tempat praktik Dr. Sarah, taman umum, dan Starbucks. Semuanya dijelaskan dengan gamblang, dengan metode analitik. Tapi, yang saya sukai dari pendeskripsiannya mengenai rumah, Sophie Kinsella menjelaskannya secara dramatik dengan amat baik. Bagaimana percakapan antar anggota keluarga terasa menyatu, kebiasaan-kebiasaan di rumah dipaparkan dengan detail, serta topik-topik pembicaraan yang dipilih. Semuanya bisa langsung dicerna pembaca menjadi kesan keluarga dan remaja yang menghibur.
Secara keseluruhan, saya amat menyukai “Finding Audrey”. Dari segi eksekusi, plotnya yang ringan dan menghibur. Dan juga tingkah laku tokohnya yang banyak mengajarkan pembaca untuk berelasi dalam keluarga. Banyak novel yang saya baca, terlebih novel lokal, yang mana ingin bercerita tentang makna keluarga, tapi dijelaskan secara gamblang dan terkesan menggurui, “Finding Audrey” adalah novel yang mencoba mengajarkan tanpa mengurui, alih-alih, membuat pembaca terhanyut pembacanya dan tersadar di akhir cerita.
Dari lima, empat separuh bintang untuk “Finding Audrey”. Saya berharap topik bullying yang coba diselipkan di dalam novelnya, bisa diungkap dengan lebih berani. Tidak sekadar selipan yang membuat pembaca bertanya-tanya.
[…] itu? Pada mulanya saya berusaha membandingan “Ke mana Kau Pergi, Bernadette?” dengan “Finding Audrey” (Kinsella, 2015). Tapi, jelasnya, kedua buku tersebut membahas dua hal yang amat berbeda. Audrey […]