Judul : Falling into Place
Penulis : Amy Zhang
Penerbit : Greenwillow Books
Terbit : Cetakan pertama, Septermber 2014
Tebal : 296 halaman
Rate : 3.5 / 5
“Gravity is our playmate, momentum is our friend. We are blurs of motion. We are racing, and we are both winning, because we do not race each other.” –Falling into Place, hlm. 168
Satu hari setelah mempelajari sederet rumusan hukum Newton, Liz mencoba mempraktikkan hal itu pada mobilnya. Mobil Mercedes Benz miliknya dipacu kencang-kencang, berlari ke luar batas jalan.
Di balik dandanan dan gaya sosialitanya yang terkenal di seantero kelas, para teman mungkin mengira Liz tidak akan mengambil keputusan naas tersebut. Tapi, nyatanya, Liz bukan gadis seceria itu, di balik kesedihan, kesendiriannya, dan kebungkamannya, tidak ada lagi yang dapat ia katakan. Kepada Monica, ibunya, yang tak hentinya bekerja seperti kaum nomaden. Telepon Liz hanya dianggapnya sebagai angin lalu.
Liz telah mengambil keputusan seutuhnya. Ia menentukan tanggal, teknik yang tepat, dan mengira seorang pun takkan pernah tahu rencananya, alih-alih, Liam Oliver sangat mengenal Mercedes milik Liz, gadis yang telah dicintainya diam-diam sedari dulu.
Aksi percobaan bunuh diri yang didasari perhitungan rumus khas Newton, bisa jadi hal itulah yang coba Amy Zhang ramu ke dalam novel debutnya. Ide yang brilian. Kalau seringnya, seseorang yang bunuh diri sudah kehabisan logika, teknik yang gunakan Liz Emerson sebagai sang tokoh utamanya, malah dibeberkan dengan sederet rumus berlogika. Cukup sederhana, hanya melibatkan rumus-rumus Hukum Newton yang kerap dipelajari di tingkat SMA, tapi memberikan hawa yang berbeda bagi pembaca.
Tema bunuh diri sendiri kini juga sudah marak menjadi tema-tema yang acapkali diangkat dalam novel ber-genre young adult. Membaca “Falling into Place” sesungguhnya mengingatkan saya pada novel Gayle Foreman, “If I Stay” dan “The Lovely Bones” karya Alice Sebold. Bercerita tentang tekad bunuh diri seorang Liz Emerson, lantas ceritanya tidak hanya berkelindan pada masalah Liz, seperti pada novel “By the Time You Read This, I’ll be Dead”, tapi bagaimana ceritanya bergulir menuju pihak-pihak lain yang kerap menghabiskan waktu bersama dengan Liz. Ibunya, Monica; sahabatnya, Kennie dan Julia; dan Liam Oliver.
Dari pemilihan tema, “Falling into Place” tidak terlalu berbeda dengan buku-buku young adult lain, tapi, permainan gaya bahasa dan unsur-unsur intrinsiknya-lah yang membuat cerita ini menjadi indah dan punya sisi misteri yang menarik.
Mulai dari gaya bahasa, saya sempat bingung tentang sudut pandang orang ketiga yang Amy Zhang gunakan dalam “Falling into Place” lantaran narator di sini bukan hanya si orang ketiga yang serba-tahu, tapi ikut terlibat menjadi bagian di dalam cerita tersebut. Seperti cerita klasik “Wuthering Heights”. Permainan bahasa yang dipakai Amy Zhang juga tergolong berbunga-bunga dengan narasi yang lebih mendominasi; dialog pendek-pendek yang lebih menujur ke kontemplasi para tokohnya. Berbeda dengan novel young adult pada umumnya, yang mungkin lebih cerita tentang hal yang konyol dan lucu, pemilihan bahasa Amy Zhang mirip novel sastra yang menjurus ke deskripsi yang unik dan gelap. Judul tiap bab-nya pun unik dan pendek-pendek. Pas dengan bobot tiap babnya yang berat, menurut saya, tapi karena pendek, jadi pembaca masih bisa menghela napas sejenak untuk beranjak ke pemikiran berat selanjutnya.
Gaya bahasa Amy Zhang memang elok, sayangnya, kadang membuat ceritanya menjadi lambat. Didukung dengan pemilihan alur bolak-baliknya. “Falling into Place” merupakan buku berisi teka-teki. Bukan semata-mata bacaan ringan, Amy Zhang tidak mematok alurnya secara konvensional. Dari sebuah perkenalan, beranjak ke masalah, lalu penyelesaian. Alih-alih, mengacak-ngacak pola tersebut dan membuat pembaca terkejut di awal, lantas membeberkannya secara perlahan dari banyak sudut pandang, sehingga pembaca diharapkan ikut bermain ke dalam permainan alur tersebut dan menyimpulkan sendiri, apa yang sesungguhnya terjadi.
Dari sebuah ekskusi yang baik, pastinya penokohan pun tak bisa dilupakan. Mulai dari Liz, lantas Julia, Monica, dan tiap tokoh yang terlibat di dalamnya dihadirkan begitu realistis oleh Amy Zhang. Kalau buku-buku young adult menghadirkan tokoh yang ceria dan banyak memori menyenangkan, Liz Emerson dan seluruh kontemplasinya adalah wujud nyata dari keterasingan seorang remaja. Yang selalu berusaha untuk selalu berada di bawah lampu sorot panggungnya, kendati sesungguhnya, mereka harus rela menanggalkan jati diri mereka untuk jabatan tersebut. Di samping sebuah topik bunuh diri, karakter Liam Oliver pun dijelaskan sebagai seorang yang kerap di-bully oleh lingkungannya dan Kennie yang hamil di luar nikah. Sebuah masalah yang kompleks yang nyata terjadi di dunia remaja.
Penjabaran setting yang digunakan oleh Amy Zhang sesungguhnya tidak terlalu beragam. Tapi, lantaran alurnya yang maju, mundur, dan melompat, mungkin pembaca diharapkan untuk selalu menyimak, ke mana cerita selanjutnya akan dibawa lewat sebuah judul bab yang unik. Sebuah teknik yang baik dari Amy Zhang untuk mengakali kejenuhan pembaca yang mungkin diakibatkan dari permainan gaya bahasanya.
Secara keseluruhan saya menyimpulkan “Falling into Place” bukan sebuah buku yang ringan. Sedikit berbobot dari cerita remaja pada umumnya. Mampu membuat penasaran pembacanya. Dan cocok sekali untuk para pembaca yang menyukai misteri, tapi sering merasa ragu untuk membaca novel young adult, dengan mengombinasikan keduanya, mungkin “Falling into Place” bisa menjadi solusi terbaik.
Tiga setengah bintang dari lima untuk “Falling Into Place”.