86 – Okky Madasari

 
 

Judul                     : 86
Penulis                 : Okky Madasari
Penerbit              : Gramedia Pustaka Utama
Terbit                    : Cetakan kedua, April 2014
Tebal                     : 256 halaman
Rate                       : 4.5 / 5

 

“Sudah nggak usah sungkan-sungkan. Memang kita baru kenal, tapi ya sama-sama tahulah, delapan enam aja deh!”86, hlm. 94

 
 
Berangkat dari generasi keluarga petani, orangtua Arimbi bangga bukan kepalang, anak perempuannya bisa menjadi juru ketik di pengadilan negeri. Bukan menjadi buruh, tapi menjadi pegawai kantoran. Tiap pagi berjibaku menembus gang sempit, berdesak-desakan menaiki metromini, Arimbi terkadang bingung, mengapa semua orang di kampung mengelu-elukan jabatannya yang sekadar juru ketik.

Tapi, bagi semua orang, mereka menganggap tak ada yang tak bisa dilakukan oleh pegawai pengadilan. Mulai dari berprofesi sebagai juru ketik biasa, diam-diam lingkungan menghasutnya, Arimbi yang polos tak lagi punya urat malu seperti Anisa dan Bu Danti. Semua orang sudah keburu tahu, tak perlu ditutupi dan pura-pura tak ingin. Kalau ingin segalanya licin dan berjalan sesuai rencana, tinggal geser amplop dan buat skenario.

Pejabat bisa lolos dengan mudah, semuanya hanya tergantung pada uang pelicin. Arimbi yang mulanya duduk-duduk di ruang pengadilan, lama-kelamaan tahu, semuanya sudah dirangkai sesuai rencana. Tangannya tak lagi sekadar menari di atas keyboard, ia pun ingin minta bagian.

 
 
“Hidup 86!” mungkin jargon yang sedikit membingungkan bagi masyarakat awam, tapi sesungguhnya “86” di sini punya arti yang sedikit menggelitik. Jika komando kepolisian mengartikannya sebagai sudah beres dan sudah sama-sama tahu, di Indonesia pun punya sandi sendiri yang berarti tanda penyelesaian yang dibereskan dengan bantuan uang. Seandainya kecil-kecilan, orang sering menyebutnya “menyogok” tapi kalau skala besar, acapkali dipertontonkan di televisi, alias korupsi.

Sesungguhnya dari ilustrasi depannya, “86” seperti sudah membisiki pembaca tentang apa yang hendak disindir oleh Okky Madasari, sayangnya saya sedikit tidak peka, dan menomorduakan sinopsis belakangnya. Sekadar tahu dari teman, ini bercerita tentang perjalanan seorang perempuan, sedikit mirip dengan novel Okky Madasari yang pernah saya baca sebelumnya, “Maryam”. Sama-sama membahas isu negara, tapi bedanya “86” menyerempet pada perkara kriminal, yang bertunas dari budaya sogok-menyogok di Indonesia. Lebih tegang, menggelitik, sekaligus lugas ketimbang “Maryam” yang mungkin bedanya dilatarbelakangi oleh Pulau Lombok yang masih bersifat pedesaan dan kurang dilirik masyarkat.

Perkara korupsi tidak perlu ditutupi lagi, diumbar, dan dikritik besar-besaran pun bukannya malu, tapi malah berbangga dan menunjukkan jempol. Namun, yang saya suka dari “86” di sini adalah sikap Okky Madasari yang tidak mengamuflasekan latar, pun tokohnya menjadi metafora-metafora yang berupa anekdot.

Dengan gaya bahasanya yang khas jurnalis, “86” yang mengambil sudut pandang orang ketiga menceritakan kisah hidup Arimbi layaknya kamera berjalan. Kalau terkadang banyak orang gentar melihat nama Okky Madasari di sebuah novel lantaran berbau sastra Indonesia, sepertinya menurut saya, gaya bahasa Okky Madasari sendiri tidak banyak bermain diksi dan metafora yang elok dipandang mata sastra, alih-alih, lebih menekankan pada esensi tema dan idenya. Berbeda dengan Leila S. Chudori yang sama-sama berlatarbelakang dunia jurnalistik, tapi masih senang mempermainkan padanan kata.

Dalam “86”, Okky Madasari pun tidak pelit menyorot beberapa dialog yang lucu-lucu. Tidak seperti “Maryam” yang terlanjur diempas rindu dan derai air mata. “86” lebih bergaya populer, khas orang pedesaan yang baru saja berurbanisasi ke kota, sedikit udik, masih membawa-bawa logat kampung di tiap percakapannya.

Alur berceritanya pun tidak membingungkan, sebagian besar mengambil alur maju, yang kadang diselingi oleh cerita-cerita nostalgia lalu, tentang latar belakang tokohnya yang dulu tinggal di kampung sebagai anak petani. Dan untuk “86”, saya merasa, alurnya sedikit cepat dan terburu-buru, tapi bukan berarti sulit dimengerti, malah memberikan efek cepat tersendiri, seperti seseorang yang ingin menuntaskan sesuatu. Segalanya bisa langsung beres. Sekaligus mengusung hawa Kota Jakarta yang metropolis. Mulai dari pagi-pagi sampai petang, semuanya diceritakan Okky Madasari secara detail.

Pemilihan tokoh yang dipakai Okky Madasari sangat baik. Bukannya menyorot para pejabat seperti di teve-teve, tapi ia sengaja menyorot seorang pegawai lugu, yang baru saja bermigrasi dari kampung. Seperti tiba-tiba ketiban rezeki dari langit, tokoh Arimbi dideskripsikan dengan pola penokohan yang konsisten yang hebat. Seperti jiwanya masih kampung, namun kini mulai dirayu-rayu oleh kenikmatan orang kota, yang mana semua pengeluaran tak bisa tidak dihitung. Dengan pemilihan tokoh dan segala latar belakangnya, secara tidak langsung, Okky Madasari ingin menjelaskan kepada pembaca, bahwa korupsi di Indonesia, sudah menjadi budaya, malah seorang lugu seperti Arimbi yang harusnya berada di jalan yang benar, dianggap pelik di mata teman-teman sejawatnya.     Saya menyukai metamorfosis karakter Arimbi. Semuanya terasa relevan, bagaimana ia masih sendirian di tengah hiruk-pikuk ibukota, mematuhi kata-kata atasannya, Ibu Danti. Lantas, ia bertemu dengan Ananta, pacarnya yang ikut-ikut merayu. Tiap tokoh yang dimunculkan Okky Madasari seperti cerminan karakter-karakter pada kehidupan nyata.

Sebagai sebuah latar, pengadilan negeri Jakarta yang sangat spesifik dan dijelaskan amat detail, dilanjutkan kepada sebuah penjara wanita di daerah Jakarta Timur. Dua latar yang menurut saya dibuat sangat berani oleh Okky Madasari. Kebanyakan khalayak agaknya berpikir jika kedua tempat tersebut merupakan tempat mengadili hukum dan tempat untuk menghukum. Sama-sama berpegang pada hukum. Tapi, lewat kehebatan para pelaku hukum dan jargon 86, lewat “86”, Okky menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi; kalau dua tempat tersebutlah yang menjadi topeng para mafia agar dapat berkarya. Dari tempat duduk pengadilan, ruang juru ketik, kantin, bergerak lewat petak-petak penjara dan ruang besuk. Semuanya seolah ditelanjangi “86” untuk mengisahkan sebuah budaya yang memprihatinkan. Bagaimana tiap tangan diam-diam terjulur dan punya maksud masing-masing.

Secara keseluruhan, saya lebih menyukai “86” ketimbang “Maryam”, kendati dua novel tersebut sama-sama kritis menyinggung isu dalam negeri. Namun, dari segi pembawaan ceritanya, “86” dibuat lebih populer dan nyeleneh. Dramanya terasa realistis. Narasinya pun tidak mendayu-dayu, alih-alih, ramai.

Empat setengah bintang dari lima, untuk “86”, untuk idenya yang unik dan berani. Pengemasannya yang menarik. Dan sederet informasi yang dibeberkan dengan gaya yang tidak bikin mengantuk.

 

 

One thought on “86 – Okky Madasari

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s