Judul : The Atlantis Gene ‘Gen Manusia Atlantis’ (The Origin Mystery #1)
Penulis : A. G. Riddle
Penerjemah : Ahmad Alkadri
Penerbit : Fantasious
Terbit : Cetakan pertama, Januari 2015
Tebal : 582 halaman
Rate : 5 / 5
“Perhatikanlah, manusia sudah ada sebelum Luapan Api terjadi, hidup sebagai makhluk liar di hutan. Luapan itu hampir membunuh mereka, dan sang penyelamat melindungi mereka. Tapi dia tak bisa selalu ada untuk mereka. Maka, dia menganugerahkan manusia hadiah terbesar yang pernah ada: darahnya. Anugerah yang akan membuat manusia aman.” –The Atlantis Gene ‘Gen Manusia Atlantis’, hlm. 290
Dari ajungan Kapal Riset Icefall, 140 km lepas pantai Antartika, Karl Selig bersama krunya menemukan sebuah kapal selam tua yang diduga milik Nazi, bekas perang dunia pertama dulu. Naomi, salah satu rekannya lekas-lekas terbangun dari tidur dan mengabarkan kabar hebat tersebut ke kantor pusat, sebuah organisasi penelitian bernama Immari.
Sementara di Stasiun Kereta Manggarai, Jakarta, David Vale yang tengah bersembunyi di balik bayang-bayang loket tiket mendapat serangan bom mendadak. Seluruh dunia menduga hal itu berbuatan gembong teroris, namun nyatanya, Menara Jam, sebuah organisasi tempatnya bekerja tengah disusupi musuh. Musuh tak kasat mata yang tanpa sengaja memberikannya sebuah kode rahasia tentang Protokol Toba.
Di sebuah Pusat Penelitian Autisme, di Jakarta, Dr. Kate Warner kaget bukan main ketika ruang observasinya dirangsek oleh serangkaian pasukan berjubah hitam dan bersenjata api. Ia sempat mengira, mungkin saja kedua monster itu menginginkan uang, namun, alih-alih merampok, mereka menculik Adi dan Surya, dua anak asuhnya. Dr. Kate Warner terbangun tanpa tahu menahu, mengapa dirinya ditahan di sebuah ruang interogasi Kepolisian Jakarta Barat.
Sesungguhnya apa yang tengah terjadi? Mengapa semuanya terjadi begitu tiba-tiba? Dari penemuan sebuah kapal selam milik Nazi, lantas sebuah operasi bertajuk Protokol Toba harus segera dilancarkan. Dan mengapa tidak menculik anak lainnya, apa yang sesungguhnya telah disuntikkan Dr. Kate kepada Adi dan Surya, alih-alih menyuntikkan mereka dengan senyawa yang tengah dikakulasi oleh Pusat Penelitian Immari?
Ada perasaan awas sekaligus bingung ketika membuka lembar pertama “The Atlantis Gene”, tanpa menilik sinopsis di sampul belakang, lagi-lagi dengan bermodalkan rasa ingin tahu, saya hendak menguji otak dalam menangkap alur ceritanya. Nyatanya, memang benar-benar sulit untuk mengerti. Dengan sebuah deskripsi yang cukup singkat dan pergantian babak yang sangat signifikan, sesungguhnya “The Atlantis Gene” lebih cocok memang dituangkan ke dalam visual secara nyata. Mulai dari pernak-perniknya yang berbau ilmiah, A. G. Riddle tidak serta-merta ingin mengatakan ide hebatnya secara blak-blakan kepada pembaca. Alih-alih, pembaca dibuat penasaran dan bingung dengan aksi ledakan, penemuan, sekaligus penculikan yang terjadi secara bersamaan.
Secara garis besar “The Atlantis Gene” ingin bercerita tentang usaha penemuan Atlantis. Konon Bangsa Atlantis ini adalah salah satu spesies manusia yang unggul. Namun, sayangnya, kota tersebut malah tersapu habis oleh bencana Banjir Besar, seperti yang selalu diceritakan di tiap agama di dunia. Sekaligus temuan mereka yang hebat, yaitu Lonceng, yang mencegah manusia dapat masuk ke dalam Atlantis. Sementara para peneliti dari Organisasi Immari ingin mencari sebuah Gen Atlantis, yang gunanya, agar manusia dapat masuk, mempertahankan diri dan menyuntikkan gen tersebut kepada manusia untuk menggempur kota tersebut.
Idenya sangat out-of-the-box. Namun, “The Atlantis Gene” jelas bukan bacaan yang ringan. A. G. Riddle tidak serta-merta menulis pemikiran dan idenya tanpa sebuah analisa yang jitu dan hebat. Ia tidak menulis Atlantis dengan gaya yang agamis, tapi dibeberkan secara ilmiah dan berlandaskan peristiwa sejarah, dengan sederet bukti-bukti yang nyata. Tapi, yang kurang baik dari novel ini dari segi ide, karena terlalu kompleks, sesungguhnya, ini bukan bacaan ringan yang bisa diimbangi dengan baik jika dipadukan dengan aksi laga yang mencekam, lantaran pemikiran pembaca menjadi banyak terdistraksi, dan tidak heran, kadang saya sering mempertanyakan sekaligus melompat penjabaran teori A. G. Riddle yang sesungguhnya punya kunci utama terhadap idenya yang cemerlang.
Dari segi gaya bercerita, A. G. Riddle memaksimalkan pendeskripsian tiap adegannya dari sudut pandang orang ketiga. Ia tidak hanya menjabarkan cerita dari segi protagonis, tapi dari para tokoh antagonis yang berada di tempat yang jauh berbeda. Deskripsinya lebih banyak menekankan ke aksi laga sekaligus menjabaran teori-teorinya yang dilandasi oleh pemikiran ilmiah. Tapi, teori ilmiah yang saya maksud di sini, masih cukup bisa dicerna. Saya menyukai teknik penjabarannya mengenai mutasi sebuah gen, mengingatkan saya pada deskirpsi arti filsafat oleh Jostein Gardner dalam novelnya, yang bertajuk “Dunia Sophie”. Masih ada kesan berat, alih-alih, A. G. Riddle dengan pandainya memanipulasi tersebut menjadi sebuah tuts piano.
“Baru-baru ini, ada terobosan baru dalam bidang genetika—sesuatu yang kami sebut epigenetik. Gagasannya adalah genom kita lebih menyerupai piano daripada cetak biru statis. Tiap tuts piano merepresentasikan genom.” –The Atlantis Gene ‘Gen Manusia Atlantis’, hlm. 221
Ada sedikit bumbu roman antara David dan Kate, tapi saya suka kadar yang dituangkan A. G. Riddle ke dalamnya; tidak membuat bosan; tidak mendayu-dayu, tapi menjadi sebuah daya tarik sendiri agar membaca betah mengikuti ceritanya yang saya rasa, cukup berat. Jika dirangkum ke dalam tiga kata, gaya bercerita bisa dirangkum menjadi tiga kata: cepat, detail, dan mudah berpindah.
Agaknya yang perlu diantisipasi memang soal ‘mudah berpindah’, lantaran ia mencetuskan ceritanya dengan tiga latar yang berbeda, sehingga A. G. Riddle sendiri tidak memulai ceritanya dengan introduksi para pemain. Seperti langsung masuk ke dalam kejutan-kejutan dan klimaks yang cukup menejutkan, saya pikir, teknik bercerita ini akan lebih keren jika diadaptasi ke dalam sebuah film lantaran A. G. Riddle sendiri tidak menceritakan bagaimana karakter fisik dari Kate, David, dan sederet pemain lainnya, tapi, sebagai sebuah solusi, pemilihan nama para tokohnya memang mudah untuk membedakan gender fisiknya.
Membaca teknik bercerita A. G. Riddle, saya rasa, saya pernah menjumpainya di novel-novel fiksi ilmiah yang punya bobot ide serupa. Seperti novel-novel Michael Crichton, mungkin yang paling terkenal, “Jurasic Park”. Saya selalu menemukan sebuah introduksi kasus tentang ide yang hendak dibahas dalam novel. Dengan begitu pembaca menjadi punya klu tersendiri untuk mengikuti gaya berceritanya yang cepat. Tidak seperti “The Atlantis Gene” yang memberikan kesan langsung diterjunkan ke dalam beberapa adegan tidak berkelindanan di awal dan membuat pembaca bingung, yang berujung pada rasa ragu para pembaca awam untuk bergerak ke halaman selanjutnya.
Dari segi alur, A. G. Riddle membuat “The Atlantis Gene” terkesan cepat, seperti gaya berceritanya dan membagi kisah pengejaran David dan Kate menjadi tiga bagian besar berdasarkan latar tempat. Pertama adalah Jakarta. Di Jakarta, A. G. Riddle sukses membuat saya bingung, mulai dari prolog yang membahas soal Antartika, lantas kini berpindah pada Jakarta. Deskripsi tempatnya bisa dibilang cukup jitu, saya suka dengan beberapa perimeter yang disebutkan yang cukup medeskrispikan ibukota Indonesia tersebut. Nama-nama tokoh pendukungnya pun dipilih dengan baik, sesuai dengan nama khas yang mencitrakan daerah yang dimaksud.
Tapi, di Jakarta sendiri, “The Atlantis Gene” bercerita tentang bagaimana Markas Menara Jam yang dikepalai David Vale dan Pusat Penelitian Autisme yang dikepalai Kate Warner diserang oleh sejumlah orang tak dikenal. David Vale berhasil melarikan diri dari kejaran musuh asing dan menyuruh Josh, seorang ahli IT, memecahkan sebuah kode yang ditemukannya yang merujuk kepada sebuah operasi bernama Protokol Toba. David yang dikira meninggal, nyatanya, ditemukan oleh warga setempat, dan pergi membalas dendam. David tak sengaja menyelamatkan Dr. Kate Warner, dalam sebuah van, Dr. Kate bercerita tentang hal yang diketahui mengenai Atlantis, termasuk kisah tentang Adi dan Surya yang telah diculik oleh pihak yang ia tak ketahui sebelumnya.
Dan di bagian kedua, setelah berbagai kejadian aneh terjadi, David dan Dr. Kate mencoba menyusup pusat penelitian Immari di China Barat. Berakhir dengan sebuah ledakan kereta api yang mencelakai David. Kate berhasil membawa David menuju Tibet, yang mana seseorang bernama Qian memberikannya sebuah jurnal harian. Melalui jurnal tersebut David dan Kate tahu tentang apa yang sesungguhnya terjadi, tentang sebuah teknologi Bangsa Atlantis bernama Lonceng. Di bagian ini, alurnya menjadi cukup eksperimental, yaitu plot ganda, kendati lebih berfokus pada cerita yang terjadi di masa lalu, yang melibatkan penemuan unik dan juga penyebarakn Flu Spanyol. Sesungguhnya, saya banyak melompat membaca pada bagian ini, sedikit membosankan, mungkin seperti kasus yang sama, saya mengharapkan sedikit penggambaran dari sosok-sosok sejarah yang menjadi tokoh dalam jurnal, yang tidak melulu bercerita tentang sejumlah penemuan dan teori ilmiah. Sehingga menimbulkan rasa samar kehadiran tokoh baru, yang membuat pembaca jadi bertanya-tanya, bagaimana saya harus menerima karakter baru tersebut, alih-alih kepalang penasaran dengan aksi David dan Kate yang malah dijelaskan sangat sedikit.
Di bagian ketiga, “The Atlantis Gene” bercerita dengan latar Girbaltar, lantaran keberdaan David dan Kate yang menjadi incaran Immari telah diketahui, dan mereka segera melarikan diri dengan bantuan sebuah balon dan bergerak ke sebuah tempat berupa kamar rahasia, yang dimaksud oleh Patrick Pierce dalam jurnalnya. Di bagian ketiga, saya tidak ingin spoiler terlalu banyak, lantaran, di sanalah keseruannya, ketika setiap orang membuka kartu masing-masing dan permasalahan pun menjadi jelas, tapi yang masih sedikit saya pertanyakan adalah misteri sebuah alat bernama Lonceng. Teknologi terkini kaum Atlantis, tapi semacam portal waktu juga, A. G. Riddle menjelaskannya sebagai wormhole. Agaknya bakal lebih keren kalau “The Atlantis Gene” diadaptasi menjadi film dan digarap oleh sutradara yang tepat, bak Nolan.
Secara keseluruhan, dari ide, saya sangat bingung ingin berkata apa, saya hanya berharap untuk dapat menonton adaptasi filmnya, seperti yang sudah tertulis di sampul depan. Dari segi bercerita, saya rasa, mungkin ini tergantung cangkir kopi masing-masing. Lantaran terbiasa dengan yang sedikit drama, “The Atlantis Gene” menjadi sedikit ganjil ketika menjajaki kepala saya. Tapi, hiburan drama dari David dan Kate berhasil membuat saya bertahan di bagian ketiga, yang membuat saya tercengang berkali-kali lipat.
Pemilihan latar A. G. Riddle juga terbilang menarik. Ia berani mengambil risiko dengan deskripsi latar yang berbeda, tapi malah membuat cerita tersebut menjadi nyata, terlebih dilatarbelakangi dengan pengejaran yang mencekam. Komplet sudah rasanya.
Mungkin dari segi teknis, dari segi penerjemahan, penerjemahannya cukup piawai. Dapat dimengerti kendati alur cerita dan ide “The Atlantis Gene” terbilang rumit. Hanya saja, saya menemukan banyak kesalahan ketik yang terbilang sering. Mungkin hal ini harus diantisipasi untuk cetakan selanjutnya J
Dari lima, saya memberikan lima untuk kegilaan A. G. Riddle dalam memilih ide. Sungguh, saya berharap, naskah ini disulap menjadi screenplay yang hebat dan diadaptasi menjadi film di bawah arahan sutradara hebat, yang tidak mengutamakan drama tapi lebih ke penjabaran teori-teori gila A. G. Riddle.
[…] buku-buku yang menawaran adegan full-laga yang memperhatikan detail tokoh, seperti halnya buku “The Atlantis Gene” yang menawarkan ide cerita penuh dengan aksi laga, pengejaran, dan sci-fi. Namun, A. G. Riddle […]