The Palace of Illusions ‘Istana Khayalan’ – Chitra Banerjee Divakaruni

 

Judul                     : The Palace of Illusions ‘Istana Khayalan’
Penulis                 : Chitra Banerjee Divakaruni
Penerjemah       : Gita Yuliani K.
Penerbit              : Gramedia Pustaka Utama
Terbit                    : Cetakan pertama, Juli 2009
Tebal                     : 496 halaman
Rate                       : 5 / 5

   

“Bukankah kita semua bidak di dalam tangan Waktu, pemain terbesar itu?” The Palace of Illusions ‘Istana Khayalan’, hlm. 93

 
 
Dropadi tidak pernah bosan mendengar kisah kelahirannya dari mulut Dhai Ma; detik-detik paling sunyi, sekaligus paling lucu ketika seorang gadis berkulit gelap melompat dari luapan api pengorbanan. Perangainya yang tergesa-gesa, membuat ia nyaris terjungkal lantaran menginjak kain sari-nya seorang diri.

Dropadi diperlakukan sangat spesial oleh Raja Panchala, sebagai satu-satunya Putri di antara kakak-kakaknya yang laki-laki. Tapi, Dropadi kecil bukan putri yang ingin diperlakukan sebagaimana seorang putri raja. Ia benci pelajaran seorang putri, alih-alih, menyelinap ke pelajaran-pelajaran penuh strategi milik kakaknya, Dre. Ditegur berulang kali dan nyaris membuat Raja Panchala yang pemarah kehabisan akal. Dropadi dekat dengan Khrisna, sahabat kakaknya, pun sahabat Arjuna, seorang pejuang tangguh dari Hestinaputra.

Sedari kecil, Dropadi tak sabar ingin bertemu dengan pangeran tampannya. Terlebih ketika mendengar cerita-cerita Khrisna. Tanpa sepengetahuan siapapun, Dhai Ma membawa Dropadi kepada seorang suci. Memperdengarkannya pada sebuah ramalan:

 

“Kau akan mengawini lima pahlawan terbesar di masamu. Kau akan menjadi ratu segala ratu, dicemburui semua dewi. Kau akan menjadi pelayan. Kau akan menjadi penguasa istana paling hebat, lalu kehilangan itu. Kau akan diingat karena menyebabkan perang terbesar pada masamu. Kau akan menyebabkan kematian raja-raja jahat—dan anak-anakmu, dan kakakmu. Sejuta perempuan akan menjadi janda karena kau. Ya, memang, kau akan meninggalkan jejak pada sejarah. Kau akan dicintai, meskipun kau tidak selalu siapa yang mencintaimu. Meskipun kau mempunyai lima suami, kau akan mati sendirian, ditinggalkan pada akhirnya—sekaligus tidak ditinggalkan.” The Palace of Illusions ‘Istana Khayalan’, hlm. 67-68

 
 
Jantungnya berdebar-debar. Tahun demi tahun berjalan, Raja Panchala akhirnya menggelar sebuah sayembara sulit bagi para ksatriya yang hendak menikahi putrinya. Dropadi menunggu kehadiran Arjuna; Dre dan Khrisna mengantisipasi kehadiran Karna.

 
 

Di antara epos Mahabarata, Chitra Banerjee Divakaruni mencoba menyusupi karakter Dropadi dan menceritakan kisahnya sendiri. Kisah-kisah pilu, lucu, sekaligus sarat makna tentang seorang putri angkuh dan pemberani, yang menunggu dijemput kelima suaminya. Sempat bertanya-tanya, apakah epos ini rill atau serta-merta rekaan? Tapi, nyatanya, saya yang baru saja mengenal para Pandawa beberapa tahun lalu, sejurus tersihir ke dalam alurnya. Setiap perkataan, gumaman, serta monolog Dropadi terasa begitu nyata, seperti seorang perempuan yang tengah sirik, bergunjing, dan mengumpat di dalam hati.

Secara pribadi, saya menggolongkan ini ke dalam karya fan fiksi, seperti seorang penulis yang menjadikan tokoh idola mereka menjadi karakter dalam fiksi mereka. Tapi, “The Palace of Illusions” merupakan karya yang serius. Setiap identitas para tokohnya di dalam Mahabarata secara tidak langsung ikut dijelaskan dalam monolog-monolog Dropadi, sehingga membuat kisahnya tidak seperti fiksi roman biasa, tapi punya hawa yang ambil bagian terhadap sebuah mahakarya Mahabarata.

“The Palace of Illusions” tidak melulu bercerita tentang perang Bratayudha, tapi lebih kepada memoar seorang Dropadi, yang merupakan Putri Panchali. Tentang perjalanan hidupnya, proses kelahirannya yang berasal dari api pengorbanan. Pun tentang kedekatannya dengan Khrisna. Dulu, acapkali saya menyimak penggalan kisah Mahabarata dari internet, demi kepentingan sebuah tugas kuliah, ada kalanya juga saya mengikuti penggalannya ketika  membaca novel-novel roman sejarah, seperti “Amba” karya Laksmi Pamuntjak dan “Pulang” karya Leila S. Chudori. Namun, dalam “The Palace of Illusions”, pembaca seperti dituntun kepada sebuah pohon keluarga besar yang silih kait, sehingga bagi yang mungkin belum pernah membaca Mahabarata sebelumnya, tidak perlu khawatir, Chitra Banerjee Divakaruni membuat penjabaran yang mudah disimak bagi para pembaca awam.

Chitra Banerjee Divakaruni menggunakan sudut pandang orang pertama dalam bercerita. Ia mengambil sudut pandang serta pengarai pemberani dari seorang Dropadi, dan menjadikan tokoh perempuan yang kerap disepelekan dalam epos-epos pada umumnya menjadi pendongeng utama. Tutur katanya bisa terbilang mendayu-dayu dan penuh kiasan. Seperti halnya membaca novel terjemahan, ada beberapa bagian yang nampak bertele-tele. Agaknya disebabkan oleh latar-latar asing dan nama-nama khas India yang kerap sulit diingat, sehingga penulisnya berusaha sedemikian rupa menjelaskan hal tersebut agar dapat menciptakan imaji yang pas di benak pembaca. Namun, seringnya, jika didominasi narasi yang banyak lebar, efek bosanlah yang timbul, sepertinya ketika saya membuka lembaran bab pertama.

Antara serba dilema, saya sendiri lama-kelamaan jadi menyukai rangkaian kalimat bertele-tele tersebut lantaran kiasan, metafora, serta sindiran-sindiran halus itulah yang secara tidak langsung membangun karakter seorang Dropadi. Bagaimana ia benci diperlakukan lemah, bagaimana ia sirik kepada para gundik-gundik suaminya, dan bagaimana ia selalu ingin dihormati oleh orang lain. Semuanya tidak dijelaskan secara analitik. Perlahan tapi pasti. Chitra Banerjee Divakaruni mendramatisir setiap monolog Dropadi seperti halnya seorang perempuan mengomentari tas keluaran terbaru di butik favoritnya. Sedikit dilebih-lebihkan. Tapi banyak aksi juga yang sebenarnya terasa manusiawi.

Hal tersebut juga berlaku kepada kelima suaminya. Kalau di Mahabarata serta informasi lainnya menyebutkan karakter Bima sebagai seseorang berbadan besar yang gemar memasak, Chitra Banerjee Divakaruni pun punya versinya sendiri dengan merangkai adegan-adegan yang menunjang cerita Mahabarata yang terkenal tersebut. Saya sendiri yang awalnya menyukai Yudhistira, terkadang sering terbawa alur, dan membenci sikapnya yang sedikit egois. Membaca “The Palace of Illusions” kadang kala seperti menyelusuri lebih jauh sikap manusiawi para saudara Pandawa yang konon merupakan jelmaan para dewa.

Secara alur, seperti yang disebutkan sebelumnya, sebagai sebuah memoar, “The Palace of Illusions” punya alur maju. Tapi, di bagian awal, dengan bab berjudul “Api”, saya merasakan adanya alur campuran, yang juga mengusung banyak napak tilas. Dan yang saya suka, napak tilas itu seringnya tidak dituturkan oleh Dropadi, alih-alih, orang di sekelilingnya. Sedang Dropadi sendiri punya monolog lain untuk menanggapi hal tersebut dengan perangai pemberontaknya. Jika menerka plot “The Palace of Illusions” punya hal-hal yang bersifat epos dan kerajaan, tapi nyatanya, kisah tersebut tidak hanya mengajarkan orang untuk duduk memangku kaki di atas takhta kerajaan. Sebagaimana Mahabarata banyak menyimpan ayat-ayat bijak bagi perbadaban umat manusia, “The Palace of Illusions” juga menuturkan hal itu dalam plot para tokohnya, yang mana hidup tidak selalu berada di atas, sebagai seorang Putri Panchali, Dropadi yang tadinya diperlakukan istimewa tak jarang harus mengikuti nasib suaminya yang diasingkan. Hidup di dalam hutan. Berjalan berkilo-kilo meter tanpa menggunakan alas kaki. Tapi, satu yang selalu saya teladani dari Dropadi, yaitu kesetiaannya kepada lima suaminya.

Dari segi latar, kendati banyak berpindah, tapi sebagai pembaca awam, terlebih tidak mengetahui seluk-beluk negeri India dengan nama-namanya yang rumit untuk diingat, “The Palace of Illusions” menghadirkan nyawa yang unik dan sederhana. Entahlah. Mungkin sedikit banyak yang menghadirkan ilustrasi mengenai sebuah kerjaan India yang khas dengan ukir-ukiran dan taman yang besar untuk menari-nari, tapi ada sedikit banyak saya kadang kehilangan jejak ketika menyimak peperangan besar, alih-alih lebih tertarik dengan hubungan tersembunyi antara Dropadi dan Karna.

Lima dari lima bintang untuk “The Palace of Illusions”, sebuah kisah yang bisa dibilang hebat. Buku kedua karya Chitra Banerjee Divakaruni yang saya baca. Tapi, jika dulu ia menghadirkan kisah-kisah pendek tentang tradisi dan keluarga India di Amerika Serikat, saya tidak percaya ia dapat menulis sebaik ini dalam “The Palace of Illusions”. Sebuah fan fiksi yang bukan main-main. Tidak bisa dibangun berdasarkan sebuah latar alternate universe, malah harus ditunjang dengan berbagai pencarian bukti-bukti, dan jika melihat ketebalan Kitab Mahabarata sendiri, saya pikir, ini karya yang lebih dari epos. Chitra Banerjee Divakaruni dengan suksesnya dapat melabur sesuatu yang tangguh dengan sifat feminin seorang Dropadi.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s