Judul : Insiden Anjing di Tengah Malam yang Bikin Penasaran
Penulis : Mark Haddon
Penerjemah : Hendarto Setiadi
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Terbit : Cetakan keempat, Juli 2012
Tebal : 344 halaman
Rate : 4.5 / 5
“Ya, aku mendengar apa yang Ayah katakan, tapi kalau ada yang dibunuh maka kita harus mencari tahu siapa yang melakukannya supaya dia bisa dihukum.” –Insiden Anjing di Tengah Malam yang Bikin Penasaran, hlm. 33
Tujuh menit lewat tengah malam, Christopher Boone menemukan Wellington, anjing tetangganya, yang terbujur kaku. Keadaannya mengenaskan. Dengan sebuah garpu taman yang tertancap di tengah perut. Ia memeluk jasadnya tanpa bersuara. Namun, siapa sangka, jika Nyonya Shears, sang tetangga, menjerit ketakutan dan melaporkannya ke kantor polisi.
Dituduh sebagai tersangka utama, Ayah menyuruh polisi melepaskannya. Christopher Boone bukan remaja biasa. Berumur lima belas tahun. Mengidap sindrom Asperger, sejenis autisme, yang membuatnya berpikir teramat logis, teratur, dan kepalang kreatif.
Ayah sudah bilang, kematian Wellington tidak seharusnya menjadi urusan keluarga mereka, tapi Christopher bersikeras memercayai kata hatinya. Ia harus mencari siapa pembunuh Wellington. Menuliskannya di sebuah buku, seperti kata Siobhan. Namun, menulis kisah misteri tidak semudah yang ia pikirkan. Lewat keterbatasannya berkomunikasi, Christopher mengetuk satu per satu pintu tetangganya, bertanya kepada orang asing—hal yang selalu ia benci lakukan.
Berasal dari kecurigaan menerka genre dari sampul depannya yang berwarna pink neon. Banyak calon pembaca pasti berpikir, seperti apakah isi buku di balik cover senorak itu? Kalau banyak yang tertipu, “Insiden Anjing di Tengah Malam yang Bikin Penasaran” bukan cerita centil dengan bumbu roman. Bukan juga cerita roman kosmopolit bertabur cahaya neon. Lebih menjurus ke kisah misteri, seperti yang selalu disukai Christopher Boone, sang lakon utama. Tapi, sesungguhnya, ketika pembaca terjerumus ke dalam alur ceritanya, kisah ini tidak hanya mengungkap misteri kematian seekor anjing bernama Wellington, alih-alih, membahas perjuangan sebuah keluarga yang berusaha membesarkan anak laki-laki mereka yang memiliki kelebihan unik daripada anak-anak seumurnya.
Perlu diketahui sebelumnya, Sindrom Asperger, yang diidap Christopher Boone, merupakan salah satu spektrum sindrom Autisme. Mereka punya keterbatasan komunikasi dan sosialisasi. Tapi, hal baiknya, para pengidapnya punya kecerdasan di atas rata-rata. Mereka selalu menghitung semuanya dengan presisi, hingga ke satuan terkecil. Tapi sayangnya, para pengidapnya tidak mengerti hal berbau metafora, mereka lebih senang menyatakan semuanya dengan menjurus.
Penyajian ceritanya bisa saya analogikan seperti membuka jalinan benang. Mulai dari larik pertama, Mark Haddon menyajikan cerita misteri, tentang kematian Wellington. Tapi, tidak dibahas mengenai latar belakang keluarga Christopher yang sesungguhnya, hingga perlahan, kasus misteri kematian tersebut malah menjadi benang merah atas kisah lainnya. Saya sebagai pembaca sempat terhenyak. Mark Haddon sukses membuat saya menyukai cerita ini, melebihi dari gaya berceritanya.
Jika membahas soal gaya bercerita, “Insiden Anjing di Tengah Malam yang Bikin Penasaran” punya sudut bercerita yang paling menantang. Dari antara novel yang pernah saya baca, agaknya sekali saya pernah menjumpai penulis yang berani menulis lewat sudut pandang orang pertama dengan disabilitas serupa, dengan pola subyek yang direpetisi di tiap kalimatnya, porsi kalimatnya pun terpenggal dengan sedikit janggal. Tapi, “Seribu Matahari untuk Ariyani” yang ditulis Bernard Batubara hanya sebatas cerpen bertema cinta yang tidak tersampaikan. Berbeda dengan Mark Haddon yang menuliskan karakter Christopher Boone, si pengungkap misteri kematian anjing, sepanjang lebih dari 300 halaman.
Lewat kalimat-kalimat berpola terbalik-balik dan sederhana, Christopher Boone melakoni tokohnya dengan sangat baik. Pembaca tidak perlu diberi narasi tambahan untuk mengungkapkan kepelikan dirinya. Cukup melalui tutur kata monolognya. Dialognya yang jujur, singkat, dan menjurus. Mark Haddon ingin mengatakan bagaimana ciri-ciri seorang pengidap Sindrom Asperger, yang mana mereka benci dengan novel roman yang banyak bunga-bunga kata, banyak ungkapan yang tidak bisa masuk ke dalam logika mereka. Dan jika dilihat dari judul babnya, saya yakin, banyak pembaca yang bakal bingung, saya pribadi mengalaminya. Ketika membuka halaman pertama, maaf bukan angka satu yang muncul sebagai bab pertama, melainkan angka dua. Kenapa?
“Bab-bab di dalam buku biasanya ditandai dengan bilangan kardinal 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan seterusnya. Tapi aku memutuskan untuk memakai bilangan prima 2, 3, 4, 5, 7, 11, 13, dan seterusnya karena aku suka bilangan prima.” – Insiden Anjing di Tengah Malam yang Bikin Penasaran, hlm. 19
Mark Haddon tidak hanya mempermainkan sintaksis kalimat dari monolog seorang Christopher Boone. Pun memainkan alurnya. Seperti pola pikir Christopher yang kerap melompat-lompat. Remaja seperti dirinya tidak bisa mengandaikan sesuatu dengan kiasan, mereka selalu bertutur jelas, maka dari itu tidak heran, jika di tengah penjelasan kasus yang beralur maju, tiba-tiba perjalanan pembaca akan terpotong dengan sederet informasi ilmiah. Mark Haddon pun kerap menyelipkan sejumlah gambar, grafik, denah, serta beberapa rumus persamaan matematika. Jadi, bagi yang benci matematika, seperti diri saya 🙂 ada kalanya saya ingin lekas-lekas membalik halaman. Tapi, di lain sisi, untuk sejumlah informasi lainnya, perkataan hati Christopher bisa jadi saduran dari ensiklopedia yang cukup menarik untuk disimak.
Di bagian awal, kalau seringnya, untuk kebanyakan novel, pembaca merasa bosan dengan tutur kata yang bersifat sebagai introduksi yang panjang lebar. Saya merasa menjelang ke belakang, sekitar tiga per empat buku—ketika Christopher Boone mengelar petualangan liarnya, “Insiden Anjing di Tengah Malam yang Bikin Penasaran”, yang punya judul sangat panjang, sedikit banyak punya gaya bercerita yang mirip dengan novel “The Hundred-Year-Old Man Who Climbed Out the Window and Disappeared” karya Jonas Jonasson. Gaya bercerita yang didominasi dengan narasi yang panjang lebar. Berjeda dialog yang minim. Tapi, sifatnya seperti segala ingin diceritakan, saya sedikit bosan di bagian ini. Sepertinya mungkin bukan cangkir teh saya, yang gemar membaca narasi yang bersifat mengulur-ulur. Padahal sesungguhnya di bagian tersebut seharusnya pembaca merasakan emosi yang melibatkan rasa berdebar-debar lantaran Christopher yang selalu menutup diri memutuskan untuk melakukan terpanjang yang belum pernah ia lakukan sebelumnya.
Dari sisi penokohan sendiri, seperti yang saya tuturkan di gaya bercerita Mark Haddon, saya sangat menyukai karakter Christopher yang bisa digambarkan sedemikian nyata. Bagaimana karakternya bergejolak dari remaja yang sulit bersosialisasi, menjadi seseorang yang berkeliaran seorang diri tanpa memedulikan kejahatan di sekelilingnya. Di samping itu, saya pun menyukai detail-detail kecil yang diselipkan Mark Haddon untuk mendukung monolog Christopher dengan kebiasaan-kebiasaan anehnya, seperti menghitung keberuntungan dengan mobil merah dan kebenciannya terhadap warna kuning dan cokelat.
Dan jika kembali disimak, Christopher pun tak pernah mengatakan hal yang menyangkut emosinya. Seperti seseorang yang selalu menjelaskan dengan presisi, tiap emosi Christopher dijelaskan Mark Haddon lewat deskripsi fisik yang dialami oleh Christopher, bagaimana dadanya sakit ketika ia kecewa, sedih, lantas marah, dan selalu memukul-mukul. Seolah-olah penulisnya benar-benar mengalami dan berada di tubuh seorang pengidap sindrom tersebut.
Karakter Ayah dan Ibu pun dijelaskan tidak kalah hebatnya. Kendati dijelaskan lewat sepasang mata seorang remaja yang mengindap Sindrom Asperger, tapi karakter Ibu dan Ayah dijelaskan sama-sama punya sisi gelap. Dengan dialog-dialog mereka yang penuh umpatan, kendati di depan anak mereka, mereka selalu mencoba memahami kondisi dan berkata dengan tutur kata yang baik.
“Insiden Anjing di Tengah Malam yang Bikin Penasaran” memang novel penuh dengan deskrispi tersembunyi. Melayarkan pembaca dengan banyak hal-hal yang sehari-hari, lewat karakternya, permasalahannya, tidak lupa dengan latarnya. Mark Haddon memilih dua kota yang amat sangat berkebalikan, satunya Swindon, satunya London. Swindon sendiri yang terletak di South West England, merupakan kota yang kecil, kentara dari deskripsi Christopher mengenai rumahnya yang memiliki pekarangan, bagaimana ia dan tetangganya bisa bercengkerama, dan saling peduli. Berbeda ketika ia berada di London, yang mana semua orang berjalan serba-cepat, penuh orang asing, jika sebuah kondo yang tidak memiliki pekarangan. Deskripsi latar yang tidak terlalu mendominasi, tapi dengan teknik komparasi yang baik, pembaca bisa merasakan perjalanan Christopher dengan cukup efektif.
Membaca “Insiden Anjing di Tengah Malam yang Bikin Penasaran” bisa terbilang mulus. Di awal, disuguhi oleh misteri kematian Wellington, si pudel hitam milik Nyonya Shears; di pertengahan, disergah persoalan suami-istri; di belakang, pembaca diajak berkeliling Kota London. Menarik. Tapi, “Insiden Anjing di Tengah Malam yang Bikin Penasaran” tidak bisa dapat disepelekan. Empat setengah dari lima bintang untuk “Insiden Anjing di Tengah Malam yang Bikin Penasaran”.
Zura hai ^^)/
Maaf ya beberapa kali menjelajah di sini tapi ga pernah komen. Tapi aku jadiin resensi kamu acuan buat beli novel. Ehehehehe…
Oh buat novel ini, aku pernah iseng searching entah apa trus nemu judul ini dalam bahasa inggris (lupa) dan tertarik. Dan ternyata kamu udah buat resensinya 🙂 Aku benernya mau tanya kamu beli buku ini di mana? 😀 tertarik sama sinopsisnya dan penasaran juga sama ceritanya ^^
Hai, halo, Kak.
Saya kebetulan beli versi bekas dari novel ini juga, ke teman kalau tidak salah. Karena ini bukunya semacam disepelekan sih padahal isinya oke banget. Makanya sedikit sulit dijumpai di toko buku.
Aku sampe nyari ebooknya tapi ga dapet ㅡㅅㅡ
Yang bekasnya udah terjemahan? Pengen baca dan emang masih penasaran. Ehehehe
Saya bacanya terjemahan 🙂
Dulu beli dimana? saya nyari susah nih ga ketemu.
ada yang tau beli dimanaa bisa beli buku ini?