Judul : The Dead Returns
Penulis : Akiyoshi Rikako
Penerjemah : Andry Setiawan
Penerbit : Penerbit Haru
Terbit : Cetakan pertama, Agustus 2015
Tebal : 252
Rate : 4 / 5
“Kau bilang keberadaanmu muncul karena pengorbanan orang lain. Tapi, bukankah semua orang memang seperti itu? Namun, sedikit sekali orang yang menyadari fakta penting itu. Akan tetapi, Takahashi-kun, kau bisa menyadari hal yang mulia itu. Bukankah itu bagus sekali? Dengan itu saja, kau sudah cukup berarti untuk dilahirkan. Karena itu, percaya dirilah.” –The Dead Returns, hlm. 156
Komaya Nobuo dibunuh pada 2 September, malam setelah upacara pembukaan semester baru. Senja ketika ia menemukan sebuah pesan berwarna hijau di laci mejanya; seseorang memanggilnya untuk bertemu di Tebing Miura Kaishoku pada pukul tujuh. Nobuo berpikir, orang itu agaknya Yoshio, teman baiknya yang sama-sama otaku kereta api.
Tapi, siapa sangka, ketika ia sudah melompati pagar pembatas tebing. Seorang asing di belakangnya malah mendorong tubuhnya. Nobuo terempas jatuh. Sedikit banyak ia mengingat tentang seorang lain yang berusaha menolongnya dari atas tebing. Berteriak menanyai keadaannya. Alih-alih, tanah terjal itu rompal dan orang itu pun ikut terjungkal begitu saja.
Kejadian itu bisa jadi pelik. Nobuo begitu terkejut ketika ia selamat. Bukannya terbangun sebagai Komaya Nobuo, tapi sebagai laki-laki yang hendak menolongnya. Namanya, Takahashi Shinji. Perawakannya begitu tampan dan blasteran. Berbeda dengan jati dirinya yang tertutup, seorang otaku, dan kerap tidak percaya diri.
Dengan terperangkap di dalam tubuh Takahashi, Nobuo bertekad kembali ke SMA lamanya, bersikap sebagai orang baru, diam-diam mencurgai satu per satu; teman, guru, dan orang terdekatnya dulu sebagai salah satu tersangka yang mendorongnya dari tebing.
Sulit meletakkan “The Dead Returns” setelah membaca halaman pertamanya. Sebagai salah satu pembaca baru novel karya Akiyoshi Rikako, saya bisa menyimpulkan kalau novel ini termasuk ringan sekaligus menantang. Dampaknya bisa jadi mirip kala menonton dorama Jepang. Dialog-dialog, tema, sekaligus pembawaannya benar-benar terasa seolah menonton film. Mengalir, menghanyutkan, hingga sukses membuat pembaca terhenyak di bagian pemecahan kasus. Kendati sedikit melibatkan genre fantasi, akan tetapi, fantasi di “The Dead Returns” bukan sesuatu yang akan diusut secara khusus oleh penulisnya. Sekadar sebagai latar belakang. Mirip kesan fantasi supernatural di film-film atau cerita remaja yang tidak dijelaskan secara terperinci sebab-akibatnya. Tapi, secara keseluruhan, saya lebih menangkap “The Dead Returns” sebagai novel drama-misteri remaja yang cukup menghibur.
Isinya ringan. Dan unsur Jepangnya terasa sangat kuat mewarnai tiap halamannya. Seperti adanya kesan keluarga, keakraban teman sekelas, sekaligus rasa kepercayaan diri yang kerap diragukan seorang remaja. Mirip di komik-komik Jepang. Sehingga pembaca pun tidak perlu berpikir keras untuk membayangkan latar seperti apa yang hendak dibangun oleh penulisnya.
Disanding dengan gaya bahasa yang mudah untuk dicerna. Tidak heran kalau seseorang yang sudah memegang “The Dead Returns” akan enggan untuk meletakkannya. Namun, jika ingin dijabarkan, saya merasa gaya bahasa yang digunakan Akiyoshi Rikako sendiri sedikit ganjil apabila hendak diselaraskan dengan pemilihan sudut pandangnya. Untuk buku misteri keduanya, Akiyoshi Rikako memilih sudut pandang seorang Komaya Nobuo, yaitu seorang laki-laki. Yang pastinya memiliki karakter maskulin, sedih, bingung, kecewa, sekaligus kikuk ketika bergaul. Namun, diksi yang digunakan penulisnya dalam karya terjemahan tersebut, terasa berkebalikan dengan hawa misterius dan kecewa tersebut. Seolah-olah ingin mengutamakan kesederhanaan gaya bahasa dan narasinya, padanan gaya bahasanya terbaca riang, mudah dipahami, dan feminin. Mungkin hal itu disebabkan oleh gender penulisnya. Tapi terlepas dari itu, kesederhanaan tatanan bahasa Akiyoshi Rikako sukses membawa saya pada eksposisi yang baik dalam menjabarkan hal-hal di sekeliling maupun plot yang dialami oleh sang tokoh utama.
Introduksi yang digunakan Akiyoshi Rikako tidak membosankan. Jika kerap kali saya berpikir tentang novel-novel Jepang berkelas yang gemar menggunakan banyak narasi, dalam “The Dead Returns” malah porsi dialognya dapat mengimbangi narasi yang sederhana, sehingga memberikan klu-klu tersendiri terhadap perangai para karakternya.
Untuk sebuah novel misteri yang sederhana, alur yang digunakan Akiyoshi Rikako terasa cukup mendukung. Di bagian awal, kesan misterius tersebut kentara menguar. Alih-alih masuk ke karakter dan problem utamanya, Akiyoshi Rikako memilih untuk membicarakan tradisi sekolah-sekolah di Jepang tentang tingkat kesulitan seseorang yang kian meningkat jika seseorang menolak untuk masuk sekolah. Saya sendiri sempat bingung, kenapa awalnya seperti ini? Apakah ceritanya akan berawal dari penjabaran kematian tokoh utamanya atau bagaimana? Rasa penasaran dan bingung itu sejurus menyeruak. Menilik ke sinopsis belakang pun percuma. Yang saya suka dari deretan kalimat di sampul belakangnya adalah ungkapan yang sama sekali tidak menyebutkan nama. Jadi, jeda antara epilog dan bab pertamanya terasa seperti lubang plot yang sukses memberikan hawa misterius sekaligus tantangan bagi pembaca untuk mencari tahu apa yang bakal terjadi selanjutnya; tentang siapa yang dibunuh, siapa yang tertukar tubuhnya, dan siapa pembunuhnya.
Mungkin yang sedikit saya sayangkan, permainan plot yang baik di awal agaknya terlalu banyak dibumbui adegan drama. Akibatnya di belakang. Antara klimaks dan penyelesaiannya, keduanya terasa sedikit berdekatan, hingga tidak jarang pembaca berpikir tentang beberapa dugaan yang sebelumnya menjadi kecurigaan diungkapan terlalu sederhana dan tidak terlalu relevan. Saya sendiri masih bingung tentang telepon Sakamoto-sensei yang menyasar ke rumah Nobuo, yang di pertengahan menjadi kecurigaan Takahashi, tapi malah tidak terlalu dianggap penting di saat penyelesaian masalah. Baiknya, mungkin dari jumlah halaman, “The Dead Returns” bisa lebih diperpanjang lagi dengan menekankan analisis penyelesaian yang sifatnya tersisip dan saling berkait. Sehingga satu per satu kejadian yang mencurigakan tidak perlu dibeberkan dengan penjelasan yang sifatnya individual.
Kendati demikian dengan banyaknya dialog dramatis yang dibangun Akiyoshi Rikako, saya merasa, penokohan para tokoh yang terlibat dalam “The Dead Returns” terasa sangat hidup. Tidak hanya Nobuo yang terkurung dalam tubuh Takahashi—kendati monolognya sedikit kemayu dan ceria, tapi ia menjelaskan tiap detail hal-hal yang dilihatnya dengan sangat detail dan presisi. Sederhana dan mudah untuk dibayangkan. Seperti halnya ia menjelaskan karakter Takahashi lewat deksripsi fisiknya, gitar elektriknya yang ada di kamar, perempuan yang tengah dipacarinya. Lalu, deskripsinya mengenai Yoshio yang bertubuh gemuk, yang juga seorang otaku kereta api, tak lupa sang ketua kelas yang sok kuat dan Maruyama-san yang punya perangai serupa dirinya.
“The Dead Returns” mengambil latar di SMA Narumi Higashi, kendati sebelumnya Takahashi bersekolah di SMA Seiran. Tapi, suasana yang bisa saya tangkap dari gaya bercerita Akiyoshi Rikako, “The Dead Returns” punya hawa drama yang lebih dominan. Mulai dari tradisi yang terkecil, dari adanya uwabaki, sepatu karet yang biasa digunakan para murid sekolah, terus banyak juga pernak-pernik lainnya yang terkesan gaul tentang Jepang dalam alurnya yang beresensi cerita misteri. Didukung juga dengan banyak unsur ekstrinsik yang serba-Jepang, ada sedikit hal juga pada bagian ini yang kerap mengganggu saya, seperti terlalu banyaknya catatan kaki yang diselipkan. Satu atau dua tidak terlalu masalah. Tapi terkadang hal yang mudah, yang agaknya dapat diselipkan ke dalam alurnya ikut dimasukkan ke dalam catatan kaki. Catatan kaki bisa jadi membantu, tapi kalau kadarnya terlalu banyak, kadang pembaca menjadi terganggu karena sebentar-sebentar harus menengok ke bawah untuk sebuah istilah.
Secara keseluruhan “The Dead Returns” bisa dibilang cerita yang menarik. Untuk terjemahan dari Penerbit Haru yang pertama kali saya baca, terjemahannya rapi dan mudah dimengerti. Pas untuk kalangan remaja, seperti hawa dan alur cerita yang dituliskan Akiyoshi Rikako. Ceritanya pun tidak praktis ditutup dengan sebuah jawaban dari misteri kematian Komaya Nobuo, tapi punya amanat lain yang sederhana tapi pas ditujukan untuk para remaja 🙂
Empat dari lima bintang untuk karya Akiyoshi Rikako pertama yang saya baca, jujur, saya penasaran dengan “Girls in the Dark” yang konon punya benang merah dengan cerita satu ini.
Memang novel yang menarik. “Girls in The Dark” juga keren! Karya Akiyoshi-sensei benar-benar top :3
Apakah ada yg bisa membantu saya utk mencari biografi Akiyoshi Rikako?
saya bari otw beli min 3 buku seri akiyoshi rikako :v syang blum dteng barangnya ;)) tp sya sudah penasaran bet tuh ma novelnya hhehe