Judul : Half Bad (The Half Bad Trilogy #1)
Penulis : Sally Green
Penerjemah : Reni Indardini
Penerbit : Mizan Fantasi
Terbit : Cetakan pertama, Maret 2015
Tebal : 444
Rate : 4 / 5
“Kau tidak jahat, Nathan. Kau sama sekali tidak membawa-bawa sifat jahat. Kau akan memiliki Anugerah nan perkasa—kita semua bisa melihatnya—tapi yang akan menunjukkan dirimu baik atau jahat adalah caramu menggunakan Anugerah itu.” –Half Bad, hlm. 124
Nathan Byrn lahir sebagai Bastar. Ibunya seorang Penyihir Putih dengan Anugerah penyembuh; Ayahnya, Marcus adalah buron, seorang Penyihir Hitam yang terkenal membunuh banyak jiwa-jiwa tak bersalah. Sedari kecil, Nathan dibesarkan oleh neneknya. Jessica, saudara perempuannya yang tertua, kerap mengejek dan mengucilkannya sama seperti teman-teman di sekolah. Sementara, Deborah dan Arran menyayanginya.
Nathan Byrn terpaksa hidup di dalam kurungan sedari umur empat belas tahun. Setelah Dewan tak lagi percaya kepadanya, ia dilatih secara khusus oleh Celia, wanita yang pernah bertemu dengan Marcus. Celia memperlakukannya dengan buruk. Menanyainya dengan pertanyaan-pertanyaan bodoh, mengurungnya di kala gusar, merantai lehernya layaknya anjing.
Dewan Penyihir Putih berharap di separuh jiwa Nathan, ia sungguh-sungguh berpihak kepada Penyihir Putih. Namun, seiring bertambah umur, Nathan sadar kalau fisiknya benar-benar mirip Marcus. Ia perlu melarikan diri. Mengumpulkan kepingan teka-teki yang dirangkaikan seseorang bernama Marry padanya; ia perlu mencari Mercury. Mercury akan memberinya tiga Anugerah seperti penyihir-penyihir muda lain ketika mereka berumur tujuh belas tahun.
Sayang, reputasi Mercury teramat sadis di telinga penyihir lain. Nathan harus mengambil risiko. Mercury bisa saja membunuhnya; bisa membantunya tapi dengan sebuah imbalan—yang pasti hal itu tidaklah mudah.
Di tengah-tengah era perbukuan fantasi distopia, agaknya sedikit unik menjumpai buku dengan sentuhan fantasi magis. Kalau seringnya belakangan ini pembaca diperhadapkan pada buku-buku bergaya fiksi ilmiah dengan latar negeri yang tengah hancur lantaran ulah alam, zombie, atau pemerintah yang tirani. Well, dengan “Half Bad” Sally Green menelurkan buku pertamanya dengan tema penyihir. Sayangnya, jika mendengar kata penyihir, laki-laki, dan cilik, pembaca secara kasual akan membuat stereotipe kalau hal-hal semacam itu akan bermain di dunia serba-magis nan kuno seperti Harry Potter.
“Half Bad” bisa dibilang sedikit mengadopsi hal-hal yang berbau Harry Potter. Mulai dari latarnya yang bertempat di Inggris. Lalu, istilah-istilahnya yang membagi klan penyihir dengan manusia non-magis dengan sebutan fain. Sama seperti J. K. Rowling yang menyebut manusia non-magis dengan sebutan muggles. Tapi, jangan samakan seri “Harry Potter” dengan “Half Bad”. Walau menggunakan lakon penyihir cilik sebagai karakter utamanya, tapi “Half Bad” sendiri memiliki latar waktu yang realtif melibatkan dunia modern. Tidak kaku seperti “Harry Potter”, sebut seri “The Mortal Instrument” karya Cassandra Claire. Bisa dibilang ada kemiripan di pendeskripsikan latarnya yang mencoba menghibridakan antara tradisi turun-temurun yang mengandung hawa supernatural dengan dunia yang kekinian. Ide ceritanya pun tidak disegmentasi seperti seri “Harry Potter”, yang per bukunya bercerita tentang petualangan yang dilakukan setahunan penuh oleh tokoh utamanya. “Half Bad” lebih bercerita tentang satu kasus besar, yaitu misi Nathan untuk membuktikan kepada para Penyihir Putih bahwa dirinya tidak sama seperti ayahnya yang pembunuh. Kendati waktunya tidak banyak, di buku pertama yang bertajuk “Half Bad”, Nathan punya misi utama untuk menemukan Mercury yang konon memiliki kemampuan untuk memberikan tiga Anugerah. Padahal tiga Anugerah itu sendiri tidak dapat diberikan secara cuma-cuma. Setelah terpisah dari neneknya, untuk bertransformasi dari whet (calon penyihir) menjadi penyihir dewasa. Nathan membutuhkan darah nenek/kakeknya atau salah satu dari kedua orangtuanya. Ibunya telah meninggal lantaran bunuh diri. Ayahnya pun tak pernah mengunjunginya.
Dalam lakon Nathan saya melihat sebuah fenomena yang sesungguhnya umum terjadi di dunia realita. Yaitu tentang pembeda-bedaan status. Yang mana di dunia “Half Bad”, seorang penyihir berdarah murni begitu dihormati, sedangkan yang blasteran, diejek dan dikatai sebagai Bastar, seseorang yang begitu menjijikkan, terlebih jika ia berdarah campuran separuh Penyihir Hitam.
“Half Bad” tidak seperti seri “Harry Potter” yang tiap penyihirnya diperlengkapi oleh mantra, atribut-atribut sihir, dan dikelilingi makhluk-makhluk supernatural dengan nama yang sulit diingat. Alih-alih, tiap penyihir dipersenjatai dengan Anugerah. Saya sering menyinggung mengenai kata “anugerah” sedari awal, awalnya pun saya pribadi cukup bingung. “Half Bad” yang sedikit memberlakukan istilah-istilah kajian dunia magis tidak pernah menyeratakan catatan kaki, tapi yang saya tangkap, Anugerah ini merupakan kemampuan tiap penyihir dalam mengendalikan kemampuan supernatural mereka, seperti di seri “Twilight”, vampir punya skill masing-masing, begitu juga para penyihir di “Half Bad”. Ada yang berkemampuan menjadi ahli ramuan, menyembuhkan diri, dan masih banyak lagi.
Sebagai karya debut, “Half Bad” digagas cukup keren oleh Sally Green. Membuka halaman pertama novel “Half Bad”, cukup membuat saya merasa bingung sekaligus penasaran. Lantas, bertanya-tanya lantaran alurnya terasa samar. Sally Green membagi novelnya dalam enam segmen. Di segmen awal, antara bagian satu hingga tiga. Ia selalu memulai ceritanya dengan sudut pandang orang kedua, seolah ada pendongeng lain yang menjadikan “kau” sebagai bahan godaannya. “Kau” dicemooh habis-habisan, dipukuli, dikurung tanpa terbersit satu pun alasan. Teknik yang cukup unik, menurut saya. Kendati jika dipaparkan secara mudah, saya yakin, ide tentang penyihir masih disambut hangan oleh masyarakat, tapi Sally Green malah ingin menunjukkan sisi misteri dan mengajak pembacanya untuk tidak langsung masuk ke dalam kepala Nathan.
Porsi dialog dan narasinya cukup seimbang walau terlihat sedikit didominasi oleh monolog Nathan. Hanya saja, lantaran “Half Bad” bercerita dengan rentang waktu yang panjang, terkadang saya merasa kalau Sally Green agak melupakan status usia tokoh utama yang ia gunakan sebagai narator utama, dengan menggunakan gaya bahasa dan pemikiran yang begitu dewasa.
Secara gaya bahasa, saya rasa, perihal terjemahanlah yang membuat saya betah untuk menghabiskan lembar demi lembarnya di jok penumpang bus. Cukup ragu di awal saat mengetahui genre yang diangkat oleh Sally Green dalam “Half Bad”, tapi seperti kebanyakan buku terjemahan Mizan Fantasi, saya menikmati terjemahannya yang luwes. Tidak mempersulit pembaca, terlebih di dalamnya ada banyak istilah. Memang tidak ada catatan kaki yang sempat saya jumpai, tapi pendeskripsiannya di dalam tiap kalimat dan paragraf mudah dimengerti, sehingga pembaca pun lama-kelamaan bisa menerka maksud istilah tersebut tanpa merasa tersela oleh catatan kaki yang harus disimak.
Secara alur, “Half Bad” mengusung alur bolak-balik di awal. Dengan keberadaan segmen yang menggunakan sudut penceritaan sudut pandang orang kedua, Sally Green sudah memberikan petunjuk pertama, yang mana pembaca tidak akan mudah untuk mengetahui identitas Nathan Byrn. Dan setelah terungkap, plot pun berjalan relatif cepat. Nathan dijelaskan tumbuh menjadi seorang remaja dan perlu mempersiapkan diri untuk ulang tahun ketujuhbelasnya.
Di samping permainan alur yang cepat, penokohan yang diciptakan Sally Green pun terasa mulus. Nathan sebagai tokoh utama mengingatkan saya pada tokoh John Smith dalam “I Am Number Four”, dengan dirinya sebagai narator utama, lalu ambisinya yang besar, punya kemampuan bertarung, dan memiliki perangai pemarah yang nyaris dapat dirasakan di tiap deskripsi gerak-geriknya, namun sebagai penyimpul kadang-kadang Sally Green pun banyak menyelipkan goda-godaan lewat percakapan antartokohnya. Dan yang cukup saya cermati, “Half Bad” yang masih menduduki genre young-adult agaknya masih cukup menyensor perbendaharaan katanya walau Nathan sendiri sebenarnya cukup sering mengumpat.
Terlepas dari alur dan penokohan yang baik, “Half Bad” agaknya bisa cukup membingungkan di bagian depan, terutama soal latar. Latarnya terbilang samar. Sebagian pembaca lain berkata kalau ini modern, saya sendiri baru sadar akan hal itu saat di pertengahan. Saat unsur-unsur ekstrinsik dari dunia modern terlihat mencuat di beberapa lembar kala masa pemberontakan Nathan, tapi di awal, dengan gaya bercerita terjemahannya, saya rasa, saya lebih menangkap ketidakselarasaan antara keberadaan hutan, pedesaan, rumput hijau dengan polisi, Marlboro Lights, dan sebagainya.
Secara keseluruhan, saya cukup menyukai “Half Bad”. Idenya brilian untuk novel debut, tapi mungkin eksekusinya sedikit membingungkan dan bimbang di beberapa bab awal. Untuk pembaca “Harry Potter” yang berekspektasi tinggi dengan dunia sihir, saya rasa bakal kecewa dengan “Half Bad”, tapi untuk pembaca yang menyukai bumbu sihir yang berbau petualangan yang mengadalkan aksi laga dan kejar-kejaran, “Half Bad” bisa masuk ke dalam senarai rekomendasi.
Untuk “Half Bad”, saya memberi empat dari lima bintang.