Judul : Dear Sister
Penulis : Rosemerry
Penerbit : GagasMedia
Terbit : Cetakan pertama, April 2015
Tebal : 272 halaman
Rate : 3 / 5
“Aku bukannya memaksa Nayla. Aku hanya ingin supaya dia tidak mengalami kegagalan seperti diriku.” –Dear Sisters, hlm. 135
Nayla selalu benci menjadi bayangan Aruna, sedari TK hingga SMP bersekolah di tempat yang sama. Lantas, kehidupannya kerap disamaratakan dengan kakaknya yang serba-sempurna. Masuk ke SMA Taruna Bakti, Nayla ingin berhenti diatur. Ia sudah tahu apa yang ia suka dan mana yang akan ia pilih. Tapi kenapa sih Mbak Aruna selalu ingin campur atas semua upaya Nayla? Mulai dari ekstrakurikuler sampai-sampai kertas tugas Masa Orientasi Siswa, selalu saja ada kata koreksi dari bibir kakaknya.
Walau terlihat sempurna, namun sesungguhnya, Aruna kepalang serius menjalani kehidupannya. Selepas menamatkan SMA, Aruna selalu saja melabeli dirinya sebagai kegagalan keluarga. Cita-citanya sebagai dokter sekonyong-konyong membuatnya malu di hadapan Papa dan Kak Tian, pujaannya semasa bimbingan belajar.
Pertemuannya dengan Cesare, vokalis Morningdew, mengingatkannya pada Kak Tian. Tapi, semakin Aruna mencari tahu, hatinya semakin sakit. Elisa, sahabatnya, yang satu jurusan mengenalkan pria yang sama dengan predikat yang membuatnya kesal setengah mati. Lalu, haruskah ia berkata jujur?
Sementara Nayla berkelit dengan kakak kelasnya, Yulian, yang mengajaknya bergabung dengan kelab Pencita Alam. Aruna jelas menentang keputusan bodoh Nayla. Tapi, nyatanya motivasi Nayla mengikuti ekskul tersebut bukan semata-mata kecintaannya pada alam, alih-alih, ingin merasa dekat dengan Yulian.
Ada rasa skeptis saat pertama kali menerima buku ini untuk di-review, bukan lantaran covernya atau penerbitnya. Tapi karena genre-nya yang cukup jarang berseliweran di antara buku-buku romance Gagasmedia. Kalau kebanyakan cerita ber-genre roman memilih latar belakang ala kaum urban, perkantoran, dengan karakter cowok yang metroseksual atau sukses. Maka, saya berpikir terlalu ribet untuk kisah yang diangsurkan Rosemerry dalam novel debutnya, “Dear Sister”. Sesuai dengan judulnya, “Dear Sister” bercerita tentang sisterhood, kisah kakak beradik perempuan yang tiap kali berbeda pendapat dan selalu berargumen.
“Dear Sister” bukan novel dari penerbit Gagasmedia pertama yang saya baca, yang ber-genre sisterhood. Mungkin yang kedua, tapi yang pertama dulu sempat mengecewakan saya dengan gaya bercerita yang nyaris mirip, maka yang sekarang pun saya semacam berpikir dua kali untuk membaca.
Ada lembar-lembar awal yang saya lewati dengan sedikit perlahan. Dengan gaya introduksi khas novel remaja, bercerita tentang fase penerimaan siswa baru ke sebuah SMA swasta. Namun, seiring bergulirnya plot cerita, kadar sisterhood dalam “Dear Sister”, menurut saya, tidak terlalu banyak dan monoton. Masih banyak roman yang mendominasi; kalau disimpulkan sekitar enam puluh persen, tapi selebihnya, sisterhood memang ikut ambil andil sebagai masalah kedua yang melibatkan Aruna dan Nayla.
Untuk genre romannya sendiri, problema yang diciptakan Rosemerry sesungguhnya tidak sulit. Mudah dibayangkan dan sedikit klise malah. Mulai dari kasus menyukai diam-diam pacar sahabat, perasaan bersalah lantaran takut untuk mengakuinya. Kemudian, Nayla juga digambarkan naksir kakak kelasnya, Yulian, dan nekat untuk selalu melibatkan diri pada kegiatan-kegiatan Pencita Alam. Sebagai premis, “Dear Sister” ingin berbicara tentang cinta diam-diam. Tapi, yang saya cukup sukai dari penuturan Rosemerry adalah alurnya yang sedikit bermain dan membuat pembaca mau tak mau, harus menebak sesungguhnya siapa akan jadian dengan siapa ya?
Klu-klu tentang jawabannya sudah terpapar sedari awal sih. Tebakan saya pun tidak jauh meleset, tapi namanya juga cerita remaja. Saya masih menikmatinya. “Dear Sister” tidak terkesan monoton kok. Alurnya terbilang mulus. Mungkin di bagian depan, pembaca Gagasmedia yang biasanya membaca novel-novel roman domestik bakal sedikit salah kapra dan terkejut dengan gaya bahasanya. Pasalnya, “Dear Sister” memang menggunakan tutur bicara yang sangat sederhana. Terlebih latarnya juga langsung masuk ke dunia SMA, lengkap sudah nostalgia seperti membaca novel-novel teenlit dulu.
Di awal, saya agak merasa bosan dengan introduksinya yang kepalang detail. Menjelaskan satu per satu gerak-gerik tokohnya. Latar SMA yang sesungguhnya mudah dibayangkan. Tapi, menjelang ke pertengahan, saya sempat terhibur dengan beberapa deret monolog dan dialog antar tokohnya yang sedikit condong ke gaya humor. Banyak celetukan-celetukan kecil yang ada dalam kadar “garing” tapi masih bisa juga dimasukkan ke dalam penyejuk cerita.
Secara keseluruhan, ceritanya nyaris didominasi alur maju. Dengan dua alur cerita dan narator yang berbeda, milik Nayla dan Aruna. Nayla punya gaya bercerita yang enerjik; Aruna punya gaya bercerita yang rinci, seperti citranya yang serba-sempurna. Keduanya bercerita secara bergantian, menceritakan tiap lika-liku percintaan yang mereka hadapi di dunianya.
Ada hal yang sedikit mengganggu saya di alur cerita milik Aruna, yaitu tentang pertemuannya dengan Cesare. “Dear Sister” yang punya alur maju, serta-merta dipanggil mundur untuk satu adegan pertemuan Cesare dan Aruna, padahal setelah itu, di masa sekarang Aruna dijelaskan punya kesempatan untuk bertemu secara tidak sengaja dengan Cesare. Sedikit janggal sih, sementara adegan-adegan selanjutnya tidak ada yang berupa napak-tilas. Agaknya adegan napak tilas tersebut bisa diceritakan sebagai monolog hati Aruna yang tanpa sengaja bertemu dengan Cesare ketika motornya kehabisan bensin. Sepertinya akan terasa lebih senada dengan segmen-segmen lainnya 🙂
Untuk porsi naratornya, Aruna dan Nayla dibagi cukup adil untuk bercerita mengenai kisahnya masing-masing. Kesinambungan keduanya mengenai dunia sisterhood pun dilatarbelakangi dengan logis. Sebagai kakak, Aruna yang bersikap terlalu serius, dan menganggap kegagalannya adalah sebuah pelajaran sendiri, tak ayal membuat Nayla kesal karena mbaknya berperangai bossy dan sok ikut campur dengan pelajaran-pelajarannya di sekolah. Peran Yulian sebagai titian di antara keduanya pun saya pikir, cocok menjadi konflik utama. Hanya saja mendekati konflik akhir, semuanya menjadi terlampau cepat.
Di awal, yang mana Rosemerry membangun ceritanya dengan begitu rapi dan teratur lewat penjelasan-penjelasan yang rinci dan runut. Menjelang pertengahan pun, pembaca bisa masuk ke dalam drama-drama percintaan Aruna dan Nayla, sayang, setelah konflik besar dijatuhkan, tepat setelah Yulian membuka kartunya, plotnya terkesan goyah dan lintang-pukang. Konflik pengakuan Aruna kepada Elisa yang seharusnya menjadi topik yang tidak kalah pentingnya malah tergeser dan dituturkan secara terburu-buru. Seolah buku harus lekas ditutup dan semua perkakas yang tadinya lupa dimasukkan langsung dijejalkan. Sedikit mengecewakan sih. Tapi, sebagai premis akhir, Rosemerry cukup membuat saya puas dengan ending-nya yang sama sekali tidak remaja. Keren. Dan penulisnya terbukti mampu menjebak saya.
Dari segi tokoh sendiri, seperti halnya cerita remaja, Rosemerry punya penjabaran tokoh yang baik dan kontras. Antara satu dan lainnya, semuanya nampak berbeda dan punya keunggulan satu sama yang lain, sehingga pembaca pun dengan mudah dapat mengingat dan mengimajinasikan sosoknya di dalam benak mereka. Pemilihan namanya pun mampu menarik perhatian saya, saya pribadi suka dengan Cesare. Dengan nama panggilan Ces yang mudah diingat dan eye-catchy. Unik sih. Tapi bukankah seperti itu citra dari seorang vokalis band?
Sebagai penutup, untuk novel remaja, “Dear Sister” bisa dibilang cukup seru. Ada bagian-bagian yang membuat senam otak. Kendati berlabel remaja, tapi penuturan konfliknya masih cukup bermain, tidak serta-merta langsung menjelaskan segalanya dan mengumbar kemesraan. Ada sedikit teka-teki yang harus terpecahkan. Dialog-dialognya pun cukup menghibur. Jauh melebihi ekspektasi saya sebagai novel remaja bergaya sisterhood yang seringnya hanya bercerita tentang mimpi dan masalah keluarga.