Judul : Half Wild (The Half Bad Trilogy #2)
Penulis : Sally Green
Penerjemah : Reni Indardini
Penerbit : Mizan Fantasi
Terbit : Cetakan pertama, April 2015
Tebal : 459
Rate : 3.75 / 5
“Kalau begitu, sambutlah Anugerahmu dengan hati lapang dan belajarlah dari hewan itu. Jangan hakimi ia. Hewan malang itu pasti kebingungan karenanya. Kau menginginkannya karena sama dengan Anugerah ayahmu, tapi kau tidak menginginkannya karena alasan yang sama pula.” –Half Wild, hlm. 151
Nathan masih perlu berkelit dengan Anugerahnya. Setelah menerimanya dari sang Ayah, ia malah kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Sementara Mercury merasa kecewa dengan keputusan Nathan. Perempuan tua itu sengaja menahan Annalise dan menidurkannya selama berbulan-bulan. Mercury menghilang. Dan Nathan tahu, ia harus mempertaruhan nyawanya untuk menemukan perempuan yang ia cintai.
Di satu sisi ia perlu bantuan, tapi Gabriel agaknya sudah meninggal. Tidak ada tanda-tanda kehidupan darinya. Nathan berulang kali bertandang ke Pondok Mercury, alih-alih, menemukan Nesbitt di dalam gua. Nesbitt bilang, ia suruhan Victoria van Dal, partner-nya yang kini tengah merawat Gabriel.
Nathan harus terus berlari dari kejaran para Pemburu. Pun para Penyihir Hitam yang selalu menganggapnya sebagai ancam dari putra Marcus. Namun, satu tujuan Nathan, ia perlu mempersatukan keduanya untuk melawan Dewan.
“Tidak abstrak, tapi realistis. Aku serius ingin mempersatukan Penyihir Hitam dan Penyihir Putih.” –Half Wild, hlm. 374
Sebagai seri kedua dari trilogi “Half Bad”, “Half Wild” bisa dibilang lumayan seru. Ada bumbu-bumbu lain yang diadisi Sally Green di dalam kehidupan Nathan yang baru saja melewati tujuh belas tahun. Dari roman hingga petualangan menyusuri dataran Eropa, Sally Green mencoba mengemasnya secara kesinambungan. Dan tidak lagi berpusat pada satu konflik utama, melainkan tiga: menyelamatkan Annalise, membentuk Persekutuan, dan mengajak Marcus Byrn untuk bergabung di dalamnya.
Terdengar sulit dan menantang. Tapi, sesungguhnya eksekusinya banyak berujung pada rasa kekecewaan. Agaknya ekspektasi saya kepalang tinggi. Menilik buku pertama dengan sederet kesulitan Nathan yang bertubi-tubi datang. Padahal premis akhirnya hanya untuk menemukan tiga Anugerah sebelum ulangtahunnya yang ketujuhbelas. Di buku keduanya, saya merasa Sally Green ingin sedikit mendominasi ceritanya dengan roman. Terlihat dari segmen pertama Nathan yang memiliki misi untuk menyelamatkan Annalise. Sedang pada premis ketiga, menurut saya, “Half Wild” punya gagasan yang tak jauh dari novel-novel fantasi yang banyak berseliweran di toko buku, yaitu ingin menggulingkan jabatan seseorang yang memerintah secara tiran. Seperti di The Hunger Games, Katnis ingin menggulingkan Presiden Snow dan di Maze Runner, Thomas dan kawan-kawan ingin menggulingkan WICKED. Dalam “Half Wild”, Nathan juga serta-merta ingin menggulingkan Soul O’Brien dari kursi Dewan-nya
Pantutan “Half Wild” terasa bergeser. Kalau di buku pertama para pembaca banyak dikompori oleh hype yang mana menyebutkan “Half Bad” punya tema serupa “Harry Potter”. Makin menuju buku kedua, “Half Wild” malah punya kecenderungan mirip buku-buku bertema vampir. Mulai dari Anugerah milik Nathan yang kalau disebut dalam istilah Harry Potter, ia seorang animagus, seseorang yang dapat bertransformasi menjadi hewan. Tetapi, lewat deskripsinya, saya malah lebih melihat Nathan bertransformasi menjadi seekor binatang buas mirip werewolf, yang dapat bertindak secara brutal tanpa sadar apa yang tengah dilakukannya.
Dan persoalan ide membentuk Persekutuan pun ikut mengantar saya berimajinasi layaknya membaca seri Twilight yang terakhir. Yang lantaran bertujuan ingin mengusir keluarga Volturi, para vampir di penjuru negeri berkumpul. Mirip dengan Persekutuan yang dibentuk oleh Van, yang mana ia berusaha memanggil kerabat serta penyihir dari berbagai kalangan, mulai Bastar, Blasteran, Hitam, dan Putih dari penujur Eropa untuk ikut bergabung dan membangun artileri.
Gaya bercerita Sally Green dalam “Half Wild” masih mirip seperti buku pertamanya. Dibuka dengan satu bab yang penuh teka-teki dan penyampaian dari sudut pandang orang kedua, tapi kali ini orang kedua tersebut merujuk pada Nathan yang punya dua jiwa. Jiwanya sebagai Penyihir dan jiwanya sebagai wujud Hewan. Agak sedikit membingungkan sih, saya pun, baru menyadari kesalahan teknis (penulisan tanpa huruf kapital) yang sengaja dibuat untuk membagi segmen dua jiwa tersebut setelah melewati beberapa bab.
Namun, untungnya, kali ini Sally Green tidak ingin berlama-lama membuat pembacanya menyusun plot di dalam otak mereka, “Half Wild” langsung bergulir secara mulus. Dengan struktur kalimat yang mudah dimengerti. Walau di bagian kedua ini, Sally Green banyak melibatkan aksi berburu, berlari, serta menantang marabahaya. Sebagian besar plot memang didominasi dengan sudut pandang orang pertama, Nathan, sebagai naratornya. Tapi, dengan banyaknya karkater baru yang bermunculan, dan kepribadian Nathan yang mulai membuka diri, “Half Wild” terasa lebih interaktif ketimbang buku pertamanya.
Membaca “Half Wild”, plotnya sedikit banyak mengingatkan saya pada seri The Mortal Instrument. Tidak membosankan. Tidak seru-seru sekali juga. Tidak mudah ditebak. Tapi, kadang saya merasa sedikit dibanjiri adegan roman yang diulur-ulur. Walau konfliknya terbilang banyak, Sally Green seolah mengharuskan adegan-adegan roman masuk ke dalam ceritanya. Bukan sebagai perjuangan cinta, alih-alih, sebagai pemanis rasa. Tidak salah, menurut saya, secara kadar pun, romannya tidak mendominasi. Hanya saja terepetisi sedikit berlebih. Padahal Nathan masih punya segudang konflik yang sepertinya dapat digali dan dibuat lebih rumit. Ketimbang membuatnya terasa mudah lolos dan terburu-buru dapat diselesaikan tanpa sebuah aksi yang seru.
Terlepas dari beberapa konflik yang terlalu mudah diselesaikan, saya cukup suka dengan akhir ceritanya. Tidak bermaksud untuk membocorkan lho. Tapi, saya pikir, penutup yang disuguhkan Sally Green berpusar pada kata “tidak masuk akal” dan “mampu menyita emosi”. Tidak masuk akal pada karakter-karakter yang ikut terlibat di dalamnya, tapi ujung-ujungnya, lantaran tidak pernah bisa ditebak, “Half Wild” mampu membuat saya penasaran untuk menunggu lanjutan di buku ketiganya.
Dan dari segi penokohan, tajuk “Half Bad” kali ini terasa semakin pas dengan penokohan seorang Nathan, yang mana Anugerahnya mendorong separuh jiwa Nathan untuk menjadi seorang pembunuh bengis seperti Marcus. Tapi, separuh lagi punya jiwa yang lembut yang selalu bersikap tenggang rasa terhadap teman-temannya. Lantas, jiwa lembut itulah yang dikembangkan Sally Green menjadi Nathan yang bertindak seperti seorang narator, sehingga kadang saya pun menemukan sedikit kelemahaan dari sisi tersebut, yaitu membuat Nathan, yang sekarang sudah beranjak dewasa, masih dituturkan lewat kata-kata lembut nan sederhana seperti seorang remaja yang masih sangat muda.
Untuk penokohan lainnya, seperti Mercury, Van, terutama Marcus. Sebagai Penyihir Hitam dan Putih yang terkenal, kontroversial, dan punya cap menakutkan di masyarakat. Saya merasa, eksekusi Sally Green sedikit mengecewakan di buku kedua. Lewat label-label “menakutkan” di buku pertama, Marcus yang semestinya digambarkan sebagai pembunuh yang bengis, tidak kenal ampun, tidak punya perasaan terhadap sesamanya, entah itu Penyihir Putih atau Penyihir Hitam, tidak diwujudkan pada karakternya sendiri. Semuanya terasa dilebih-lebihkan lewat perkataan karakter lain. Terlebih ia bertemu dengan Nathan, semua label menakutkan itu seperti goyah dan seolah-olah ia tidak punya wibawa dan membuat Nathan, yang sekalipun anaknya, merasa segan di hadapannya.
Di samping itu, latar yang diangsurkan dalam “Half Wild” bisa terbilang cukup baik. Sedikit ganjil dengan tema modern, tapi deskripsi Sally Green yang sederhana dan mudah diikuti mampu membangun imajinasi pembacanya untuk masuk ke dalam area petualangan Nathan yang senantiasa menyusuri lereng pegunungan liar.
Secara keseluruhan, saya lebih menyukai buku pertama. “Half Bad” lebih terasa menantang dari teka-teki plotnya. Dan konfliknya pun terasa matang menjadi satu titik fokus dari keseluruhan plot.
“Half Wild” tidak bisa tidak keren, tapi ketiga konfliknya terasa amat sangat mudah dilompati. Hal-hal yang berbau sihir pun terendus sangat minim di buku keduanya, seolah banyak hal modern lain yang ikut campur. Tapi, menjelang akhir, “Half Wild” mulai menemukan titik terang dan mampu menjerumuskan pembaca ke dalam permainan emosi yang sebelumnya kurang ditonjolkan pada “Half Bad”.