Judul : Kambing & Hujan: Sebuah Roman
Penulis : Mahfud Ikhwan
Penerbit : Bentang Pustaka
Terbit : Cetakan pertama, Mei 2015
Tebal : 374 halaman
Rate : 4 / 5
“Sebab tak ada biografi tanpa sebuah roman!”—Kambing dan Hujan, hlm. 72
Mifathul Abrar bertemu dengan Nurul Fauzia Jumat siang itu. Hatinya berdebar sembari menumpangi bus yang sama dengan seorang warga Centong. Sejauh apa ia merantau, ia selalu tahu gadis mana yang sekampung halaman dengannya. Mif lekas jatuh hati dengan Fauzia, pun dengan gadis itu, tapi siapa sangka kalau keduanya dibesarkan dengan dua aliran berbeda. Sama-sama Islam, namun berbeda adat, pun penempatan Hari Raya. Mif dibesarkan dengan tradisi Islam modern, Fauzia dengan Islam tradisional.
Sayangnya, Mif dan Fauzia tak bisa menyembunyikan perasaan itu terlalu lama, terlebih keduanya sudah memikirkan soal akad nikah. Centong bukan wilayah yang besar. Sedikit desas-desus, mau tak mau Fauzia harus buka mulut kepada Pak Fauzan, ayahnya. Sambil bermanja-manja, ia ingin minta restu, tapi di lain sisi Ibu Yatun, istrinya, malah diam seribu bahasa. Bukan persoalan Islam modern atau tradisional, tapi hatinya pedih saat mendengar nama Mif terucap dari bibir anak gadisnya.
Sedang Mif meminta kejelasan dengan Pak Kandar. Apa hanya lantaran persoalan Masjid Selatan dan Utara lantas keduanya tak bisa menikah? Atau pelanggaran norma agama hanya sekadar akal-akalan bapaknya yang ingin menutupi rahasia di masa lalu?
”Kita dulu mengira bapak-bapak kita adalah dua musuh bebuyutan yang tak terdamaikan. Ternyata, mereka dua sahabat karib, bahkan memanggil dengan panggilan “saudara”. Bukannya itu justru sangat menggembirakan?”—Kambing dan Hujan, hlm. 152
“Kambing dan Hujan” adalah buku karangan Mahfud Ikhwan pertama yang saya baca. Sampulnya sudah berkali-kali saya puji, kadang juga saya sebut-sebut sebagai susu kambing. Tapi, “Kambing dan Hujan” bukan bercerita tentang hasil hewani dari Kampung Centong. Seperti label kecil di bawah tulisan “Kambing dan Hujan”, alur ceritanya yang sederhana lebih didominasi oleh unsur roman. Ada unsur nge-pop pada sampul depannya, pun pada gaya bahasanya. Kalau ada label pemenang juara pertama pada Sayembara Menulis Novel Kesenian Jakarta 2014, “Kambing dan Hujan” memang bisa dibilang sebagai karya sastra. Namun, jauh dari novel-novel sastra lain yang pernah saya baca, “Kambing dan Hujan” bisa dibilang punya gaya sendiri yang lebih mengalir, simpel, dan mudah dicerna.
Secara garis besar, seperti roman klasik era dahulu, “Kambing dan Hujan” bisa dibilang sedikit menyerempet kisah “Romeo & Juliet” karya Shakespeare, bedanya, kalau Romeo berasal dari keluarga Montague dan Juliet berasal dari keluarga Capulet; Mif dibesarkan oleh kaum Masjid Utara—seringnya disebut Centong Utara—dan Fauzia adalah anak dari petinggi Masjid Selatan atau Centong Selatan. Lantas keduanya jatuh cinta diam-diam tanpa sepengetahuan orangtua mereka. Kendati demikan, novel ini masih bisa dibilang menarik. Tidak saja mengangsurkan kadar roman yang manis-asam, pun tentang isu-isu yang bersangkutan seputar norma agama sekaligus detail ceritanya yang sangat teliti. Konflik yang dirasa penting—tapi tidak penting juga, lantaran cerita ini sebagian besar didominasi oleh kisah roman, tapi isu-isu pertentangan kedua kubu Islam tersebut pun memberikan banyak informasi dan alasan-alasan yang masuk akal, yang patut dipertanyakan.
Mahfud Ikhwan punya warna sendiri dalam bercerita. Dengan gaya bahasa jauh dari novel-novel sastra yang mendayu dan njlimet, “Kambing dan Hujan” diceritakan melalui pembukaan yang sederhana tetapi banyak sudut pandang yang menjadi celah untuk bercerita. Kadang sudut pandang orang ketiga, kadang ia menjelma menjadi salah seorang tokoh yang perlu pembaca tebak siapa naratornya. Terlepas dari itu, diksi-diksi yang dipilih Mahfud Ikhwan pun masih terasa elok dengan kadar yang pas dan mudah dicerna. Ada kalimat yang terbalik-balik susunan kalimatnya, tapi toh, malah mengalir dan lucu saat dibaca. Dialognya pun tidak terkesan sok sastra dengan kalimat-kalimat dan puji-pujian ala pujangga. Masih dengan hawa Kampung Centong yang mana banyak parafrasa yang sedikit ke-Jawa-Jawa-an dengan panggilan yang masih kental dengan unsur kesopanan. Keduanya—monolog dan dialog—bersatu dengan sebuah penokohan yang kuat.
Sedikit kritik dari saya ada pada istilah-istilah Islami-nya. Untuk sebagian kalangan yang mungkin beragama Islam, mungkin akan mafhum dengan istilah-istilah tersebut, tapi karena “Kambing dan Hujan” bukan novel Islami, tapi ke sastra yang sedikit nge-pop, mungkin ada baiknya kalau “Kambing dan Hujan” diperkaya dengan beberapa catatan kaki agar sifatnya lebih universal dan dapat menjamah ke banyak kalangan pembaca.
Terlepas dari ceritanya yang sederhana, agaknya selain dari sudut pandang bercerita, Mahfud Ikhwan tak ingin pembacanya menganggap kalau ceritanya sekadar remake dari banyak cerita klasik. Terlihat dari alurnya yang bolak-balik. Membaca “Kambing dan Hujan” terasa seperti menjelajah biografi dua orang sahabat karib lewat mesin waktu. Ada kalanya di masa kini, ketika Mif dan Fauzia diceritakan lebih mendominasi, tetapi sesungguhnya, bukan anak-anak merekalah yang menjadi esensi. Saya sendiri merasa terhanyut dengan kalimat sekaligus plot jitu Mahfud Ikhwan ketika berada di suasana Centong sebelum era reformasi, setelah sebelumnya di awal saya cukup bosan dan mencoba menerka, sesungguhnya ke mana arah cerita ini akan bergulir? Dan mengapa kisah tersebut seperti penggalan cerita tanpa sebuah ujung?
Sekalipun dibilang sederhana, tapi “Kambing dan Hujan” masihlah sebuah novel sastra, yang seakan punya tantangan sendiri untuk ditumpas hingga ke halaman terakhir. Kalau di awal saya bosan karena kebingungan, pada bagian akhir pun saya sedikit ingin menyerah ingin menghabiskan lantaran saya terlalu menikmati alur mundur dari kedua sahabat, Is dan Mat. Yang tiba-tiba diajak maju ke masa sekarang, memperontonkan petengkaran para ayah dan anak-anak mereka. Di alur yang menceritakan masa sekarang, saya rasa alurnya sedikit mengulur, alih-alih ditatar menuju skema solusi. Namun, menjelang akhir, well, bukannya ingin membocorkan; saya cukup terhibur dengan gaya bercerita Mahfud Ikhwan yang unik, yang mana ia mempergunakan dua dialog bergantian dengan logat-logat serta ejek-ejekan dari dua sahabat yang lama dipisah aliran keagamaan.
Secara penokohan, Is dan Mat atau entalah mereka biasa dipanggil, punya dua magnet yang sangat kuat, yang menjadi dua kubu utama dalam “Kambing dan Hujan”. Setelah sempat dibikin pusing dengan para narator yang berbicara. Pasalnya Mafhud Ikhwan tidak menjelaskan tokohnya dengan banyak tetek-bengek yang dijabarkan dengan proses analitik yang membuat bosan. Banyaknya Is dan Mat malah dibikin samar tapi dengan dua gaya bahasa yang berbeda, dari segi karakter seorang Is yang meledak-ledak dan Mat yang selalu bijak dalam bertutur kata, hingga akhirnya tanpa diberitahu, saya yakin, lama-kelamaan mereka dapat menyimpulkan sendiri, sesungguhnya siapa yang menjadi narator tanpa ada label nama.
Di awal banyak disebut-sebut soal Centong, tapi di dalam hati, saya pun mempertanyakan, apakah Centong sungguh ada seperti kala Andrea Hirata menjadikan kampung halamannya sebagai latar cerita? Tapi, entah Centong sungguh ada atau hanya karangan Mahfud Ikhwan semata, namun sebagai pembaca, saya merasa dapat menikmati kesan asri dari sebuah kampung di Jawa Timur sana, yang mana para penduduknya masih dekat satu sama lain, pun dengan masa lalu kedua sahabat dan tempat kesukaan mereka, Gumuk Genjik. Centong bukan diceritakan secara spesifik di mana tempat itu berada, bagaimana kesan geografisnya, tapi lewat interaksi dan deskripsi kegiatan tokoh-tokoh “Kambing dan Hujan” yang penuh keseruan, yang mana dapat mengimplikasikan sebuah latar yang nyata.
Membaca “Kambing dan Hujan” sungguh tidak dirugikan dengan kantuk-kantuk sebelumnya yang coba saya tahan, kalau di awal memang ada kala yang sedikit kelewat bosan, tapi di tengah saya merasa tidak dapat berhenti mengamati kisah kedua sahabat, Is dan Mat. Tentang bagaimana keduanya bisa dipertemukan lewat akar sukun, pun terpisahkan lewat norma agama.