Judul : The Girl On The Train
Penulis : Paula Hawkins
Penerjemah : Inggrid Nimpoeno
Penerbit : Noura Books
Terbit : Cetakan kedua, September 2015
Tebal : 431 halaman
Rate : 5/5
“Satu berarti penderitaan, dua berarti kebahagiaan, tiga berarti bocah perempuan. Tiga berarti bocah perempuan. Aku tertahan pada tiga, aku tidak bisa melanjutkannya lagi. Kepalaku dipenuhi suara, mulutku dipenuhi darah. Tiga berarti bocah perempuan. Aku bisa mendengar burung-burung magpie itu, mereka tertawa, mengejekku, terkekeh parau. Ada kabar. Kabar buruk. Kini aku bisa melihat mereka, hitam dilatari matahari. Bukan burung-burung itu, tapi sesuatu yang lain. Seseorang datang. Seseorang bicara kepadaku. Kini lihatlah. Lihatlah apa yang terpaksa kulakukan karenamu.”—The Girl On The Train, hlm. 403
Rachel sudah menjadi seorang alkoholik selama bertahun-tahun. Kondisinya kian memburuk ketika Tom berselingkuh dan malah memilih wanita jalang itu. Keduanya memiliki seorang anak perempuan cantik. Dan menghuni rumah kesukaannya.Diam-diam ia memerhatikan rumah tetangganya dari atas kereta. Setiap pagi ia melintas dari Ashbury ke London; kereta yang ia tumpangi selalu berhenti di depan rumah bernomor lima belas. Jess dan Jason, pasangan kesukaannya akan bermesraan di halaman rumah. Rachel dirundung rasa iri. Membandingkan dirinya yang benar-benar kacau. Dan perempuan itu Megan—Jess—dan suaminya Scott—Jason—yang amat sempurna.
Tapi, siapa sangka di balik sebuah kesempurnaan, nyatanya, Rachel sama sekali tidak mengetahui apa-apa. Pagi ketika ia terbangun dari tidur panjang sembari separuh pengar. Kabar itu terlansir. Megan Hipwell menghilang. Anna, si wanita jalang, menuduh Rachel sebagai salah satu yang terlibat.
Rachel berkilah, sembari mencari jawaban. Ingatannya menguap, mencari kepingan dari insiden semalam. Malam ketika ia hendak mengunjungi Tom. Dan pulang dengan dalam keadaan berdarah-darah. Rachel memperhatikan Scott di balik kaca ruang interogasi Detektif Gaskill. Agaknya ia perlu mengalihkan kecintaannya akan alkohol pada hal lain.
Ibarat frasa kuno, “mengintip rumput tetangga” sesungguhnya adalah poin utama yang ingin ditunjukkan oleh Paula Hawkins dalam “The Girl On The Train”. Jika sering kali seseorang mengecap dirinya sebagai sebuah kegagalan, lantas membanding-bandingkan dirinya dengan seseorang yang lebih sempurna, agaknya tidak ada orang yang sempurna di dunia ini. Seperti halnya Rachel yang salah menilai pasangan kesukaannya, Jess dan Jason. “The Girl On The Train” banyak bercerita tentang kegagalan sebuah pernikahan, yang mana suami dan istri silih bermain intrik dan mengelabui satu sama lain. Tuntutan berat bagi seorang istri yang harus memberikan keturunan bagi pohon keluarga mereka, malah tidak sanggup dipenuhi hingga berujung pada rasa frustasi. Semuanya terasa seperti lingkaran setan. Satu tindakan dapat menyebabkan sebuah dampak. Tidak hanya pada satu tokoh atau sebuah keluarga, tapi keluarga lainnya yang mau tak mau jadi ikut terlibat.
Sedari awal, Paula Hawkins menceritakan kisah sedih Rachel Watson sebagai sebuah keseharian. Ada sedikit kejenuhan di bagian depan. Rachel selalu menaiki kereta yang sama setiap pagi. Dan selalu saja bersikap sentimentil terhadap dirinya. Kalimat-kalimat perkenalan dibuat mengalir secara syahdu dan mendayu-dayu. Tapi, semua keganjilan yang ada pada dirinya tak lantas diungkapkan Paula Hakwins dalam satu untaian kalimat panjang. Semuanya bergerak perlahan. Rachel menyinggung banyak pihak yang patut ia salahkan, suaminya—Tom, si wanita jalang yang berhasil merebut suaminya, Anna. Dan bayi perempuan keparat itu, Evie. Rachel memilih mabuk seharian dan malah terpergok saat bekerja, hingga membuatnya dipecat dari pekerjaan.
Banyak pembaca yang mengira kalau novel ini begitu menyebalkan. Apalagi tokoh Rachel yang terasa dibuat-buat seperti hidupnya adalah kegagalan dari seluruh umat manusia. Tapi, ada pula pembaca yang menggantungkan ekspektasi tinggi terhadap “The Girl On The Train”. Pasalnya, “The Girl On The Train” memang sempat disandingkan dengan novel ber-genre serupa yang sempat fenomenal. Kesamaannya dengan “Gone Girl” karya Gillian Flynn terletak pada konflik utamanya, yang mana Megan Hipwell dikatakan menghilang, tanpa jejak, tanpa serentetan barang bawaan. Dan Scott suaminya terbukti bertindak kasar terhadap istrinya. Sehingga tidak lain dan tidak bukan, seperti saat seluruh masyarakat menaruh tuduhan terbesar pada Nick Dune (dalam “Gone Girl). Scott Hipwell pun menerima perlakuan yang sama.
Walau dibilang mirip, tapi “The Girl On The Train” sesungguhnya punya sudut poin utama di tempat yang berbeda. Kalau “Gone Girl” menyorot dua tokoh utamanya, yang mana sang isteri dan sang suami, “The Girl On The Train” malah menyorot pihak ketiga yang menjadi narator utama di plot ceritanya, yaitu Rachel Watson.
Rachel Watson memang dicap sedikit gila. Tapi, momen kegilaan itu mengingatkan saya pada karakter ‘si tanpa nama’ pada novel Chuck Palahniuk yang berjudul “Fight Club”. Rachel yang punya kebiasaan menjadi seorang alkoholik mulai terdistraksi dengan adanya kasus “Megan Hipwell yang Hilang”. Bukan sebagai detektif, tapi ia punya animo rasa penasaran, sama seperti seorang pembaca yang tengah menyimak buku ini.
Dibandingkan dengan “Gone Girl”, “The Girl On The Train” punya gaya bahasa yang lebih lembut. Walau di depan sampulnya ada tersemat logo D ‘Dewasa’, namun hal tersebut hanya sebatas penyisipan beberapa adegan yang mengandung kekerasaan. Berbeda dengan “Gone Girl” yang memang terjemahannya pun terasa lebih kaku dan banyak mengandung umpatan-umpatan kasar serta perlakuan tidak senonoh yang ditunjukkan terang-terangan. “The Girl On The Train” mengundang saya untuk membaca versi aslinya. Menyangkut label Noura Books yang memang seringnya menerbitkan novel roman remaja, “The Girl On The Train” yang berbeda genre dan tingkatan umur dari biasanya malah kehilangan nyawa sebuah novel dewasa, kendati masih memiliki keseruan tersendiri pada lika-liku misteri.
“The Girl On The Train” punya alur yang menipu. Saya mati kebosanan di depan. Namun, mengaku tidak bisa berhenti membaca di pertengahan halaman. “Gone Girl” punya perkenalan yang misterius—diksi-diksi yang sadis dan mencekam; “The Girl On The Train” bertutur dengan sederhana seperti halnya sebuah rutinitas dijelaskan oleh seorang perempuan. Paula Hawkin menjelaskan nyawa sebuah novel drama bukannya misteri sehingga tidak ada kecurigaan yang terjadi di permulaan, alih-alih protes keras dari seorang wanita dewasa. “The Girl On The Train” berjalan maju mundur dengan permainan intrik jahat itu ada di pikiran tiap naratornya. Tiga perempuan yang memiliki tiga rahasia dan tiga pikiran mengenai pasangan mereka. Dengan dipetakannya tiga wanita, pembaca memang sudah diberikan klu singkat mengenai si pelaku utama. Di awal, dalam membuat sebuah novel thriller, Paula Hawkins sempat membuat saya bingung. Area kecurigaannya ditebar secara luas, terlebih ketiga narator tersebut tidak muncul dengan berpola. Kendati dengan begitu saya menjadi tahu, saya harus terus memperhatikan Rachel, yang sepertinya sedikit unik menjadi narator dan juru kunci. Tapi, dua wanita lainnya malah sukses membuat pembaca kembali memikirkan konklusi jawaban di benak mereka.
Terlebih Rachel dijelaskan begitu rapuh. Penokohannya dengan sukses terpatri dan mengundang kebencian di mata pembaca. Ia seolah dihantui perasaannya sendiri. Tidak mampu menyalahkan mantan suami, pun dicemooh karena lama-lama mendekati si suami yang tertuduh sebagai pembunuh. Tingkahnya sok ingin tahu. Tapi, kerapuhannya amat dibuat-buat dengan kebiasaannya yang terstruktur gamblang di mata pembaca sebagai perempuan gendut, alkoholik, isteri selalu membanding-bandingkan ketidakpuasan dirinya dengan orang lain.
Membandingkan Rachel Watson dengan Amy Dune. Rachel Watson dipetakan memiliki karakter yang mengikuti alur, sedangkan Amy Dune adalah karakter pembuat alur. Sehingga ketika bagian “pembukaan kartu”, pada “Gone Girl”, pembaca merasa efek tertipu; “The Girl On The Train” pembaca seperti diliputi rasa kemenangan, sama halnya kala membaca novel detektif yang diakhiri pembaca pun mampu menebak siapa dalang dari peristiwa menghilangnya Megan Hipwell tersebut.
Sebagai seseorang yang berkebangsaan Inggris, Paula Hawkins memilih latar yang sesuai dengan “The Girl On The Train”. Kesehariannya dipetakan dengan jelas. Rute tiap kereta yang ditujunya tidak sekadar menjadi sebuah latar yang statis, tapi ikut menyokong bagaimana setiap peristiwa yang mencurigakan dapat terjadi. Latar waktunya cukup menjebak. Menurut saya, “Gone Girl” punya pelabelan waktu yang cukup jelas dan singkat, berbeda dengan “The Girl On The Train” yang melabeli tiap kejadiannya dengan presisi. Tiap pagi, sore, dan malam yang selalu dijelaskan sebagai sub dari subbab. Tanggal-tanggal tersebut pun kadang sulit diingat sehingga tidak jarang saya perlu membalikkan halaman untuk mengikuti alur yang akan bergerak maju atau mundur.
“The Girl On The Train” memang mampu mencuri perhatian masyarakat lewat temanya yang mengombinasikan thriller dan kesan feminis dari para karakter utamanya. Interaksi antar tokohnya pun selalu menjadi hal yang saya tunggu-tunggu sebagai sebuah jawaban dari tiap pertanyaan. Namun, jika “Gone Girl” teramat cantik dari segi kesintingan ide dan penutupan cerita; “The Girl On The Train” mampu membuat saya duduk manis, tidak sebagaimana sebuah cerita misteri yang berlatarbelakang penyelidikan membuat saya bosan dengan pemetaan kasus yang diterka-terka dari satu sudut pandang. “The Girl On The Train” membuka secara luas pemikiran pembaca yang melibatkan tiga sudut pandang sehingga tanpa perlu disimpulkan oleh seorang detektif partekelir. Cerita malah menari-nari di benak pembaca, sehingga saya tak mampu berhenti untuk membaca.
Isu terbaru tentang “The Girl On The Train”, Emily Blunt dikatakan akan menjadi Rachel yang alkoholik itu. Yang mana Chris Evans sedang ditawari peran menjadi Tom dan Jared Letto dirumorkan menjadi Scott. Mari disimak, apakah “The Girl On The Train” akan sesukses “Gone Girl” ketika diadaptasi menjadi sebuah mahakarya seorang sutradara?
[…] dari sini dengan izin […]