Judul : Tiga Sandera Terakhir
Penulis : Brahmanto Anindito
Penerbit : Noura Books
Terbit : Cetakan pertama, Mei 2015
Tebal : 316 halaman
Rate : 4 / 5
“Semua ini sudah dimulai dari masa penjajahan Belanda. Dan penyelesaian status Papua ternyata masih berlarut-larut setelah Indonesia merdeka. Tidak selesai-selesai sampai 1961, sampai Indonesia-Belanda terlibat perang terbuka.” –Tiga Sandera Terakhir, hlm. 36
Mereka ingin merdeka. Dengan menyandera lima korban—dua warga negara Indonesia, satu warga negara Australia, dan sepasang warga negara Perancis. Semua aksi tersebut memberikan klu akan keberadaan OPM, Organisasi Papua Merdeka. OPM rela melakukan segalanya demi memperjuangkan kemerdekaan dari Papua Barat.
Sementara satu per satu korban berjatuhan, Kolonel Larung Nusa segera ditugaskan menuju Bumi Cenderawasih. TNI berharap banyak di bawah pimpinannya, OPM akan segera ditangani. Namun, sayangnya, lawan TNI kali ini tidaklah mudah. Banyak siasat yang perlu dilakukannya termasuk membentuk sebuah tim bayangan.
Setelah “Satin Merah”, akhirnya saya berkesempatan kembali membaca karya Brahmanto Anindito yang ketiga. Banyak perubahan, tentunya. Mulai dari latar, tokoh, serta konflik. Brahmanto Anindito tak lagi menggarap hal-hal yang sepele untuk dijadikan bahan tulisannya yang terkenal selalu mencekam. “Tiga Sandera Terakhir” bisa simpulkan seperti roncean adegan laga ala Hollywood. Dengan ide konflik yang sangat orisinil, pembaca Indonesia menjadi lebih berwawasan tentang konflik yang ada di Timur sana.Lewat “Tiga Sandera Terakhir”, Brahmanto Anindito tidak lagi membangun sebuah konflik dari peristiwa yang sehari-hari, seperti yang dilakukannya pada tokoh di “Satin Merah” yang serta-merta ingin jadi signifikan lantas ia menghancurkan segalanya. OPM dibangun lewat karakter yang sarat akan bumbu sejarah dan juga perang politik. Yang mana OPM pun tdak bisa dibilang sebagai kriminal kelas teri. Mereka punya alasan. Dan kalau ditilik dari persepektif yang berbeda membuat pembaca tertegun akan ketidakadilan yang selama ini mereka hadapi. Namun, lantaran “Tiga Sandera Terakhir” merupakan sebuah novel dan dalam rangka mengusung klimaks yang seru, OPM dideskripsikan mengambil langkah brutal untuk mengonfrontasi ketidakadilan dari pihak pemerintah.
Dan jika Brahmanto Anindito lupa menyelipkan unsur misteri, jelas bukan Brahmanto Anindito namanya. Sama seperti “Satin Merah”, sindikat jelas punya titik lemah. Tapi, menurut saya, penyelipan sandi pada “Tiga Sandera Terakhir” sama sekali tidak terduga. Alur ceritanya yang terlalu banyak laga, membuat pembaca tidak sempat untuk menebak kejutan-kejutan dari OPM. Termasuk dengan kasus pembunuhan dan sebuah teka-teki rumit yang melibatkan permainan olah bahasa.
Ada rasa ciut agaknya ketika mendengar konflik yang begitu rumit. Perpaduan antara manuver laga, perang politik, sekaligus pembongkaran habis-habisan sejarah negara diramu ke dalam sebuah novel setebal 300 halaman. Tapi, tidak perlu khawatir mengenai gaya bahasa. Brahmanto Anindito masih menggunakan gaya bahasa khasnya yang eksplisit dan mudah dimengerti. Seperti halnya “86” karya Okky Madasari. Dalam membaca keduanya, saya memiliki impresi yang mirip, yaitu ragu, apakah sanggup membaca karya yang bermain dalam kancah perpolitikan negara?
Namun, baik Okky Madasari, maupun Brahmanto Anindito. Hal yang saya sukai dari keduanya adalah kesederhanaan mereka dalam mengupas isi cerita. Yang rumit jadi diurai menjadi mudah dipahami. Yang seharusnya membosankan malah ditambahkan humor-humor pop. Kendati ada di beberapa bagian rasanya sedikit garing, tapi kejenuhan, yang agaknya tanpa sengaja terbangun dari beberapa pembeberan fakta, malah menjadi lumer dengan sendirinya sehingga pembaca pun dibuat betah untuk membaca lama-lama.
Brahmanto Anindito sengaja ingin membuat pembaca “Tiga Sandera Terakhir” merasakan efek film aksi alih-alih membaca buku. “Tiga Sandera Terakhir” mengingatkan saya pada film “SWAT” karya Clark Johnson dan banyak film laga lainnya. Sudut pandang bercerita di pembuka tak lagi disorotkan pada tokoh protagonis utama, alih-alih para penjahat. Banyak nama-nama yang sekonyong-konyong berdiri di belakang senjata. Meletupkan peluru. Dan menyandera orang-orang asing yang juga memiliki nama yang berbeda.
Begitu pun dengan bagian selanjutnya, yang mana banyak nama letnan, kolonel, dan sederet pangkat militer lainnya yang bermunculan. Pada bagian awal, “Tiga Sandera Terakhir” terasa ingin meliput segalanya, tidak berfokus pada satu tokoh utama. Sehingga pembaca pun diibaratkan berada pada posisi yang sama dengan TNI, yang masih bingung mencari pangkal permasalahan dari penyanderaan lima korban tersebut.
Namun, yang saya kurang sukai adalah pengabaian lubang plot yang membingungkan tersebut, yang harus segera ditinggalkan karena Brahmanto Anindito kembali menggiring pembaca kepada nama-nama lain yang sulit dihafal. Agaknya ini masalah cangkir teh masing-masing orang. Akan tetapi, bagi pembaca yang terbiasa membaca novel-novel roman atau beralur pelan dan dramatis, “Tiga Sandera Terakhir” bakal menjadi bacaan yang berat dan perlu dibaca berulang kali dengan keberadaan nama serta keterkaitan para tokoh yang diulas hanya sekelebat mata.
Di bagian pertengahan, akhirnya saya (yang selalu terbiasa untuk tidak membaca blurb di belakang buku) tahu bahwa tokoh-tokoh utama yang dimaksud adalah Larung Nusa. Dan seiring berjalannya cerita, Nusa akan ditemani oleh tim khusus, seperti halnya tokoh yang diperankan oleh Samuel L. Jackson dalam film “SWAT” dengan tim bayangannya. Penokohan yang digambarkan Brahmanto Anindito mencapai titik cerah pada posisi ini pasalnya selain sebagai bumbu humor, perbedaan suku dari tiap anggota dijelaskan secara detail. Bukan hanya secara analitik. Tetapi, dibikin sedramatis mungkin dengan percakapan-percakapan lucu di tengah operasi mereka.
Lewat tokohnya sekaligus idenya yang rumit. Dan pengemasannya yang tidak lebih dari 350 halaman, “Tiga Sandera Terakhir” jelas perlu diacungi jempol. Jarang sekali buku-buku yang menawaran adegan full-laga yang memperhatikan detail tokoh, seperti halnya buku “The Atlantis Gene” yang menawarkan ide cerita penuh dengan aksi laga, pengejaran, dan sci-fi. Namun, A. G. Riddle sendiri meminimalisir penokohan tokoh utamanya. Berbeda dengan “Tiga Sandera Terakhir” yang malah memultifungsikan penokohan sebagai obrolan titik rehat dari para tokohnya.
“Tiga Sandera Terakhir”, yang mengambil setting Papua sebagai latar tempat utama, dijelaskan secara informatif oleh penulisnya. Nama kota yang aneh-aneh menjadi sedikit dapat diingat walaupun asing di telinga. Berikut dengan detail lingkungan yang menjadi tempat penyanderaan, markas besar OPM, dan markas besar TNI. Lewat para tokoh, walaupun kepalang banyak, Brahmanto Anindito berhasil menciptakan suasana-suasana yang pas menyokong konflik utamanya. Tidak saja berdasarkan narasi. Tegang, humor, sekaligus haru bercampur menjadi satu.
“Tiga Sandera Terakhir” bukan bacaan yang bisa dianggap sepele. Kendati tidak perlu ditakuti, tiap lembarnya bakal terasa meneror pembaca untuk masuk ke dalam jalinan operasi TNI.
Nice review. Review yang lengkap.
3 Sandera bagus menurutku. Cuman terasa agak gimana gt, pas ditengah-tengah tempur. Masih sempat becandaan. Hehehe…
Terima kasih 🙂
Iya, setuju… sedikit jomplang memang saat ada humor di tengah adegan laga yang menegangkan.