Judul : Critical Eleven
Penulis : Ika Natassa
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : Cetakan pertama, Agustus 2015
Tebal : 344 halaman
Rate : 4.5 / 5
“Jakarta itu labyrinth of discontent. Dan semua orang, termasuk aku dan kamu, setiap hari berusaha untuk keluar dari labirin itu. The funny thing is, ketika kita hampir berhasil menemukan pintu keluar labirin ini tapi malah ketemu hambatan lagi, pulling us back into the labyrinth, Kita justru senang karena nggak perlu tiba di titik nyaman. It’s the hustle and bustle of this city that we live for. Comfort zone is boring, right?” –Critical Eleven, hlm. 11
Tidak perlu lama-lama pacaran, Ale melamar Anya di jok belakang mobil. Walau Anya tahu, peretemuannya dengan Ale memang tidak biasa. Hanya tipe meet-cute yang kerap terjadi di rom com. Namun, hubungan mereka sudah kepalang sempurna.
Setelah lima tahun bersama, Anya dan Ale nyatanya tidak baik-baik saja. Anya yang tadinya gemar tertawa menjadi muram dan gemar menyendiri. Di balik pilihan-pilihan yang pernah ia ambil, benaknya kembali mempertanyakan masa lalu; menduduki jok penumpang di pesawat Jakarta-Sydney.
Lantas, apakah pilihan mereka benar-benar tepat?
“Critical Eleven” bercerita tentang sebuah hubungan suami-istri yang tengah diguncang sebuah peristiwa. Peristiwa yang menyakitkan, tentunya. Sampai-sampai keduanya kembali bertanya mengenai pilihan yang pernah dulu mereka ambil. Terlebih menilik kembali perjumpaan mereka di pesawat lima tahun silam, seperti pada bocoran sinopsis. Siapa yang tidak ragu? Pertemuan mereka kepalang kebetulan. Dan dalam kurun waktu beberapa bulan, mereka langsung merasa siap untuk menjadi suami-istri. Perjalanan hidup yang mereka pikir akan berlangsung simpel, mudah, dan mulus, nyatanya, mengalami gangguan, sedikit pergeseran, masalah, dan cekcok sehingga mereka kerap menyesal. Dan bertanya, apakah keputusan untuk menikah adalah keputusan yang tepat?
Sebagaimana sebuah chicklit yang ber-setting kota besar—dengan penghuninya yang merupakan perempuan-perempuan kosmoplit dan para sosialita—“Critical Eleven” diceritakan dengan gaya bahasa yang separuh Inggris dan separuh Indonesia. Sedikit menjengkelkan, memang. Dari antara poin keren lainnya, saya anggap ini sebagai poin minus yang tidak pas dengan preferensi saya. Mungkin berbeda dengan sebagian orang. “Critical Eleven” dengan begitu mengalir. Seperti halnya seseorang menuliskan diari tentang kehidupannya, kalut akan keputusannya, dan penyangkalan di dalam hatinya. Semuanya dijelaskan dengan tutur kata yang sehari-hari. Dan pembagian sudut pandang antara Anya dan Ale. Pembagian sudut pandang ini sempat mengingatkan saya pada novel “Melbourne: Rewind” karya Winna Efendi, yang mana perempuan dijelaskan dengan “aku” dan laki-laki sebagai “gue”. Pembagian narasi tersebut terasa pas saat dibaca dan berpegaruh pada penokohan keduanya.
Tipikal chicklit pun adalah cara bercerita yang berputar-putar, tidak langsung masuk ke inti permasalahan, atau bisa juga satu permasalahan di masa sekarang dapat mengungkit-ungkit masalah dulu lantaran sekadar melihat sebuah peristiwa atau benda kesayangan. Ika Natasssa pun menerapkan hal serupa pada “Critical Eleven”, namun yang bisa dibilang unik adalah topik-topik yang ia angkat bukan masalah gosip fesyen, gosip relasi, dan sebagainya. Ika Natassa mengangkat topik yang cerdas; mengenai psikologi, cuplikan-cuplikan film, lagu, dan masih banyak lagi. Dengan begitu, baris demi baris dalam “Critical Eleven” bukan sekadar jembatan adegan yang kosongan, malah membuat pembacanya tidak hentinya mendapatkan pelajaran baru dan banyak sekali dapat dikutip menjadi petuah di kolom status sosial media.
Selain sebuah gaya bahasa yang mengalir, yang membuat betah membaca “Critical Eleven” lama-lama adalah alurnya. Jika hanya membaca beberapa lembar pertama, pembaca otomatis akan tertipu dan mengira “Critical Eleven” sebagai roman Metropop biasa. Yang berjalan maju. Bertemu cowok ganteng di sebuah acara. Bisa sedikit marahan. Tapi endingnya, bakal happily ever after. Berbeda dengan “Critical Eleven”. Ika Natassa punya jurus tersendiri dalam merangkai kepingan puzzle dari keluarga Risjad. Ia bikin pembaca jungkir balik. Karena sebagai pembaca, saya sama sekali tidak punya bayangan, penerbangan ini akan dibawa ke mana. Kadang ke masa lalu, kadang ke masa sekarang, kadang ke masa yang sedikit lalu, tapi kadang mengarah ke sebuah harapan yang disangkal. Dan dengan begitu, pembaca lagi-lagi harus awas, tidak bisa melewatkan barang satu lembar untuk sekadar mengintip dan kepengin tahu bagaimana cerita ini akan berakhir. Sayangnya, “Critical Eleven” bukan bicara soal ending yang manis, tapi sebuah proses tidak praktis dalam membina sebuah hubungan.
Ada dua tokoh yang digunakan Ika Natassa dalam “Critical Eleven”. Tanya Baskoro ‘Anya’ dan Aldebaran Risjad ‘Ale’. Mulai dari pemilihan nama. Saya suka dengan tiga huruf yang selalu berkumandang di seluruh halaman “Critical Eleven”. Ale dan Nya. Mudah diingat, praktis, dan langsung akrab berkenalan dengan mata pembaca. Walau sebagian besar ceritanya kentara kalau Anya lebih mendominasi plot “Critical Eleven”, Ale sesungguhnya punya maksud sebagai hiburan bagi pembaca wanita; suami yang luar biasa romantis dan mengerti hati perempuan. Terlepas dari itu, penokohan Ale dan Anya dibuat sangat apik. Ale dengan narasi yang serba-masuklin tapi sebagaimana seorang laki-laki ia pun suka kehabisan akal menebak isi hati istrinya. Dan Anya, seorang perempuan yang kepalang perasa dan penuh perhitungan sehingga tak jarang kalau pembaca dibuat gemas, melihat Anya yang kembali dan terus menerus menyangkal isi hatinya.
Berbicara tentang sosialita dan wanita karier, “Critical Eleven” pun menjelaskan hal tersebut lewat latarnya. Ada dua latar sesungguhnya yang menjadi setting dari kehidupan keluarga Risjad: New York dan Jakarta. New York memang tidak terlalu dijelaskan. Walaun terkesan rill dengan adanya pembeberan dari detail nama dan kultur-kulturnya, tapi Jakarta terbaca lebih nyaman dan mudah dibayangkan, berikut dengan tips-tips kuliner dan kopi di dalamnya.
“Critical Eleven” sudah pasti berada jauh di atas ekspektasi saya. Setelah bertahun-tahun enggan mencoba membaca novel karya Ika Natassa, agaknya saya perlu berdamai dengan gaya bahasanya yang menarik. “Critical Eleven” punya topik yang menarik. Simpel. Namun, bukan bacaan ringan yang mengutamakan romantisme dalam bercerita.
[…] kedua karya Ika Natassa yang berhasil saya tamatkan, jika dibandingkan dengan karya terlarisnya, “Critical Eleven”, “Divortiare” punya pokok permasalahan yang nyaris sama, yaitu tentang konflik rumah […]
[…] dalam “Antologi Rasa”, Ika Natassa mencoba mengeksplorasi karakter tiap tokohnya. Jika dalam “Critical Eleven” dan “Divortiare”, penulis mengambil sudut pandang narator dari dua tokoh utama, kali ini […]