Judul : Me Before You ‘Sebelum Mengenalmu’ (Me Before You #1)
Penulis : Jojo Moyes
Penerjemah : Tanti Lesmana
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : Cetakan pertama, Mei 2013
Tebal : 656 halaman
Rate : 5/5
“Kalau kita dilontarkan ke dalam kehidupan yang sama sekali baru—atau setidaknya didorong kuat-kuat ke dalam kehidupan orang lain, sehingga ibaratnya wajah kita menempel di jendela mereka—kita jadi terpaksa berpikir ulang tentang siapa diri kita sebenarnya. Atau seperti apa kita kelihatan di mata orang-orang lain.” –Me Before You ‘Sebelum Mengenalmu’, hlm. 104
Pekerjaan menjadi perawat pribadi mungkin tidak terlalu sulit, pikir Treena—adik perempuan Lou, sewaktu kakak perempuannya frustasi mencari pekerjaan di Bursa Tenaga Kerja. Lou tak pernah mengikuti wawancara kerja. Namun, Camilla Traynor agaknya bukan majikan yang ramah. Ia hanya perlu seseorang yang ceria untuk menjaga anak laki-laki yang mengalami quadriplegia.
Will Traynor pria yang amat murung. Setelah mengalami kecelakaan motor. Hidupnya hanya dihabiskan di atas kursi roda. Kecatatan fisiknya amat parah, pun mentalnya yang tak lagi punya semangat untuk melanjutkan hidup.
Lou bertemu Will keesokan harinya setelah Camilla Traynor setuju memperkerjakan perempuan itu untuk menjaga putranya. Perjumpaan mereka tidak mulus. Will selalu menutup diri. Bahkan tak pernah mengacuhkan keberadaannya. Namun, di balik rasa dongkolnya, Lou selalu mencoba mengerti, jika ia berada di posisi Will, pastinya ia akan bersikap sama, mengutuk segala hal untuk mengobati rasa sakit yang tak pernah kunjung reda.
Di saat Will mulai membuka diri, Lou tahu, ia tak sepatutnya mencuri dengar pembicaraan keluarga Traynor. Perutnya bergejolak mendengar keputusan Will Traynor yang melibatkan Dignitas. Kini, Lou hanya punya enam bulan untuk membujuk laki-laki itu agar tetap bersamanya.
Begitupun saya, sebagai pembaca. Walau sudah diingatkan kalau “Me Before You” mampu membuat pembacanya menitikkan air mata. Tapi, ekspektasi saya tidak pernah menyangka jika Jojo Moyes akan mengangkat tema yang sangat emosional dan berat untuk sebuah naskah cerita cinta. Di dalam “Me Before You”, saya tidak hanya menemukan sebuah cinta yang sederhana, tapi banyak pemikiran dan topik-topik mendalam yang dibahas secara aplikatif.
Lewat “Me Before You”, Jojo Moyes mengajarkan pembacanya untuk mempelajari psikologis seseorang. Karena jiwa yang bahagia tak ayal membangun fisik yang kuat. Seperti halnya pemikiran-pemikiran positif Lou selalu berhasil mengajak Will melewati fase-fase menyedihkannya, pun membawa perubahan signifikan bagi dirinya sendiri.
Sepintas cerita ini memang mirip “The Fault In Our Stars” karya John Green yang berhasil membangkitkan semangat hidup seorang penderita kanker untuk berkeliling Amsterdam. Jojo Moyes pun membawa pembacanya berkeliling ke berbagai negara. Merasakan sebuah petualangan bisa berarti cerita baru bagi orang-orang yang beranggapan bahwa kematian hanya berada di ujung jalan. Tapi, “Me Before You” yang ditujukan kepada pembaca dewasa, tentunya punya cakupan bahasan yang lebih dalam, sehingga tak heran kalau topik cinta, yang menjadi sasaran utama, ditulis dalam ketebalan buku nyaris mencapai 700 halaman.
“Me Before You” dibuka dengan sebuah prolog dan ditutup dengan sebuah epilog. Pada prolog, Jojo Moyes menggunakan sudut pandang orang ketiga yang menjelaskan kejadian kecelakaan yang terjadi pada Will. Namun, di bab pertama, penulis tak ingin berlama-lama memperkenalkan satu tokoh kepada pemirsa. Lou diperkenalkan dengan begitu cantik. Dengan penggunaan sudut pandang orang pertama dan monolognya yang cerdas. Lou selalu memulai harinya dengan sebuah kontemplasi. Mempelajari hari sebelumnya dan membuat strategi tentang apa yang harus ia lakukan dan tidak lakukan. Pertimbangan-pertimbangan tersebut selalu bisa membuat saya menarik satu garis stabilo dan mengabadikannya dalam marka kuotasi.
Pemilihan sudut pandang orang pertama yang diambil Jojo Moyes memang tepat. Lantaran Lou selalu bersikap ceria di depan semua orang. Lantas, dengan menilik ke balik kepalanya, pembaca seolah diberi bocoran khusus kalau ia tidak sepintar pujian orang, yang mana ia perlu Treena—adik perempuannya—yang selalu siap memberikan ide-ide jitu. Tapi, selain Lou, Jojo Moyes juga sempat menyelipkan sudut pandang beberapa orang terdekat Will dan Lou, sehingga di balik sikap mereka yang mungkin ketus, sok antusias, dan sebagainya, pembaca bisa ikut tahu, opini mereka terhadap keputusan Will.
Sekalipun “Me Before You” menghabiskan lebih dari 600 halaman untuk ditulis. Tapi, gaya penulisan Jojo Moyes sama sekali tidak memberatkan pembacanya. Bahkan saya bisa menggolongkan “Me Before You” sebagai buku yang bakal tamat dalam sekali duduk. Susunan kalimatnya tidak berbelit. Walau ada beberapa kali Jojo Moyes mencoba menyelipkan alegori-alegori yang bagus, tapi susunan kalimatnya tidak memusingkan pembaca. Diksinya dipilih seperti menggambarkan seorang perawat; terasa penuh kehati-hatian, sabar, dan lembut. Terjemahan Gramedia pun kali ini tidak membuat saya mengernyit. Tidak biasanya. Kalau sering kali berkarakter kaku, tapi kali ini, terjemahannya terasa pas dan mengalir.
Jojo Moyes membuka “Me Before You” dengan introduksi yang singkat. Bukan perkenalan tokoh yang menyeluruh sehingga pembacanya bosan di bab-bab awal. Alih-alih, penulis mengangsurkan konflik dan perkenalan secara bersamaan dan berjalan bersisian. Ada konflik-konflik kecil adapula konflik sesungguhnya. Jojo Moyes selalu berhasil membuat pembaca terkejut dengan keputusan-keputusan yang diambil tiap tokohnya. Tidak hanya Lou, tapi juga Will, dan ibunya, Camilla. Seolah setiap hari adalah medan perang, secara plot, pembaca diajak untuk menyimak strategi-strategi yang dipersiapkan oleh Lou dalam meluluhkan hati Will dan menyemangatinya dengan cara-cara yang unik. Dan siapa bilang kalau Jojo Moyes hanya pandai memeras air mata pembaca. Ada kejadian lucu di halaman 263, tepat ketika ia menceritakan Hari Jalan-Jalan Will yang Pertama. Jika awalnya pembaca dibawa menyelami relung-relung kelam tentang menjadi seorang yang cacat, kali itu malah kecacatan membawa humor yang berhasil menggelitik perut.
“Me Before You” nyaris membawa saya pada imajinasi-imajinasi yang dipenuhi realita. Tokoh-tokohnya dihadirkan dengan begitu hidup. Dan satu hal yang amat saya sukai dari pembangunan tokoh-tokoh ini: semuanya abu-abu. Seolah tak ada hitam dan tak ada putih, tidak seperti cerita-cerita heroik atau drama-drama remaja, yang mana sang orangtua adalah musuh bebuyutan orangtuanya atau bisa saja ada saingan dalam merebut hati seorang pria.
Keputusan Will untuk pergi di Dignitas mungkin sempat saya pandang sebagaimana halnya Jojo Moyes memandang kasus Daniel James di koran saat beberapa tahun silam, tapi sikap Will tidak bisa dibilang hitam lantaran setiap orang berhak untuk membela kehidupan sekaligus mengambil keputusan tertentu untuk hidup mereka sendiri. Dan Lou, yang selalu opitimis dan dianggap benar, bisa saja tidak selalu benar kalau kata Nathan—perawat pribadi Will. Dan Camilla Traynor (karakter kesukaan saya), yang awalnya bersikap tegas, dingin, dan selalu berpikiran buruk, punya pemikiran yang berbeda juga lewat sudut pandangnya dalam mencintai putra semata wayangnya. Kehadiran Camilla Traynor bisa dibilang yang paling nyata bagi saya. Jojo Moyes seperti memakaikan kacamata baru kepada pembaca untuk menelusuri pemikiran seorang ibu yang terlalu mencintai anak laki-lakinya.
Jojo Moyes juga menggarap setting novel “Me Before You” dengan penuh perhitungan. Ia berkata kalau ia ingin menggambarkan cinta yang datang dari dua status sosial berbeda. Oleh karena itu, Jojo Moyes memilih sebuah kota mungil sebagai tempat tinggal Lou dan London sebagai tempat bermukim Will dulu, sebelum ia mengalami kecelakaan. Hal yang klasik. Tapi, begitu perhatikan sedemikian rupa, seperti halnya kala pembaca memasuki rumah mungil milik keluarga Clark, rumah itu langsung bising minta ampun. Seperti menjelaskan kelas bawah yang suka bergunjing dan suka sekali menghabiskan waktu bersama di rumah. Berbeda dengan keluarga Traynor yang selalu sibuk bekerja. Seolah tiap anggota keluarganya jarang sekali bertegur sapa.
Membaca “Me Before You” tidak memerlukan waktu yang lama. Jika sudah mencelupkan diri ke lembar pertama, saya jamin, pembaca pasti akan tenggelam sedalam-dalamnya ke dalam cerita Lou Clark dan Will Traynor. Jojo Moyes tidak sekadar mengangkat tema cinta yang dipenuhi pemikiran-pemikiran dewasa, tapi tentang sebuah isu yang bisa dianggal legal jika ditilik dari sudut pandang berbeda.
Wah, ternyata ada juga novel yang mengungkit tentang Dignitas, ya. Jadi tertarik baca. Trims infonya 🙂
Saya juga sebelumnya beranggapan begitu; ini sekadar roman biasa. Tapi, ternyata konfilknya mengambil isu yang jarang dibicarakan novel kebanyakan.