Sudut Mati – Tsugaeda

26199820
 
 
Judul                     : Sudut Mati
Penulis                 : Tsugaeda
Penerbit              : Bentang Pustaka
Terbit                    : Cetakan pertama, September 2015
Tebal                     : 344 halaman
Rate                       : 4.5 / 5
 
 

“Biasanya orang-orang yang sudah mencapai tempat ini disibukkan dengan mengejar status dan kenyamanan hidup, tapi ibuku hanya berpesan untuk menengok ke bawah. Maksudnya, menengok tempat asalku. Terkadang tempat terbaik untuk melihat memang ketika kita ada di tempat jauh dan tinggi.”Sudut Mati, hlm. 173-174

 
 

Delapan tahun sudah Titan mengasingkan diri ke Amerika, tepat ketika Sigit Prayogo mencalonkan diri sebagai salah satu kandidat kepala negara, ia pun disambut pulang. Nama ayahnya boleh dielu-elukan, tapi tidak dengan Grup Prayogo yang tengah mengalami krisis perkepanjangan. Titok, sang kakak sulung, hanya tahu cara berfoya-foya; bermain perempuan, pergi memancing, tanpa tahu harus mengemudikan kerajaan bisnis ke arah yang benar.

Sementara Ares Inco mencanangkan strategi jahat, Titan mulai mengatur siasat untuk membalikkan keadaan. Pasalnya, serangan bukan hanya berasal dari kompetitor jahat, melainkan Titok yang tidak terima dilengserkan dari jabatan.

Keadaan menjadi semakin buruk, ketika Tiara, adik bungsunya, menikah dengan Kevin, anak dari Nando, sang tetua Ares Inco. Perempuan itu bisa saja bungkam ketika suami bengisnya menyiksa dari hari ke hari. Tapi, ketika tahu ada sosok yang mencurigakan mengikutinya, hatinya semakin gusar.

Mereka tak lagi sendiri. Ada seseorang di luar sana yang akan selalu mengintai. Seseorang dengan identitas pembunuh bayaran. Dan semua orang memanggilnya dengan sebutan “Si Dokter”, sebuah kode yang sangat menipu. Namun, tanpa tahu ia mulai memasuki hidup keluarga Prayogo.

 
 

“Saya tahu dia akan membunuh saya. Maka, saya bangkit, terhuyung-huyung mundur. Saya berteriak, lalu melarikan diri dari tempat itu. Kemudian, sampailah saya di suatu sudut mati hingga saya tak bisa melepaskan diri lagi. Sosok itu makin dekat. Saya bisa melihatnya menghampiri saya. Saya tahu akan mati sebentar lagi.”Sudut Mati, hlm. 83

 

Frasa “sudut mati” tiga kali ditulis pada novel kedua Tsugaeda, satu pada covernya yang gelap, satu pada kalimat di atas, dan satu lagi pada kata-kata Titan ketika mencoba mengonfrontasi Titok. Ketiganya punya makna yang berbeda. Tapi lewat frasa tersebut di cover-nya, saya rasa, sudah banyak pembaca “Rencana Besar” (novel pertama Tsugaeda) yang curiga: kira-kira ide gila apa lagi yang bakal dituangkan Tsugaeda dalam novel terbarunya?

Kalau dulu “Rencana Besar” secara khusus membahas kasus korupsi dalam bank UBI, kali ini, dalam “Sudut Mati”, Tsugaeda mencoba membahas sesuatu yang lebih kompleks. Konflik yang dihadapkan pada tokoh protagonisnya, Titan Prayogo, tak lagi berasal dari sisi eksternal, melainkan juga dari sisi internal, yaitu para anggota keluarga Prayogo sendiri. Belum lagi, di blurb belakangnya, calon pembaca diperhadapkan pada kode “Si Dokter”, yang mana kalimat tersebut malah membikin pertanyaan baru: siapa sesungguhnya Si Dokter yang dimaksud oleh Tsugaeda? Terakhir, isu yang mengatakan “kekasih yang dicintainya” juga membuat saya terkecoh. Mungkin di dalamnya ada unsur roman, yang dulu di “Rencana Besar” tak sempat dibahas oleh Tsugaeda?

Dalam mengupas ceritanya yang kedua, Tsugaeda membuka ceritanya secara matang. Penulis mengutarakan semuanya dari sudut pandang orang ketiga, seperti halnya seorang cameraman yang menggiring pembaca untuk mengikuti kisah dari seorang tokoh ke tokoh lainnya. Jadi bukan hanya kisah Titan saja yang bakal pembaca telusuri. Titok, Sigit, Teno, Tiara, dan siapa pun yang sempat disebut pada “Sudut Mati” akan dijelaskan berdasarkan latar belakang yang relevan. Dalam menjelaskan narasinya pun, Tsugaeda tak pernah lupa menyelipkan informasi yang  bersifat alegori. Selalu ada detail tambahan, contohnya: Titan yang dilahirkan sehari setelah Margaret Tacher terpilih lagi menjadi Perdana Menteri Inggris; Tiara yang dilahirkan kala euforia Piala Dunia 1990. Kendati pembaca tidak tahu benar mengenai kebenaran informasi tersebut, namun, setidaknya penjelasan mengenai waktu yang digambarkan Tsugaeda menjadi tepat sasaran tanpa perlu berlama-lama mendramatisir suasana yang malah berdampak pada jumlah halaman.

Saat membaca novel thriller, pastinya kasus-kasus menegangkanlah yang selalu ditunggu. Maka dari itu kalimat-kalimat yang dipilih Tsugaeda pun terasa lugas. Mirip sebuah surat kabar. Diksi yang digunakan lebih menjurus ke ruang lingkup yang profesional dan banyak mengandung beberapa kajian yang memiliki keterkaitan dengan bisnis korporasi.

Satu hal yang juga perlu disimak pembaca—dan selalu ditekankan Tsugaeda—dalam “Sudut Mati” teknik menulis yang ia gunakan bersifat character-driven. Bisa dilihat dari karakter-karakternya yang kuat, beraneka ragam, mulai dari protgonis hingga antagonis, yang mana semua karakter tersebut yang mengendalikan alur cerita. Dan yang saya tangkap dari teknik bercerita ini; pembaca dihadapkan pada banyak kejutan. Sekalipun Tsugaeda bercerita lewat sudut pandang orang ketiga yang biasanya bersifat serba-tahu, tapi karakter-karakter dalam “Sudut Mati” malah bersifat liar dan bisa saja ia melakukan hal-hal yang di luar kemungkinan. Oleh karena itu, “Sudut Mati” bisa dibilang selalu mengundang rasa penasaran saya hingga akhirnya enggan untuk berhenti membaca.

Hal itu juga didukung oleh plot yang menjebak. “Sudut Mati” dijelaskan seperti halnya hukum timbal-balik, yang mana hal yang dilakukan pada masa lalu selalu punya dampak di masa sekarang. Oleh karena itu, plotnya bergerak maju mundurm, seperti kepingan puzzle. Masing-masing karakter, yang dijelaskan pada tiap situasi, berpindah-pindah, sehingga mau tak mau pembaca harus untuk selalu menyimak alur ceritanya, karena bisa saja di  tengah kejenuhan yang sengaja ditawarkan Tsugaeda, malah muncul sebuah kode-kode dan intrik-intrik kecil yang memiliki tautan ke konflik utama.

Kehadiran tokoh Si Dokter pun menurut saya menjadi sebuah pengarah plot yang baik pada “Sudut Mati”. Tsugaeda tidak hanya ingin menebar isu perang antar-korporasi. Ada sedikit bumbu teka-teki yang penulis tawarkan dari sosok Si Dokter sendiri. Namun, pengungkapan Si Dokter adalah  salah satu karakter tipuan yang sangat mulus ketika diungkap. Banyak novel-novel thriller Indonesia lain yang mencoba bermain di liga yang sama, menawarkan bumbu misteri, alih-alih, tidak sabaran dan membuat anti-klimaks menjadi jomplang.

Kendati Si Dokter sudah bisa dicurigai identitasnya di kala pertengahan. Tsugaeda bisa dibilang penulis yang sabar. Klu-klu tentang identitasnya adalah yang mulus yang pernah saya baca. Tidak terburu-buru. Penulisnya menyelipkannya tanpa diketahui secara mencolok oleh pembaca. Mungkin lantaran tertimbun oleh banyaknya masalah yang dihadapi oleh Titan Prayogo, tapi siapa sangka kalau hal mengejutkan sesungguhnya datang dari perihal yang dianggap sepele.

Berbicara soal tokoh, “Sudut Mati” bisa dibilang punya banyak tokoh. Walaupun berfokus pada Titan Prayogo sebagai protagonisnya, namun Tsugaeda juga tidak menyepelekan tokoh antagonisnya. Teno Prayogo, anak kedua dari Sigit Prayogo, tentunya. Terlepas dari Si Dokter yang misterius. Teno bisa dibilang punya penggambaran yang paling eksentrik ketimbang saudara-saudara yang lain. Dan terlihat juga, kalau Tsugaeda paling menikmati kala membeberkan narasi tentang Teno yang sedikit unik ini. Ada satu bab yang diperuntukan untuk Teno. Dan saya bilang, itu bab yang paling menarik daripada semua bab introduksi lainnya. Gaya berceritanya sungguh cepat. Keunikan-unikan Teno langsung disebutkan dengan perpindahan latar tempat dan waktu yang signifikan, berikut dengan kasus-kasus sinting yang disulutnya ke tengah masyarakat.

 

“Aku mempelajari masyarakat supaya bisa menghindarinya.”Sudut Mati, hlm. 134

 

Karakter Teno bisa menjadi sebuah akar pertanyaan. Tapi, dengan tidak terjawabnya pertanyaan tersebut; mengapa ia bisa menjadi sesinting itu? Apa yang membuatnya memiliki motivasi pelik? Sementara para saudaranya berperang demi hal yang konkret. Hal itu yang membuat Teno menjadi daya tarik sendiri, seperti sebuah misteri yang menambah keseruan buku ini.Secara keseluruhan, “Sudut Mati” berhasil membuat saya memungkiri diri. Dari yang awalnya ingin membaca perlahan, penuturan babnya yang singkat malah membuat saya harus membaca cepat. Jika merasa tertantang untuk membaca sebuah genre thriller lokal, “Sudut Mati” jelas bisa menjadi prefrensi utama. Dibuat dengan kalimat yang lugas, tapi menawarkan hal yang relevan.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s