Judul : Antologi Rasa
Penulis : Ika Natassa
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : Cetakan pertama, Agustus 2011
Tebal : 344 halaman
Rate : 3 / 5
“I still have Ruly colonializing my mind, and now I have Harris’ handprints all over my body.” –Antologi Rasa, hlm. 86
Membuat Keara tertawa lepas adalah kebahagiaan tersendiri bagi Harris Risjad. Sekalipun cewek itu punya cowok lain di hatinya. Pertemuan keempatnya dimulai dari beberapa tahun silam, bekerja dalam satu gedung; berbeda divisi. Ruly, Harris, Keara, dan Denise menjadi dekat satu sama lain.
Tapi siapa yang tahu, kalau diam-diam di antara mereka malah ada yang saling lempar perasaan. Harris yang diam-diam ingin membahagiakan sahabatnya sendiri, lebih dari seorang sahabat. Dan Keara yang ingin keluar dari senarai cowok berengsek yang pernah menjadi kekasihnya. Ruly memang bukan tipe Keara. Tapi, Keara ingin mencari cowok baik-baik sekarang. Bukan menjadi party animal seperti sebelum-sebelumnya.
Harris tahu benar ke mana Keara akan melangkah—bukan ke arahnya, pastinya. Ia berusaha menghibur perempuan itu dalam sebuah trip ke Singapura. Namun, dalam keadaan mabuk, Keara malah tanpa sadar merayu orang yang salah.
Dengan mengangkat tema yang lebih sederhana ketimbang novel-novel sebelumnya. Konflik friend zone dan cinta segiempat yang bergunjing dalam “Antologi Rasa” bisa dikategorikan klise, tapi bukan berarti tidak asyik untuk disimak lho. Ika Natassa selalu punya trik tersendiri dalam mengemas eksekusi yang menarik lewat para tokohnya. Khususnya seorang Keara, tokoh perempuan yang punya misi mirip dengan tokoh Serena van der Woodsen dalam seri chicklit Gossip Girl (Cecily von Ziegesar, 2002) yang mana ia ingin keluar dari zona nyamannya sebagai party animal menjadi seorang perempuan yang memiliki pasangan orang baik-baik.
Jungkir-balik usaha Keara memang dianggap gila oleh teman-teman di sekelilingnya, apalagi Ruly, yang menjadi target operasi Keara. Tapi, di akhir cerita, ada moral yang amat saya sukai dari cerita “Antalogi Rasa” sendiri seperti yang sengaja dikutip Ika Natassa dari David Foster Wallace pada quotes:
“Awareness of what is so real and essential, so hidden in plain sight all aorund us, that we have to keep reminding ourselves over and over.” –Antologi Rasa, hlm. 330
Keunggulan cerita-cerita Ika Natassa selalu terletak pada gaya berceritanya, seperti halnya pada “Antalogi Rasa”, Ika Natassa menyelipkan animo seorang muda pada narasinya. Tulisan-tulisan Ika Natassa selalu terasa menggebu-gebu, cepat, dan penuh kontradiksi antara benak sang tokoh dan deskripsi gerak. Hanya saja, kadang animo tersebut malah berujung pada kesan pengulangan sebuah topik dan penguluran pada bagian intorduksi. Terlepas dari itu, dalam “Antologi Rasa”, Ika Natassa mencoba mengeksplorasi karakter tiap tokohnya. Jika dalam “Critical Eleven” dan “Divortiare”, penulis mengambil sudut pandang narator dari dua tokoh utama, kali ini narasi Ika Natassa terbagi menjadi empat tokoh yang berbeda-beda karakter. Ada Harris yang seorang player, Ruly seorang cowok baik-baik, Panji yang juga gemar berpesta, dan satu lagi Keara, cewek yang super easy-going dan mencoba memperbaiki hidupnya.
Ika Natassa berhasil memainkan peran tiap tokohnya dengan begitu baik. Masih dengan gaya bahasa yang luwes dan terkesan gaul, tiap karakternya bisa dipertahankan dengan penokohan yang detail lewat sikap, kebiasaan, dan dialog. Mungkin sedikit kekurangan untuk “Antalogi Rasa” adalah rasa ‘santai’ yang berlebihan, sehingga pada bagian dialog yang mengalir tersebut banyak terselip kata-kata singkatan gaul, seperti: ‘markipul’ (mari kita pulang), dsb. yang tidak dijabarkan pada bagian catatan kaki dan terasa asing bagi sebagian pembaca awal.
Secara alur, “Antalogi Rasa” bisa saya kategorikan agak mengecewakan dibanding dengan “Divortiare” dan “Critical Eleven”. Ika Natassa menyusun satu per satu karakter, intorduksi, dan konflik tokohnya dengan begitu baik di awal. Klimaksnya pun diramu dengan sebuah basis konflik yang luar biasa rumit lantaran perasaan empat tokohnya teraduk menjadi satu. Namun, di bagian akhir, menuju tahap penyelesaian, untaian benang yang kusut tadi malah tidak dipilah secara sabar, sebagaimana penulis mengacaknya menjadi sebuah konflik. Pembaca diperhadapkan pada sebuah penyelesaian yang cukup manis tapi ‘melompat’. Tidak seperti “Divortiare” dan “Critical Eleven” yang walaupun terasa mengantung, tapi malah menjadi sebuah pertanyaan tersendiri bagi para pembacanya.
Beranjak ke segi penokohan, seperti yang saya ungkap dalam gaya kepenulisan, “Antalogi Rasa” punya gaya penokohan terkuat jika dibanding novel-novel karya Ika Natassa yang pernah saya baca. Sebagai seorang penulis, Ika Natassa tidak hanya menjadikan tokoh pada novelnya sebagai sebuah tokoh imajiner, alih-alih, memperlakukannya sebagai seorang yang pada kesehariannya. Tidak hanya rutinitas, mulai dari hobi, musik kesukaan, semuanya dijelaskan tidak sebagai tempelan, tapi menjadi sebuah landasan yang menjadi kesatuan pada setiap tokohnya.
Seperti halnya Harris, tokoh kesukaan saya sejauh ini, mungkin tidak sesempurna dan sedewasa Ale dalam “Critical Eleven”, tapi tokoh Harris terbukti tidak hanya mampu mengundang tawa Keara, tapi saya sering umpatan dalam kepalanya memang kelewat kocak. Seperti halnya sedang berbincang dengan tempat di sebuah kafe, kira-kira seperti itulah Harris akan membicarakan kehebatan, ketakaburan, dan misinya dalam mengejar cinta Keara.
Penyampaian tokohnya pun didukung dengan penggambaran setting yang baik. Kalau dalam “Divortiare” Jakarta sempat mendominasi setting cerita, dalam “Antalogi Rasa”, Singapura dan Bali menjadi alternatif setting yang cukup penting bagi perjalanan kisah Harris dan Keara. Singapura tidak hanya dijelaskan sebagai sebuah negara yang sekadar menjadi latar tempat, tapi Ika Natassa pun ikut mengorek-ngorek event yang sedang hype di masa itu, di negara tersebut, sehingga menjadi sebuah latar belakang yang menarik untuk membangun penokohan para tokohnya.
Secara keseluruhan, “Antalogi Rasa” bisa dibilang cukup menghibur. Bagi pembaca young-adult yang masih kental dengan masalah persahabatan, cerita semacam ini akan terasa lebih ramah menyapa para pembaca ketimbang topik masalah pernikahan dan perceraian yang dibahas Ika Natassa dalam “Divortiare”. Terlebih dengan deretan tokoh dan dialog-dialognya yang luar biasa kocak, “Antalogi Rasa” akan menjadi sebuah prefrensi bacaan yang pas.