Judul : Magi Perempuan dan Malam Kunang-Kunang
Penulis : Guntur Alam
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : Cetakan pertama, Agustus 2015
Tebal : 176 halaman
Rate : 4 / 5
“Jangan jatuh tertidur, Bujang! Bulan pucat tengah penuh. Mengembang di kelam raya. Bila kau pantang, kau akan bangun esok paginya dengan dunia pekat selama-lamanya!” –Magi Perempuan dan Malam Kunang-kunang, hlm. 19
Kursi itu bukan sembarang kursi yang dionggok di sisi gelap rumah. Kursi itu warisan ibu. Dan ia meminta dirimu untuk menjaganya yang mana konon dalam kursi itulah ayah raib dan menjelma menjadi kutu. Terendus sedikit sinting, tapi ibu percaya, kelak ayah akan kembali dari negeri kutu dan hidup bahagia menjadi seorang manusia bersama dirinya.
Bicara soal perempuan tak harus berbicara soal seks dan hal-hal yang terhidu sebagai candaan sensual. Relikui demi relikui teranyam begitu rumt dalam benak mereka, sampai-sampai seseorang perlu memilahnya menjadi untaian kisah.
- Peri Kunang-kunang
- Tem Ketetem
- Malam Hujan Bulan Desember
- Maria Berdarah
- Gadis Buruk Rupa dalam Cermin
- Tamu Ketiga Lord Byron
- Dongeng Nostradamus
- Boneka Air Mata Hantu
- Tentang Sebatang Pohon yang Tumbuh di Dadaku
- Dongeng Emak
- Almah Melahirkan Nabi
- Kastil Walpole
- Hari Tenggelamnya Van der Decken
- Sepasang Kutu, Kursi Rotan, dan Kenangan yang Tumbuh di Atasnya
- Lola
- Kotak Southcott
- Kematian Heartfield
- Tiga Penghuni dalam Kepalaku
- Hantu Seriman
- Anak Pintaan
- Lima Orang di Meja Makan
ma·gi n sesuatu atau cara tertentu yg diyakini dapat menimbulkan kekuatan gaib dan dapat menguasai alam sekitar, termasuk alam pikiran dan tingkah laku manusia;
Ada satu benang merah di antara kisah-kisah tersebut, yaitu perempuan. Di tiap kisah yang diceritakan Guntur Alam, selalu tak lupa sosok perempuan. Perempuan di dalamnya selalu memegang kunci rahasia, walau ia berparas menarik, sekalipun buruk rupa, tapi lantaran ini cerita magi tentang mereka. Sosok perempuan selalu diceritakan punya rahasia gelap tersendiri yang mereka sembunyikan daripada orang-orang.
Dari kesamaan tema tersebut, tidak heran pula kalau ada beberapa kisah di antara dua puluh satu cerita yang disajikan Guntur Alam dalam “Magi Perempuan dan Malam Kunang-Kunang”, agak mengalami beberapa titik jenuh. Yang mana pembaca seolah disuguhkan pada tiga pola gaya bercerita yang sama dan direpetisi beberapa kali, hanya berbeda dari obyek utama yang menjadi sumber dari sebuah mitos dapat tercipta.
Secara gaya bercerita, saya menangkap ada empat pola cerita yang kontras dan berulang di beberapa kisah-kisah bikinan Guntur Alam. Seperti halnya ia membuka sebuah cerita dengan sebuah tajuk “magi”. Guntur Alam mengajak pembaca menuju kampung halamannya terdahulu, Tanah Abang. Bukan Tanah Abang pusat grosir, tentunya. Alih-alih, sebuah daerah di Sumatera Selatan. Lewat kisahnya yang berjudul “Malam Kunang-Kunang”. Relik dari kampung yang sarat dengan budaya Melayu langsung terendus dari latar suasananya. Bagaimana suasana para laki-laki muda di kampung yang berlarian menanggapi teror dari kunang-kunang yang berasal dari sebuah limas.
“Dan tahukah kalian kunang-kunang itu lahir dari apa?”
“Kuku orang mati.”
–Magi Perempuan dan Malam Kunang-Kunang, hlm. 11-12
“Magi Perempuan dan Malam Kunang-Kunang” tak melulu bicara soal mitos dan magi-magi sejenis. Guntur Alam cukup eksploratif dengan permainan gaya bahasanya yang mendayu-dayu, seperti halnya ia mampu melakukan sensor terhadap sebuah adegan sensual dengan rangkaian metafora yang sedemikian indahnya.
“Malam ketika ayah membunuh ibu, hujan turun dengan deras. Tak ada yang mendengar jeritan ibu. Gemuruh hujan menenggelamkannya.” –Magi Perempuan dan Malam Kunang-Kunang, hlm. 26
Beranjak dari gaya metafora, banyak pula cerita-cerita dalam “Magi Perempuan dan Malam Kunang-Kunang” yang menyajikan latar layaknya cerita klasik terjemahan. Seperti pada kisah “Gadis Buruk Rupa Dalam Cermin”, yang merupakan perpanjangan dan pemutarbalikkan kisah klasik Putri Salju. Dan juga “Tamu Ketiga Lord Byron”, yang menceritakan tentang pertemuan tiga penulis hebat di suatu malam. Jika malam itu Marry Shelley berhasil mengarang cerita terhebat sepanjang masa, Frankenstein. Tapi, siapa yang tahu, kalau ternyata ada tamu ketiga yang menjadi informan si penulis, yang tak ayal melihat hal gaib di dalam kastil Lord Byron.
Guntur Alam memiliki kecenderungan memilih orang lain yang ikut terlibat dalam alur cerita, dan memakai sudut pandang “akuan”, sehingga secara tidak langsung penulis menjadi terlibat sebagai media terakhir untuk menjelaskan peristiwa tersebut kepada pembaca.
Secara keseluruhan, gaya menulisnya terbilang rapi dan terkesan sastra. Tapi, menyelarasan diksinya diatur dengan rapi, sehingga tidak di semua tempat pembaca akan menemukan kalimat sulit. Seperti pola bercerita yang sebelumnya saya jabarkan, jika bergaya Melayu, Guntur Alam bolehlah bercakap dengan gaya sastra sedikit Melayu. Sedang dengan gaya bermetaforanya, kalimat dan majasnya boleh bermain, tapi tidak diksinya yang dibikin memberatkan pembaca. Berbeda dengan diksi terjemahan yang dipilihnya. Cerita-cerita bergaya terjemahan yang penulis buat lebih bersifat sebagai paragraf eksposisi, seperti media kedua supaya pembaca tahu tentang cerita terdahulu.
Namun, dari perbedaan pola tersebut, Guntur Alam memiliki kecenderungan menutup ceritanya dengan teka-teki dan metafora. Bagi sebagian pembaca, pastinya tidak akan puas, terlebih plot twist yang diangsurkan penulis seringnya kepalang terhimpit jumlah halaman yang sedikit, tapi bagi terkadang saya malah lebih menyukai gaya penutupnya yang berbau metafora itu, yang mana terasa meninggalkan kesan tersendiri dan pertanyaan di benak pembaca, sehingga sebagai pembaca, saya pun tak langsung lupa dengan cerita yang ditulis oleh Guntur Alam.
Dan kalau ditanya, yang manakah cerpen kesukaan saya? Yang pasti, belum sempat saya sebutkan di atas. Mungkin menjelang ke halaman belakang, hati saya terjerat ide dan pola bercerita ganjil milik Guntur Alam dalam “Tiga Penghuni Dalam Kepalaku”.
“Tak ada yang tahu, ada tiga penghuni di dalam kepalaku. Andai aku menceritakannya pada orang-orang, mereka pun tak akan percaya. Mereka pasti menduga aku gila, tapi itulah kenyataannya.” –Magi Perempuan dan Malam Kunang-Kunang, hlm. 140
Perasaan demikian pun saya rasakan ketika membaca cerpen bertajuk: “Sepasang Kutu, Kursi Rotan, dan Kenangan yang Tumbuh di Atasnya”. Judulnya memang panjang. Dan jumlah halamannya pun demikian. Selentingan tentang cerpen ini mungkin bisa ditilik di balik halaman belakang buku. Jelmaan seekor kutu mengingatkan saya tentang cerita “Rico de Corro” dalam antalogi cerpen Dee Lestari (Filosofi Kopi, 2007), tapi digarap dengan lebih gelap. Dan lagi-lagi mengandung mitos. Tokohnya pun sesungguhnya sempat membuat saya bingung, apakah “kamu” yang terlibat di dalamnya benar-benar sosok seorang gadis atau malah makhluk jadi-jadian? Melihat di sekelilingnya sepasang kursi rotan pun dalam bertukar cakap.
“Sepasang Kutu, Kursi Rotan, dan Kenangan yang Tumbuh di Atasnya” dapat dianggap cukup membekas. Relevansi konfliknya memang agak sedikit mengada-ngada, tapi siapa sangka kalau orang awam pun bisa dibikin percaya.
Melihat keseluruhan, alur yang diusung Guntur Alam dalam “Magi Perempuan dan Malam Kunang-Kunang” rata-rata memiliki alur yang cepat dan ingin lekas-lekas disudahi. Akan tetapi ada beberapa cerita, contohnya: “Lola” yang mana terasa sekali penulisnya ingin mengejar sebuah plot twist di akhir. Hingga malah terasa memaksa alih-alih ending macam itu malah mudah dilupakan.
Secara latar, Guntur Alam adalah penulis yang inspiratif dan berani. Bukan berarti dibuka dengan sesuatu yang berbau mitos lantas cerita akan bergerak di situ-situ saja. Penggiringannya ke masa lalu, menuju cerita-cerita klasik, lantas menuju metafora yang mengaitkan dengan kejadian di masa sekarang, berhasil membuat pembaca terkejut. Lewat sisi ekstrinsiknya pun, Guntur Alam tak melulu membahas tentang mitos dan mengesampingkan agama, alih-alih, beberapa cerpen dilandasi dengan beberapa fakta agama yang informatif. Pembaca tidak sekadar disuguhkan cerita sebagai media hiburan, tapi menambah wawasan yang sering kali dianggap tabu dan dikucilkan oleh masyarakat setempat.
Nilai keseluruhan, “Magi Perempuan dan Malam Kunang-Kunang” bukan bacaan yang bisa dianggap serius. Kalau suka dengan sesuatu yang berbau logika dan relevansi, pastinya bacaan satu ini dianggap mengada-ngada. Dengan latarnya yang gelap dan sedikit-sedikit mengadalkan alasan yang berbau magis. Tapi, bagi yang menyukai hal berbau mistis dengan sentuhan hawa horror ringan, “Magi Perempuan dan Malam Kunang-Kunang” bakal menjadi buku kumpulan fiksi yang menantang.