Judul : The Walled City ‘Kota di Balik Tembok’
Penulis : Ryan Graudin
Penerjemah : Harisa Permata Sari
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : Cetakan pertama, November 2015
Tebal : 488 halaman
Rate : 4/5
“Kupejamkan mata, berusaha tidak melihat gadis boneka-rusak yang tergeletak di lantai. Berusaha tidak mengingat kalimat yang dulu dicuapkan sang master di tengah malam. Kalimat itu menembus waktu, mengikatku seperti tambang. Tak ada jalan keluar.” –The Walled City ‘Kota di Balik Tembok’, hlm. 30
Tawarannya mudah, Dai memerlukan bantuan Jin sebagai seorang kurir narkotika. Memasuki salah satu rumah bordil terbesar di Hak Nam Walled City dan mengantarkan paket rahasia itu kepada Longwai.
Longwai bukan pengelola rumah bordil pada umumnya. Koneksinya yang besar dan kekejiannya sudah tersohor ke penjuru Hak Nam, bahkan Seng Ngoi. Namun, kehidupan Jin yang keras membuatnya mengambil tawaran berbahaya itu. Jin sudah lama penasaran dengan rumah bordil Longwai sebagai alasan mencari saudara perempuannya yang telah dijual oleh ayah mereka.
Dengan menyamar sebagai laki-laki, Jin pun membuat kesepakatan dengan Dai. Namun, siapa sangka jika pekerjaan rendahan sebagai kurir narkotika malah menggiringnya kepada persoalan yang lebih besar. Masalahnya bukan lagi membantu Dai mencari jalan keluar, tetapi mempertanyakan siapa Dai yang sesungguhnya dan apa yang ia inginkan dengan buku neraca Longwai?
“Walled City tidak luas—hanya sebesar tiga atau empat sawah kami—tapi mengimbangi kekurangan itu dengan tingginya. Gubuk-gubuknya bertumpuk bagaikan batu bata berantakan, sangat tinggi hingga menghalangi cahaya matahari. Jalanan yang biasanya dipenuhi cahaya matahari dan udara segar hanyalah lorong-lorong sempit yang dipenuhi kabel. Terkadang aku merasa seperti semut pekerja, berlarian di terowongan gelap dan berliku yang mengular tanpa ujung.” – The Walled City ‘Kota di Balik Tembok’, hlm. 34
“The Walled City” memang dikategorikan sebagai cerita fantasi distopia melalui latarnya yang gelap, kumuh, dan terjajah. Tapi, secara garis besar ide ceritanya, saya pribadi lewat senang mengategorikan “The Walled City” sebagai cerita aksi laga. Seperti film-film Hong Kong dengan aktor tersohor dulu. Tokoh hero/heroinnya sudah gamblang dan tinggal ditambahkan sedikit bumbu berlabel buronan dan pecuri ulung. Walaupun ada kesan distopia, namun pemerintah yang menjajah itu sendiri hanya terbersit sedikit pada diri penguasa rumah bordil bernama Longwai. Longwai sebagai seorang penguasa, memiliki banyak koneksi seperti pejabat-pejabat besar dan sebagai penyokong kehidupannya, ia pun ‘memelihara’ beberapa gadis tunasusila di dalam rumah bordilnya.
Berlatar sebuah dunia fiksi, tetapi Ryan Graudin seperti membersitkan setiap kejadian yang nyata, tidak mengada-ngada, seperti halnya ia menjelaskan perlakuan yang didapatkan oleh setiap penghuni rumah bordil. Bukan sebuah perlakuan yang melibatkan seks tapi juga ancaman berbau narkotika, yang mau tak mau memaksa para penghuninya untuk tunduk kepada perintah Longwai.
Dengan fondasi dan riset yang begitu kuat tentang Hak Nam dan kejahatan Longwai, inti cerita yang ingin diusung oleh Ryan Graudin sesungguhnya tidak rumit. Sebagai mana hero/heroin sudah terungkap sedari awal, cerita selanjutnya adalah usaha keduanya dalam menggulingkan pemerintah yang tiran, yaitu Longwai. Tapi keunikan “The Walled City” sesungguhnya terletak pada kehebatan Ryan Graudin dalam bertutur kata dan memutarkan alur yang lurus menjadi sebuah rangkaian cerita yang kocar-kacir.
Pemanfaatan tiga sudut pandang yang berbeda dari tokoh bernama Dai, Jin, dan Mei Yee mampu membuat pembaca goyah dan mempertanyakan maksud dari alur “The Walled City”. Seperti hal penulis memetakan pemikiran tiga tokoh di sinopsis sampul belakang buku, Ryan Graudin serta-merta mematok premis di benak pembaca dengan sesuatu tidak berkaitan dan berkebalikan dengan alur cerita.
Dai dijelaskan sebagai seorang kurir narkotika (tanpa sebab-akibat yang dijelaskan sebelumnya), Jin seorang pencuri, dan Mei Yee adalah seorang pelacur. Satu benang merah yang mengaitkan ketiganya: mereka ingin keluar dari Hak Nam Walled City. Pola bercerita tersebut mengingatkan saya pada serial mini HBO, “True Detective”; tiga orang yang tidak berhubungan berusaha memecahkan sebuah kasus, sampai akhirnya cerita tersebut bergulir, dan penulis sedikit demi sedikit membocorkan relasi di antara ketiganya. Pembaca mau tidak mau dituntut untuk sabar dan selalu dibuat penasaran dengan apa yang akan terjadi di antara ketiga tokoh utamanya.
Secara gaya bercerita, tulisan Ryan Graudin dapat dianalogikan seperti kepingan puzzle. Di antara narasinya mengenai keadaan, suasana, dan emosi para tokohnya yang bersifat ‘akuan’, penulis tak ayal memenggal kalimat-kalimat panjang menjadi frasa-frasa pendek. Sedikit terlihat kaku, tapi memberikan kesan misterius, cepat, sekaligus memiliki kesan seperti prosa dan mampu menyensor beberapa adegan yang terjadi di rumah bordil. Namun demikian, diksi yang digunakan (khususnya untuk kasus terjemahan) tidaklah sulit dimengerti. Menyikapi banyak adegan yang berupa manuver laga, pemilihan diksi pada rangkaian katanya dibuat mudah.
Menjelang klimaks, Ryan Graudin memanfaatkan tiga sudut pandang yang diusungnya sedari awal secara maksimal. Pembaca seperti diperhadapkan pada skrip sebuah film—bukannya sebuah buku—yang mana tiap sudut pandangnya cepat sekali berubah dengan perubahan banyak emosi yang mampu menenggelamkan perasaan pembaca.
Alur pun menjadi cepat dan terus bergerak maju. Ada beberapa adegan napak tilas yang coba diulas oleh penulis sebagai latar belakang yang menjadi relasi ketiga tokohnya. Dan yang saya sukai adalah penjabaran napak tilas tersebut dilakukan secara profesional; tidak mengganggu alur yang memang dibuat sebagai alur maju.
Dan sebagaimana cerita terjemahan digawangi, pembaca kerap kali mengeluh mengenai bagian introduksi di awal yang panjang, bertele-tele, seolah ingin memfokuskan seluruh perhatian kepada sebuah setting. “The Walled City” memang memiliki setting yang cukup rumit disertai deskripsi lengkap mengenai pekerjaan tiap tokohnya, kejahatan yang terjadi di dalamnya, dan bagaimana keadaan tiap lorongnya yang kumuh. Alih-alih, ingin memfokuskan diri sepenuhnya pada latar yang sulit dipahami, Ryan Graudin mampu menyelipkan informasi-informasi mengenai setting-nya secara dramatis dan terlibat di antara deskripsi gerak para tokohnya. Pembaca seperti dituntun untuk melakukan tur keliling sembari menonton film dan menyimak permasalahan ceritanya.
Mendukung setting-nya yang kental dengan nuansa Kanton, begitupun nama-nama yang dipilih oleh Ryan Graudin sebagai ketiga naratornya. Ada Dai, Jin, dan Mei Yee. Nama-nama yang khas Kanton yang diperpendek, mengingat banyaknya tokoh-tokoh figuran yang selalu diberi nama dan julukan. Ada kalanya saya pun bingung, mengingat setiap nama di dalam “The Walled City”.
Mengenai pemilihan nama, ada sedikit banyak “The Walled City” melibatkan unsur Jepang di dalamnya. Ryan Graudin sendiri sempat bertutur mengenai keterlibatan pemerintahan Jepang yang menjajah wilayah Hong Kong selama Perang Dunia II. Seperti halnya nama Duta Besar Osamu, Mama-san, dan banyak lagi sehingga saya pun sempa berpikir kalau “The Walled City” ini termasuk ke dalam kategori fiksi-historikal. Terlebih keberadaan rumah bordil di dalamnya ada sedikit kemiripan dengan latar belakang novel Arthur Golden, “Memoirs of a Geisha”.
Dengan mempertononkan banyak adengan berlari, kriminal, dan silih tembak di dalamnya, “The Walled City” dituliskan dengan penggambaran setting yang luar biasa hebat. Pembaca seolah-olah ditarik kepada sebuah dunia yang selalu becek, basah, dan gelap. Yang mana terasa sudah seperti apakah Hak Nam Walled City itu. Detail-detailnya pun tidak dilupakan oleh penulis. Kentara sekali Ryan Graudin melakukan riset besar-besaran dalam mengungkap jati diri Walled City yang selama ini tersembunyi ke mata dunia. Mulai dari makanan, kultur, dan pekerjaan, walaupun penulis bukan orang berkebangsaan Kanton, tapi penjelasannya mengenai kebiasaan warga di Hak Nam Walled City kurang lebih dapat menjelaskan kemisikan yang melanda negara tersebut di era 1980-an.
Secara keseluruhan, membaca intrik Dai dalam menungkap kejahatan Longwai seperti membawa saya kepada latar Chungking Express yang digarap oleh Wong Kar-Wai di tahun 90-an dulu. Hong Kong merupakan latar unik yang jarang sekali saya jumpai pada novel-novel populer, apalagi yang berbau fantasi-distopia. Ryan Graudin berhasil membawa sebuah hawa baru pada setting tempat fantasi dengan sebuah ide yang mudah dicerna oleh pembaca remaja.
Siapa bilang buku dengan kadar roman sedikit tidak bisa membuat keranjingan?