Judul : Somewhere Only We Know
Penulis : Alexander Thian
Penerbit : Gagasmedia
Terbit : Cetakan pertama, September 2015
Tebal : 338 halaman
Rate : 3.5 / 5
“Mungkin. Mungkin cinta itu seperti mi goreng. Nggak bagus buat kesehatan, tapi kamu terus makan karena enak. You just can’t help it.” –Somewhere Only We Know, hlm. 109
Ririn bisa saja dikatakan putus harapan. Sampai ia menemukan sosok Silver Shadow yang menawan lewat sebuah blog. Dalam benaknya, Silver Shadow adalah pria nerd yang pintar mendongeng, namun lantaran dongeng-dongeng itulah akhirnya Ririn terinpsirasi untuk mengejar sosoknya di Pulau Dewata.
Ririn sengaja tidak membicarakan ide gilanya kepada Kenzo, demikian dengan sang adik yang kembali melarikan diri ke Viet Nam. Duduk menikmati pemandangan di pinggir Danau Hoan Kiem. Pikirannya sudah terlanjur kalut selama bertahun-tahun. Mencoba melupakan hubungannya dengan Bayu, Kenzo tak sengaja disapa oleh Hava, seseorang yang iseng ditemuinya lewat jendela chatting mIRC. Hava dengan ID yang mengundang rasa tanya, rupanya tertarik dengan Kenzo dan mengajaknya berkenalan via email.
Surel demi surel mungkin terjawab. Tapi, rasa penasaran itu tak kunjung terjawab, kendati keduanya hendak bertemu, selalu saja ada yang mengingkar. Sementara Ririn terkejut mendapati sosok Silver Shadow yang ditemuinya di Nusa Lembongan, Kenzo masih saja berangan mengenai perawakan seorang Hava yang sulit ia lupakan.
Menurut judulnya, “Somewhere Only We Know” dapat diparafrasakan dengan judul lagu terkenal milik band Keane, tapi toh dalamnya tak ada sangkutpautnya dengan cerita lagu satu itu. Dan kalau dibilang buku yang buruk (menurut sebagian orang), saya kira, tidak juga. Saya menyukai gaya bercerita Alexander Thian, walau mungkin bagi sebagian orang, kalimat ceplas-ceplosnya cukup mengganggu, tapi secara esensi tema ceritanya, ini cerita cinta biasa yang mencoba untuk mengingatkan banyak orang mengenai falsafah cinta yang seringnya dilupakan.
Mudah dicerna, dinikmati, dan bahkan bagi yang gemar cerita cinta tulen yang bittersweet, nyaris tujuh puluh lima persen cerita di dalamnya mengandung adegan-adegan fluff tersebut. Bukan adegan menye-menye, pastinya. Tapi, cukup untuk dikomentari dengan celetukan ‘so sweet’. Singkat kata, lewat “Somewhere Only We Know”, Alexander Thian mengundang pembaca untuk menyimak dua cerita cinta. Yang berbalut dengan kesan keluarga, keseruan adik-kakak yang tidak ada habis-habisnya berkilah dan menutupi diri. Dan mengenai “cinta” yang dimaksud di antara keduanya, cinta adalah sesuatu yang punya rasa manis dan pahit tersendiri. Seperti halnya ketika cinta itu pergi lantas kembali dan membutuhkan kesabaran untuk menghadapinya.
Sisi menarik dan unik dari “Somewhere Only We Know” sesungguhnya ada pada karakter Kenzo. Yang mana, Alexander Thian mengangkat tema percintaan LGBT lewat karakter seorang Kenzo yang masih tabu diangkat sebagai tema novel roman domestik. Tapi, LGBT yang dibahas dalam “Somewhere Only We Know” tidak terlalu berfokus pada fenomena di lingkungan dan isu-isunya yang selalu dianggap tidak enak oleh masyarakat seperti pada novel “Falling” karya Rina Suryakusuma, yang mengangkat tema serupa. Lewat “Somewhere Only We Know”, Alexander Thian lebih ingin memperdalam adegan-adegan roman, dengan dilatarbelakangi aroma travel sebagai pencarian jati diri masing-masing karakternya.
Bagi sebagian orang, memang sedikit ganjil apabila sebuah novel bertemakan cinta dipadu dengan gaya bahasa super-gaul macam “Somewhere Only We Know”. Bagi saya, cukup terkejut, memang, saat diberondongi kalimat pembuka yang bersifat supel, meledak-ledak, dan penuh kalimat ejekan unik dari sang kakak kepada adiknya. Tapi, malah dengan kalimat-kalimat gaul itu, sebagai pembaca saya sedikit demi sedikit malah merasa terhibur, khususnya dengan banyaknya kalimat quotable yang dianalogikan dengan hal-hal sepele macam mi instan dan kentut. Begitu juga dengan rentetan Bahasa Jawa yang dipajang panjang-lebar sebagai kultur yang membalut latar belakang tempat salah satu adegannya.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya mengenai cerita 2 in 1 dalam “Somewhere Only We Know”, demikianlah Alexander Thian membagi karakter penulisannya dari menggebu-gebu, impulsif, dan cepat girang menjadi penuh kontemplasi, mellow, dan penuh kegalauan. Pasalnya, satu per satu karakter Ririn dan Kenzo, dijelaskan secara detail dan matang. Memang ada saat-saat yang membuat pembaca bingung, khususnya pada saat cerita dibuka dari sudut pandang Ririn yang didominasi oleh dialog, diimbuh monolog super-cepat, ekspresif, dan selalu diekori oleh umpatan ‘kampret’.
Gaya penulisan ‘gaul’ yang diusung Alexander Thian pun terkadang tidak cukup memberikan perbedaan kontras antara bagian Ririn dan Kenzo, sedangkan perpindahan narasi sengaja tak diberi label nama. Jadi, kadang saya sempat tertipu di beberapa bagian, mengira Ririn sebagai narator, eh malah Kenzo yang tengah berbicara mengenai kisah cinta tragis miliknya.
Sebagai novel yang bergerak cepat ibarat berondongan khas Ririn, alurnya pun lebih banyak didominasi oleh alur maju, walau sebagai individu yang melankolis, Kenzo kerap menceritakan napak tilas mengenai kisah cinta sebelumnya, tapi gaya bercerita napak tilas yang digunakan Alexander Thian adalah tipe bercerita yang saya sukai. Tidak membuat patahan plot. Tapi malah menyambungnya dengan cerita di masa kini, sehingga menambah kesan mellow pada diri Kenzo.
Dari dua kisah yang disajikan Alexander Thian dalam “Somewhere Only We Know”, ada kecenderungan yang kurang sukai sayangnya mengenai klimaks dan anti-klimaks. “Somewhere Only We Know” yang punya cap sebagai novel yang quotable lebih suka memperpanjang adegan penuh kontemplasi dan dilematisnya ketimbang menjelaskan adegan klimaks. Rasanya saat membaca adegan di pertengahan yang penuh dilema (terlebih bagian Kenzo), pembaca merasa jungkir balik, ingin menagih klimaks dengan adegan yang lebih lagi, tapi seringnya grafik plot tersebut malah menukik curam ke bawah dan hanya meninggalkan adegan sederhana.
Terlepas hal itu, saya ingin sekali memuji kepiawaian Alexander Thian dalam membangun penokohan karakter dua kakak-adik, Ririn dan Kenzo. “Somewhere Only We Know” seperti paket hemat, yang mana ada dua jati diri yang amat sangat bertolak belakang, tapi dengan tetap mempertahankan gaya kepenulisan serba-gaulnya, Alexander Thian masih dapat menunjukkan perbedaan tersebut dengan jelas.
Masing-masing karakter punya penokohan yang amat kuat. Tidak hanya secara analitik, tapi secara dramatis, melalui gestur, pemikiran dalam monolog-monolognya, dan kegemaran mereka terhadap benda. Seperti halnya Ririn kepada dongeng dan Kenzo kepada kopi.
Jika disuruh memilih dan bersikap sedikit egois, karena saya menyukai genre yang unik, macam LGBT, saya menyukai karakter Kenzo. Kontemplasinya selalu saja bisa menyentil hati pembaca. Bagaimana ia bertutur kata seperti punya jati baru yang berbeda ketika ia bercengkerama dengan Ririn. Dan sebagai seorang adik, Kenzo selalu punya parafrasa yang unik untuk menasihati kehidupan cinta Ririn.
Selain dua karakter yang seru, kecintaan Alexander Thian pada travel, musik, dan film tergambar jelas pada “Somewhere Only We Know”. Untuk menjelaskan Viet Nam, riset yang penulis lakukan terasa lengkap. Tidak hanya menjelaskan tempat, tapi lewat “Somewhere Only We Know”, pembaca seperti memiliki jendela mungil untuk mengetahui kultur-kultur unik mengenai negara Viet Nam yang tak kalah riuh dipadati sepeda motor, begitu juga dengan spot-spot menarik di Kota Paris dan Pulau Bali yang sempat menjadi tempat kenangan Ririn bersama Arik.
Secara keseluruhan, “Somewhere Only We Know” bisa digolongkan sebagai novel ringan ‘sekali duduk’ kedua yang saya habiskan pekan ini. Bahasanya memang cukup mengagetkan, terlebih bagi yang menyukai novel roman terjemahan. Tapi, bagi yang menyukai cerita-cerita humor sekelas Raditya Dika, dan ingin menanjak satu level, menyimak cerita cinta dengan analogi unik, “Somewhere Only We Know” bakal menjadi bacaan yang menghibur, dilatarbelakangi setting tempat yang dijamin mengundang pembaca untuk berimajinasi.