Judul : A Thousand Miles in Broken Slippers
Penulis : Rosi L. Simamora
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : Cetakan pertama, Januari 2016
Tebal : 210 halaman
Rate : 4.5 / 5
“Jangan biarkan sandalmu menentukan jati dirimu, Dong. Jangan pernah merasa malu ke sekolah hanya mengenakan sandal dan lungusran yang sudah pudar putihnya. Hanya ada satu cara untuk memperbaiki takdirmu—sekolah. Timbalah ilmu setinggi mungkin, Nak.” —A Thousand Miles in Broken Slippers, hlm. 187
Masa kecil Dong begitu getir. Sebagaimana anak seumurnya pergi bersekolah, ia pun pergi dengan beralaskan sandal jepit dan seragam menguning, bekas lungsuran orang lain. Ma’m Violetta gurunya sering sekali memergokinya menghabiskan waktu istirahat di dalam perpustakaan, bukan serta-merta gemar membaca, tapi karena ia tak memiliki uang untuk membeli makanan.
Hidup Dong yang sulit sesungguhnya telah berasal dari rahim ibunya. Berkali-kali Nila, sang ibu, berniat menggugurkan kandungan. Tapi, Dong malah lahir dengan selamat. Dong kecil sudah menjadi akar permasalahan semuanya. Para saudara boleh mengejeknya dengan sebutan anak haram, tapi Erning, sang ayah, malah menyayangi Dong seperti buah hatinya sendiri.
Bagi Dong, Erning adalah segalanya. Ayah yang membuatnya berani untuk bermimpi. Melalui nasihat Erning, Dong selalu berusaha menjadi yang terpandai. Tidak hanya di bidang akademis, tapi menang di berbagai kompetisi.
Mulai dari sebuah buku yang ia intip di perpusatakaan sekolah, mimpi Dong selalu sederhana. Ia ingin menjadi yang berhasil di dalam keluarganya.
“Jadi, itukah alasanmu memburu Paris dan Eiffel?” ada nada mengerti dalam suara Ma’am Pamintuan, “Karena kau ingin meninggalkan tempat ini, dan Eiffel adalah lambang keberhasilanmu…” – A Thousand Miles in Broken Slippers, hlm. 12
“A Thousand Miles in Broken Slippers” menceritakan langkah-langkah Dong dalam menggapai impian. Dan sederhananya, Dong kecil selalu melambangkan keberhasilan itu dengan Menara Eiffel. Buku ini memang tidak didasari sebuah ide, tapi sebagai penulis, Rosi L. Simamora menunjuk orang yang tepat untuk ditulis menjadi memoar dengan kalimat-kalimat cantiknya.
Melalui kisah hidup Dong, saya banyak memetik pelajaran hidup. Hidup memang tak pernah selalu mulus. Dan sebagai individu yang hidup, seseorang tak bisa memilih bagaimana dan seperti apa ia dilahirkan. Seperti Dong misalnya, banyak di setiap fase kehidupannya ia mengutuk hidup. Bertanya, mengapa? Mengapa ia harus hidup dengan segetir itu? Tapi, dengan melewati seluruh fase itu, ayahnya bertutur untuk selalu bersyukur.
“Selalu berdoa sebelum kau tidur. Dan ketika berdoa, lebih dahulu ucapkan terima kasih pada-Nya sebelum kau meminta sesuatu.” –Ernesto Consul
Bisikan-bisikan Erning bertaburan di setiap pergantian babnya. Dan kalimat-kalimat itu terlampau indah untuk dilewatkan. Erning memang bukan ayah kandung Dong. Tapi, ia malah mencintainya melebihi anak-anaknya sendiri. Pesan-pesannya selalu luar biasa kendati ia tak lebih dari pekerja serabutan.
“A Thousand Miles in Broken Slippers” serta-merta menjelaskan segalanya. Bukan hanya sedih, tapi ada juga kala-kala senang yang menaungi keluarga Consul. Ibarat rollercoaster, begitulah kisah hidup Dong. Ia harus selalu siap untuk menghalau semua kemungkinan yang datang, sekalipun Dong hidup sebagai selebritas yang sudah dikenal semua orang.
Menjelaskan gaya menulisnya, “A Thousand Miles in Broken Slippers” merupakan karya pertama dari Rosi L. Simamora yang saya baca. Pujian saya tentu jatuh pada diksinya. “A Thousand Miles in Broken Slippers” seolah takkan hidup kalau tidak disentuh oleh keajaibannya dalam bercerita. Kesan kedua yang saya tangkap adalah suasana mendayu yang diakibatkan dari gaya menulis tersebut. Lantas, cerita pun terasa mengalir dibawa oleh deskrispi yang stabil, runut, tidak terburu-buru. Dan ketiga hal tersebut membuat saya berpikir, “A Thousand Miles in Broken Slippers” ditulis oleh seseorang yang sangat profesional dan memang pas apabila dipadukan dengan tema cerita yang bertemakan memoar.
Sebagai penulis, Rosi L. Simamora menempatkan dirinya menjadi tokoh Dong. Berbicara dengan sudut pandang orang pertama dan menuturkan segalanya. Hal yang sedikit jarang digunakan oleh penulis perempuan, tapi dengan keputusannya mengambil peran Dong, Rosi L. Simamora terlihat dapat menyelami pikirannya dan menuliskan monolog-monolog yang menyentuh.
Begitu juga dengan pemilihan alur yang digunakannya, “A Thousand Miles in Broken Slippers” punya alur bolak-balik yang acak. Hal ini mungkin dibuat untuk mengakali gaya menulisnya yang sendu, yang mungkin jika dipadukan dengan alur cerita maju bakal terasa monoton. Tetapi, dengan adanya alur bolak-balik tersebut, Rosi L. Simamora tak ayal membuat semua kejadian yang lalu sebagai nostalgia. Menyelipkannya di antara kejadian lepas tahun 2011 sehingga menjadi sebuah perbandingan dan pemaknaan dari setiap kesulitan yang dihadapi Dong.
“A Thousand Miles in Broken Slippers” tidak menghadirkan Dong seorang. Di sekelilingnya banyak orang hebat yang menemani. Seperti Erning, Nila (ibunya), dan juga keempat saudaranya yang kerap kali mem-bully-nya sebagai seseorang yang selalu dianakemaskan Tatay. Keluarga Consul digambarkan sebagai keluarga yang keras, tidak harmonis, Tatay yang selalu lembut kepada Dong rupanya tidak memperlakukan keempat anak lainnya sebagaimana ia memperlakukan anak bungsunya. Pekerjaan tiap tokohnya pun dideskripsikan dengan begitu detail. Erning bukanlah sosok yang masih memiliki baju bagus, ia bekerja serabutan dan malu bertemu para orangtua murid di sekolah Dong. Ia sempat pergi melanglangbuana tanpa kabar berita, sehingga istrinya yang bekerja sebagai tukang cuci merelakan tubuhnya untuk membayar kebutuhan hidup mereka. Dan sebagaimana anak haram itu lahir, Nila (Nanay) sering kali digunjingi para tetangga sebagai perempuan nakal.
Hidup Dong tak ayal selalu dipenuhi cibiran. Dituduh sebagai pencuri. Dan juga diperlakukan tidak baik oleh kakak-kakaknya. Kendati mereka merawat Dong, tapi perlakuan mereka kerap kali melukai fisiknya. Dari serpihan-serpihan tersebut, hal itulah yang menjadi salah satu mimpi Dong, di samping mengeluarkan mereka dari garis kemiskinan, Dong ingin melihat keluarganya akur.
Membalut semua kisah hidup Dong, “A Thousand Miles in Broken Slippers” diceritakan dengan setting yang memadukan tiga tempat: Paris, Jakarta, dan Filipina, atau lebih tepatnya Bolinao. Menghabiskan masa kecil di Bolinao, Rosi L. Simamora menjelaskan Bolinao dengan mata Dong. Berkeliaran di terminal bus, masuk ke dalam gubuk-gubuk kotor, dan menghabiskan waktu bersama sahabat. Kendati punya kesan yang pahit, namun ada juga kisah-kisah lucu yang kerap dibagikan dalam “A Thousand Miles in Broken Slippers”. Dan di Indonesia, Dong membagi kisahnya yang berlatar sekolah internasional, tempatnya mengajar sebagai guru ekspatriat. Hingga akhirnya rekannya mendorongnya untuk masuk ke dunia entertainment. Dunia entertainment memang tidak terlalu diulas, tapi melewati keseluruhan fase hidup Dong. Rosi L. Simamora lebih ingin membagi kegetiran hidup seorang Leo Consul sebagai sebuah pelajaran hidup yang dapat dipetik oleh para pembacanya.
Secara keseluruhan, “A Thousand Miles in Broken Slippers” adalah sebuah novel ringan yang sanggup mempermainkan perasaan seseorang. Lewat kisahnya, Leo Consul dan Rosi L. Simamora mengajak pembaca untuk lebih memankai hidup. Selalu bersyukur. Terlebih untuk orang yang sudah berada di atas, kadang kala ia lupa ketika berada di bawah.
“Jadi ingatlah, Nak, setiap kali memiliki sesuatu, kau harus menghargainya. Lakukan sesuatu dengannya, jangan sia-siakan, jangan sampai kau kembali ke kehidupanmu yang dulu. Kelak kalau sudah punya uang, Nak, jangan dihambur-hamburkan. Gunakan dengan bijaksana.” —A Thousand Miles in Broken Slippers, hlm. 119