Dark Places ‘Tempat Gelap’ – Gillian Flynn

fa08f3220f8c1a295889a8793c1f0fc5
 
 
Judul                     : Dark Places ‘Tempat Gelap’
Penulis                  : Gillian Flynn
Penerjemah         : Dharmawati
Penerbit               : Gramedia Pustaka Utama
Terbit                    : Cetakan pertama, Agustus 2015
Tebal                     : 472 halaman
Rate                       : 4.5/5
 
 

“Fakta: Suatu waktu sekitar jam dua dini hari pada tanggal 3 Januari 1985, satu atau lebih dari satu orang membunuh tiga anggota keluarga Day di rumah pertanian mereka di Kinnakee, Kansas. Korban mencakup Michelle Day, umur sepuluh; Debby Day, umur sembilan; dan sang ibu yang merupakan kepala keluarga, Patty Day, umur 32. Michelle Day dicekik; Debby Day meninggal akibat luka kapak, Patty Day akibat dua luka tembakan, luka kapak, dan sayatan-sayatan mendalam dari pisau berburu Bowie.” Dark Places ‘Tempat Gelap’, hlm. 57

 

Malam itu Patty baru saja membuka pintu rumah; seseorang menyatroni rumahnya dengan beringas. Diiringi suara derit pintu yang memekikkan telinga, tiba-tiba saja orang itu  menyerangnya dengan kapak. Patty berusaha menjerit, menyuruh anaknya untuk lari. Namun, Debby malah terbangun dan menghampirinya.

 

“Si anak bungsu, Libby Day, umur tujuh berada di dalam rumah saat itu, dan berhasil meloloskan diri dari pembunuh atau para pembunuh lewat jendela kamar tidur ibunya.” Dark Places ‘Tempat Gelap’, hlm. 57

 

Sebaliknya, Libby malah mendadak terkenal lantaran menjadi satu-satunya selamat. Sudah dua puluh lima tahun ia hidup dibayangi nama Day. Sebagaimana ia ingin menghapusnya, tapi ia sudah membuat keputusan di hari pertama ia ditanyai keterangan. Siapa yang membunuh keluarganya?

Semua itu ulah Benjamin Day, kakak tertuanya yang seorang penganut Satanisme. Ia mencoreng segalanya, memberikan imaji buruk kepada masyarakat terhadap keluarga Day yang miskin, punya ayah pemabuk, dan sebentar lagi ladang mereka harus berpindah tangan kepada orang lain.

Libby, 32 tahun, ia ingin berlari lebih jauh dari hari-hari terburuk dalam hidupnya. Namun, ia tak punya pilihan, persediaan uangnya semakin menipis, penjualan buku tentang kisah hidup tolol itu tak mampu menutupi semua kebutuhan hidupnya lagi.

Siang itu, seseorang bernama Lyle Wirth dari Klub Bunuh—perkumpulan rahasia yang terobsesi pada kasus-kasus kejahatan terkenal—mengirimi Libby sebuah penawaran. Tunjangannya sebesar $500 dengan jaminan Libby harus bersedia memberikan informasi untuk membebaskan Ben.

Libby Day tak memiliki pilihan. Ia mengendus peluang itu, memanfaatkan kisah hidupnya dengan meminta lebih banyak uang kepada Lyle. Namun, dari sebuah pertanyaan, Libby menjadi kembali penasaran tentang peristiwa mengenaskan yang menjadi sisi gelapnya.

Apakah Ben Day sungguh-sungguh tega melakukan segalanya kepada ibu dan kedua adik perempuannya?

 
 

Sebagai satu dari tiga karya masterpiece dari Gillian Flynn, “Dark Places” punya tema yang tak jauh dari “Gone Girl”. Masih melibatkan banyak darah, adegan seksual, dan pernikahan yang gagal. Plotnya pun penuh misteri, intirik, dan tipu muslihat. Tapi, satu yang tak “Gone Girl” punyai, yaitu: hati dan kehangatan sebuah keluarga.

“Gone Girl” memang sinting, seperti yang orang-orang katakan, tapi “Dark Places” punya yang lebih sinting dan kelewat banyak dari segi konflik. Sedari pertama, “Dark Places” menghadirkan sosok Patty Day sebagai ibu yang sedikit gagal, punya pemikiran pendek dan melakukan segala hal atas dasar kecelakaan, seperti halnya menikahi Runner Day, yang mana pria itu berubah menjadi seorang pemabuk, pejudi, dan tak pernah dekat dengan keempat anak mereka. Ia datang hanya menagih uang. Begitu pun dengan kelahiran empat anak mereka, dengan jumlah anak yang terlalu banyak, Patty Day harus bejuang sendiri membesarkan mereka dan mempertahankan lahan pertanian mereka. Sedangkan Ben Day sebagai remaja yang mengalami pubertas malah tidak diperhatikan. Ben tumbuh menjadi remaja yang tertutup, bertindak sok keren, malah bergaul dengan orang-orang yang seharusnya tidak ia temui. Dan semuanya pun menjadi rumit.

Ada empat konflik yang tersirat dari galur plot utamanya: perceraian, seorang single parent, konflik finansial, dan seorang remaja yang bermasalah. Tapi, dari empat konflik tersebut, lagi-lagi pemecahannya amat mudah. Semuanya karena uang semata. Bahkan Libby Day yang di masa sekarang, diceritakan tidak memiliki pilihan lantaran hal yang sama.

Uang tidak datang dengan sendirinya, seperti jawaban yang ditawarkan oleh Flynn kepada pembaca. “Dark Places” punya intrik yang berliku. Gillian Flynn sengaja membuat semuanya menjadi samar. Dan mengajak pembaca untuk ikut masuk ke dalam sebuah penyelidikan dengan bantuan Lyle dan Klub Bunuh.

Dan mengenai Klub Bunuh, sebagian orang atau mungkin banyak orang menganggap ini tolol, mengada-ngada, dan mana mungkin? Tapi siapa sangka kalau menjabaran Gillian Flynn membuat semuanya menjadi mudah dipercaya. Klub Bunuh didirikan tidak semata-mata sebuah klub dengan landasan yang payah, anggota yang freak, dan kasus Pembantaian Keluarga Day yang terkenal. Gillian Flynn membuatnya lebih nyata. Mereka punya struktur organisasi, seperti halnya yang disebutkan Lyle sebagai bendahara. Lantas, asumsi-asumsi yang dilontarkan oleh Klub Bunuh tidak hanya mengangkat isu Pembantaian Keluarga Day saja, alih-alih, kasus-kasus pembunuhan terkenal lain yang terjadi di masa itu dan masa-masa sebelumnya. Dan itu menjadikan Klub Bunuh memang punya visi-misi yang mantap sebagai komunitas.

Gillian Flynn memang pandai berkata-kata, menata intrik, sehingga kasus Pembantaian Keluarga Day menyilap beberapa pasang mata. Dan gaya bahasa yang ia gunakan dalam novel pertamanya ini, “Dark Places” merupakan basis dari kata-kata kasar yang mencuat pada “Gone Girl”. Walau tidak sebanyak “Gone Girl”, tapi Flynn memang dikenal sebagai penulis yang ‘kasar’, tidak tanggung-tanggung jika ingin menjabarkan segala sesuatu. Jika hal tersebut memang sadis, gila, dan sensual, maka tak ada penyensoran ini dan itu. Jika hal tersebut memang keluar dari bibir seorang jalang, maka biarlah demikian. Dengan begitu, sekalipun yang digagas oleh Flynn adalah sebuah fiksi, namun kejadian yang dinyatakannya benar-benar dihadirkan secara nyata dan mampu membuat pembacanya percaya.

“Dark Places” terkesan eksperimental jika dibandingkan dengan “Gone Girl”. Gaya menulis Flynn pada “Dark Places” menggunakan alur yang bolak-balik dengan kombinasi dua sudut pandang, sudut pandang orang pertama dan ketiga. Seperti halnya ya menjabarkan tentang masa lalu, Flynn akan memilih orang-orang terbaiknya untuk dikupas dan diceritakan. Ia menelusup ke dalam kepala Patty dan Ben, mencari setan pada diri anggota keluarga Day untuk dibeberkan kepada pembaca. Dan di masa sekarang, ia menggunakan sudut orang pertama sebagai Libby Day yang bercerita mengenai apa yang diketahuinya di masa lalu dan asumsi-asumsinya di masa sekarang. Jelas ada keganjilan di antara tiga orang tersebut. Itulah jebakannya. Yang mana membuat pembaca menjadi bingung, siapa yang harus mereka percaya? Ben atau Libby?

Sayangnya, dengan tipe napak tilas tersebut, gaya bercerita yang digunakan Flynn memberikan dampak tersendiri bagi alur. Jika “Gone Girl” dibagi menjadi beberapa bagian, kali ini, “Dark Places” mampu dibagi menjadi dua bagian: bagian membosankan dan bagian menegangkan. Bagian membosankan terjadi lantaran di bagian awal, dengan latar belakang yang kebanyakan berupa napak tilas tentang kemisikanan keluarga Day tidak ada keterlibatan dari adegan roman. Alih-alih, didominasi oleh hal-hal yang berbau finansial, tetek-bengek mengenai kemisikinan, belum lagi perkenalan untuk setiap anggota keluarga Day, dan di masa sekarang, Flynn pun menjelaskan secara lengkap dan rapi tentang identitas Klub Bunuh. Penjabaran tersebut dilakukannya secara naratif. Sedikit dialog, hanya pada bagian tertentu dengan beberapa dialog yang kadang berupa hal-hal yang tidak terlalu perlu.

Tapi ada sedikit tips, untuk tetap setia pada “Dark Places”, yang mana, semua keseruan pada bagian serunya dihadirkan Flynn belakangan. Tepatnya di bagian setelah halaman 200. Dan Ben pun akan memberikan kejutannya tersendiri kepada pembaca. Tentang apa saja yang dilakukannya bersama Diondra.

Dari segi penokohan, sebagai seorang ibu dan istri, Gillian Flynn benar-benar bisa menjelaskan karakter Patty Day dengan amat baik. Pendeskripsiannya mengenai sosok Patty adalah seorang wanita yang sok kuat dan merasa bisa mengangani semua permasalahan keluarganya. Tapi, jauh di dalam diri Patty ia punya banyak ketakutan, mengenai finansial (bagaimana dengan ladang peninggalan orangtuanya), suaminya (mereka memang sudah gagal membina keluarga), anak-anak mereka (apakah ia sudah menjadi ibu yang berhasil atau malah menjadi ibu yang gagal?). Tiga hal itu seolah selalu berputar dalam kepala Patty.

Dan karakter Libby sebagai seorang perempuan 32 tahun pun tak terlalu jauh dari karakter Patty. Libby hidup dalam ketakutan-ketakutannya sendiri sedari kecil. Membenci kakak laki-laki yang disayanginya. Mengubur dalam-dalam memori tentang pembantaian malam itu. Memikirkan hal mengenai tagihan. Dan sebagai impresi pertama, Libby hidup menjadi seorang yang brutal karena keadaan yang mendesak, tak jauh dari Ben di masa remaja, ia menutup diri dari semua orang.

Jauh dari karakter-karakter dewasa, kali ini, Gillian Flynn pun seolah bisa menelusup ke kepala seorang remaja, Ben yang berusia 15 tahun. Remaja dengan kepala yang kacau. Penyuka musik rock dan aliran-aliran sinting yang dianggap keren di masa tersebut. Dan sebagai seorang puber yang labil, Ben mudah sekali terpengaruh orang-orang di sekelilingnya. Pola ini bisa dibilang mirip Nick Dune (Gone Girl, 2014) yang dikacaukan oleh para tetangganya. Perempuan-perempuan yang suka bergunjing, membikin gosip unggulan, sehingga masyarakat pun terpengaruh dan ikut menghujat.

Menyisip ke alam yang lebih liar dan kelas ekonomi mengengah ke bawah, “Dark Places” punya latar yang amat berbeda dengan “Gone Girl”. Jika “Gone Girl” masih sempat mengendus hawa New York yang gemerlapan itu. “Dark Places” hanya menyisakan tanah tandus, bau ruang pengap dengan tumpukan kardus bekas, dan hawa-hawa obsesif dari Klub Bunuh. Tidak ada yang manis, seperti awal pertemuan Nick Dune dan Amy (Gone Girl, 2014), yang adalah ketakutan Libby di masa lalu, tentang ladang di pinggiran Kansas, yang mana dijelaskan masih asri. Dengan kultur yang masih penuh kekeluargaan di tahun 1985. Tetapi, lingkungan yang masih asri tersebut mulai tercemar dengan adanya isu-isu dari aliran gelap yang melibatkan pemujaan setan. Lantas cerita bergulir ke masa sekarang, Libby yang tinggal di Kansas pun hidup dalam keadaan yang menyedihkan. Namun, penyelidikan yang diusung oleh Lyle tak ayal membawanya ke banyak tempat seperti ke Missouri dan pembuangan limbah di Oklahoma. Kebanyakan dari latar tersebut dijabarkan Flynn secara detail, menyebutkan tempat dan mengangkat isu yang pernah terjadi. Dan kebanyakan punya nuansa gelap.

Dari keseluruhan isi buku, “Dark Places” memang punya nuansa tersendiri untuk menjadi masterpiece dari Gillian Flynn. Memang punya alur yang mengulur, tapi Flynn terlampau hebat kalau soal mengeksekusi yang sekilas terlihat biasa saja. Intrik-intriknya selalu mampu membikin orang terjebak. Dan walaupun, detektif bukan cangkir kopi saya, tapi kali ini menjelang akhir cerita, Flynn sukses membuat saya menggebu-gebu untuk menebak siapa pembunuh yang sebenarnya. Apakah Ben? Apakah Runner? Dan jangan bilang Libby mengarang semuanya. Tiga hal itu terus berputar menjelang pertengahan buku hingga ke akhir cerita.

 
dark-places
 

Perbandingan “Dark Places” tak berhenti hingga “Gone Girl”. Menuai sukses dari adaptasi “Gone Girl” dua tahun lalu, “Dark Places” pun tak ayal diadaptasikan menjadi sebuah film karya sutradara Gilles Paquet-Brenner. Secara plot, sangat disayangkan adaptasi bagian screenplay “Dark Places” tidak ditulis oleh Gillian Flynn sendiri, tidak seperti “Gone Girl” yang nyaris sempurna itu, Gillian Flynn dengan tahunya dapat memotong adegan-adegan yang sepele dan tetap mempertahankan kesintingan karakter Amy dalam filmnya.

Sebagai film, “Dark Places” kehilangan banyak momen tersebut. Nyaris separuh adegan napak tilas yang saya bilang bertele-tele pada buku, tetapi menjadi basis dari film, malah dipangkas habis. Lantas, menyisakan bagian klimaks dari kenakalan remaja antara Ben dan Diondra. Sedikit mengecewakan, memang. Tapi, hal ini mungkin dipertimbangkan lantaran pemilihan cast-nya macam Chloë Grace Moretz sebagai Diondra dan Tye Sheridan sebagai Ben di saat remaja yang akan ganjil dan menuai banyak kontroversi apabila melakukan deskripsi adegan yang dimaksud dalam buku. Dalam filmnya, “Dark Places” seolah-olah hanya berfokus pada proses investigasi, alih-alih, ingin menjelaskan kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh Patty. Cerita pun bergulir cepat sekali dan kehilangan momen pertanyaan seperti halnya yang kerap dilontarkan oleh pembaca ketika membaca bukunya.

Dan untuk bagian di ‘masa sekarang’, saya cukup puas dengan karakter yang dimainkan oleh Charlize Theron. Penokohannya di dalam film kurang lebih dapat menggambarkan seorang perempuan paruh baya yang depresi, berkelit dengan masalah keuangan, dan menutup diri dari semua orang. Dan Nicholas Hoult sebagai Lyle pun cocok untuk menggambarkan seorang Lyle muda yang nerd dan terobsesi menelusuri kasus Pembantaian Keluarga Day.

Jika dibandingkan dengan mahakarya David Fincher, “Gone Girl”, jelas sudah “Dark Places” memiliki banyak kekurangan dari segi plot cerita. Tapi, untuk pengeksekusian visualnya, Gilles Paquet-Brenner memilih filter yang pas, nuansa kuning, untuk menjelaskan kehangatan sebuah keluarga. Berbeda dengan David Fincher yang selalu mennggunakan filter biru-gelapnya untuk menekankan kesan misterius dan dingin.

Bagian terbaik yang saya sukai dari adaptasi film “Dark Places” mungkin terletak pada bagian ending-nya. Ada sedikit pengubahan dari bukunya, mirip dengan kasus “Gone Girl”. Tapi, banyak yang berkata kalau pada bukunya, “Dark Places” ditutup dengan terlalu banyak drama. Adaptasi filmnya sendiri ditutup dengan sebuah kata-kata yang mengharukan.

Sebagai simpulan akhir, pro buku, kontra novel atau sebaliknya? Yang jelas, jika ingin merasakan sengatan bulu kuduk yang sesungguhnya, novelnya akan lebih menggambarkan apa yang terjadi di malam yang mencekam kala itu, tapi jika ingin mendapatkan keseruan (sekadar keseruan) dari rangkaian cerita bertele-tele Flynn di awal, film adalah pilihan yang pas untuk menghemat waktu.

 
 
P.S.

Banner Posbar 2016

 

Seperti yang dijadwalkan oleh divisi event Blogger Buku Indonesia, hari ini, tepatnya tanggal 30 Januari 2016 adalah saat yang ditunggu-tunggu. Khususnya untuk memposting review buku yang bulan lalu saya terima dari Santa sekaligus menebak, siapa kira-kira Santa yang berbaik hati memberikan buku superkece macam “Dark Places”.

Sebelumnya saya akan posting dulu riddle yang diberikan Santa kepada saya. Seperti postingan Secret Santa yang lalu:

IMG_0058

Lihat kan tulisan “British Council” dan “Great Britain” di sudut-sudut kertasnya? Sebelumnya saya terjebak lantaran dua tulisan itu. Saya kira si Santa pasti bakal punya kegemaran yang ada kaitannya dengan British atau bisa juga dia suka jajaran artis Inggris dan mempostingnya di media Twitter.

Tapi, tunggu dulu. Tepat tanggal 29 Januari 2016, yaitu kemarin malam. Saat saya hendak mempost-scheduled postingan ini. Tiba-tiba si pemecah kode menghubungi saya. Kak Dewi, yang tahun kemarin membantu saya memecahkan kode Secret Santa di tahun 2014, akhirnya memberikan clue yang sesungguhnya. Yang mana di antara deretan kata pada puisi tersebut tersembunyi angka: 1408229. Dan siapakah si member dengan nomor anggota 1408229.

Begitu dimasukkan ke kolom search Google, yang keluar adalah blog:

 
12
 

Jelas kaget. Dan saya cuma bisa bilang: Salam kenal, Hestia 🙂 Terima kasih sudah mengirimkan buku “Dark Places” untuk mengisi liburan saya. Perlu dua bulan untuk membaca bukunya, sekaligus pernah saya sesekali curhat lewat ask.fm dan membandingkannya via Path. Tapi saya baru sadar di detik-detik terakhir, ternyata Santa saya selalu mengintai.

 

14 thoughts on “Dark Places ‘Tempat Gelap’ – Gillian Flynn

  1. Yak, ANDA BENAR!! itu riddle-nya terlalu rumit atau terlalu mudah sih? :”)) maaf ya, pakai kertas ada bau-bau Inggrisnya karena waktu itu nggak sempat bikin riddle yang rapi (diketik – dicetak) gitu & di mejaku cuman ada notes dari British Council. Terima kasih juga sudah menerima hadiah ku! Btw, pembatas bukunya lucu kan? :3

    • Halo, halo 🙂 Ih, sedari awal saya memang gak peka kalau kamu Santa-nya. Apalagi berulang kali curhat soal buku ini di ask.fm pas waktu itu. Untung ada Kak Dewi, sebelumnya saya sempat menebak kalau ini Kak Mel Marian sih, yang suka hal-hal berbau Inggris itu 🙂

      Terima kasih ya buat pembatas bukunya juga. Lucu banget! Masih saya simpen dengan rapi. Sayang dipake 😀

    • Terima kasih 🙂 Kak Dewi memang detektif andalan BBI.

      Lumayan rame kok, Kak. Cuma Dark Places alurnya sedikit bertele-tele di awal. Banyak yang perlu dijelaskan tentang masa lalu dan masa sekarang.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s