Judul : Malam-Malam Terang
Penulis : Tasniem Fauzia Rais & Ridho Rahmadi
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : Cetakan pertama, Desember 2015
Tebal : 245 halaman
Rate : 3.5 / 5
“Jadikan kegagalan sahabat setiamu. Bukan berarti kamu harus selalu gagal, namun ketika kegagalan datang, sambutlah ia sebagai sahabat. Mengapa? Karena kegagalan adalah cermin yang mengingatkan kita untuk berusaha lebih baik. Tanpa cermin itu kita tidak bisa melihat diri sendiri, tidak bisa mengevaluasi diri.” —Malam-Malam Terang, hlm. 66
Tasniem dirundung mimpi buruk. Sampai kunjungannya ke rumah sang nenek di Solo, ia pun disadarkan oleh sebuah ide yang tak henti-hentinya mengusik pikiran. Nim, begitu ia sering dipanggil, meminta izin kepada ibunya untuk merantau ke Singapura.
Berbekal restu kedua orangtua, yang rela menjual sepetak tanah, Tansiem pun berangkat menuju sekolah barunya, Globe College. Globe College adalah sekolah asrama yang akhirnya mempertemukan Nim dengan ketiga sahabat dari berbagai belahan dunia. Cecilia dari China, Aarin berasal dari India, dan Angelina yang juga berasal dari Indonesia.
Sebagai seorang Muslim yang taat, bermukim di luar negeri dengan banyak perbedaan kultur, awalnya Tansiem merasa sedikit segan. Namun, lantaran toleransi dan sikap saling menghormati ketiganya, Tansiem, Aarin, Cecilia, dan Angelina berhasil membangun sebuah lingkaran persahabatan.
Bukan sekadar teman sekamar, bersama ketiga sahabatnya Tansiem melewati setiap ujian yang membuatnya bergadang bermalam-malam, mengelilingi negeri Malaysia untuk mencari sebuah alamat, dan memenangkan seuatu yang pernah direbut darinya.
“Dengan merantaulah, banyak ilmu tentang kehidupan dapat dipelajari. Ilmu yang tak ada di balik rumus-rumus matematika ataupun teori-teori ekonomi. Ilmu yang tersembunyi di tengah padang pasir pengembaraan. Ilmu yang terbawa hujan deras dan angin kencang petualangan. Ilmu yang tertambat di tengah-tengah amuk ombak samudra perjalanan.”—Malam-Malam Terang, hlm. 90
“Malam-Malam Terang” pada dasarnya banyak membicarakan tentang kalimat-kalimat motivasi, tips dan trik untuk bertahan hidup sebagai seorang perantau muda, dan juga tentang toleransi antarsahabat yang berbeda kultur dan agama. Menilik latarnya yang berlatarbelakang dunia pendidikan dan tema persahabatan yang diangkat, saya ingin bilang kalau “Malam-Malam Terang” punya feel mirip “Negeri Van Oranje”, tapi punya target pembaca yang lebih simpel, yaitu para remaja sesuai dengan usia tokoh utamanya.
Sebagaimana “Negeri Van Oranje” karya Wahyuningrat dkk. membocorkan banyak tips mengenai kultur dan travel tentang negeri Belanda. Tansiem pun menuliskan tips dan triknya sebagai seorang pelajar yang tinggal di sebuah asrama. Mulai dari kiat-kiatnya mempelajari Bahasa Inggris dari kamus Oxford, bekerja magang di saat liburan akhir semester, dan pahitnya ditinggal para sahabat pulang ke negeri masing-masing. Melalui adegan-adegannya yang dijabarkan secara sederhana, pembaca diajarkan untuk selalu menikmati kegagalan, belajar dari kegagalan tersebut, dan kembali bangkit. Walaupun Tasniem diceritakan sebagai seorang anak dari ayah yang aktif di organisasi, tapi bukan berarti dia bermalas-malasan karena hidup berkecukupan. Melainkan ia ingin menjadi berbeda dan bekerja keras untuk mendapatkan apa yang ia inginkan.
“Malam-Malam Terang” pun tak lupa bercerita tentang betapa indahnya perbedaan dalam sebuah persahabatan. Dengan merantau ke Singapura, Tasniem memiliki tiga sahabat yang berbeda kultur, dari seorang berkebangsaan China, India, dan juga Tionghoa. Yang saling menghormati tata cara beragama; seperti saat Tasniem perlu melakukan shalat lima waktu, namun tak lantas melihatnya sebagai keanehan. Ketiganya setuju untuk memahami kebutuhan Tansiem, begitu juga ketika mereka bersembahyang dan Tasniem memahaminya.
Dalam setiap bagian yang selalu bersemat judul yang apik, penulis selalu memulai sebuah konflik. Walau, “Malam-Malam Terang” tidak punya sebuah klimaks signifikan yang diangkat, tapi dalam segmennya, sebuah fase kehidupan seorang tokoh Tasniem akan diulas. Seperti ketika ia mendapatkan nilai jelek kala ujian komputer, yang mana konflik tersebut buru-buru diselesaikan dengan adanya telepon dari Bapak. Namun, tiap babnya bukanlah sebuah cerita lepasan, dari sedemikian bab yang ada, semuanya seolah berkelindanan dengan sebuah misi akhir: Tasniem berhasil meraih cita-citanya di Singapura.
Merangkai sebuah ide yang cemerlang, tentunya perlu diimbangi gaya menulis yang baik. Sebagai karya debutnya, “Malam-Malam Terang” agaknya punya kecenderungan untuk menyasar pembaca muda. Terlihat dari gaya bahasa yang sederhana, yang digunakan penulisnya. Penggunaan sudut pandang orang pertama dan juga lebih membahas hal-hal yang memiliki kerterkaitan dengan emosi tokoh utamanya. Sehingga ada kalanya sebuah bagian ditulis dengan narasi yang menggebu-gebu, tapi ada kalanya juga bagian lain malah ditulis dengan mendayu-dayu, menyelipkan alegori yang mirip kepenulisan prosa.
Sayangnya, penataan kedua sifat narasi tersebut tidak diletakkan dengan seimbang dan dengan porsi yang tepat. Sehingga sering kali di awal sebuah bab, pembaca diangsurkan sebuah narasi yang panjang lebar untuk membahas tentang sebuah rasa syukur. Ada juga adegan-adegan yang sesungguhnya tidak bersifat memotivasi, seperti kala pertandingan basket, malah dijelaskan secara detail dan membuat cerita menjadi bertele-tele.
Di dalam buku, tidak dijelaskan sebelumnya latar belakang karakter Tansiem dalam pengambilan jurusan kala SMA, tapi pada narasi, penulis sering kali menyelipkan kata-kata kajian ilmiah yang mengacu pada kelas taksonomi binatang dan pembahasan mengenai anatomi tubuh. Hal tersebut tidaklah salah, malah bisa menjadi keunikan dalam gaya menulis Tasniem Fauzia Rais dan Ridho Rahmadi. Namun, kata-kata kajian imliahnya agaknya akan lebih pas kalau ditulis apabila berhubungan dengan konteks yang tengah dibicarakan. Sehingga pembaca secara tidak langsung bisa paham dengan kata-kata kajian ilmiah yang dimaksud.
Dan secara alur, “Malam-Malam Terang” tergolong punya alur yang cukup lambat. Terlebih di pertengahan lantaran kedua penulisnya terlihat ingin menjelaskan secara detail mengenai perantauan. Alur pun terasa dibagi dua, yang mana, ada alur yang khusus membahas tentang tips dunia pendidikan dan perantauan serta sebuah alur lain yang khusus membahas tentang segi romannya. Keduanya dimulai dari sebuah titik SMP 5. Tetapi memiliki perbedaan pada bagian penutup.
Pada dasarnya “Malam-Malam Terang” memang bukanlah buku bertemakan roman, walaupun ada terselip beberapa hal mengenai angan-angan perkawinan ideal menurut Tasniem, tapi kehadiran tokoh Ridho alias Edo nyatanya hanya menempati seperempat bagian buku. Penokohannya pun tak dijelaskan secara jelas. Hanya ciri-ciri fisik yang dijelaskan secara cepat. Melalui nostalgianya di masa SMPnya dulu, yang mana Edo adalah kakak kelas yang ditaksirnya diam-diam.
Berbeda dengan tokoh Tasniem sendiri dan ketiga sahabatnya. Empat tokoh utama tersebut sedikit banyak dijelaskan melalui teknik dramatisir. Seperti halnya Tasniem dijelaskan memiliki perangai yang ambisius dan supel, kedua sifat tersebut dijelaskan penulis dengan amat baik lewat setiap adegan-adegan dan konflik yang dihadirkan, sehingga dapat ditarik kesimpulan kira-kira seperti apakah sikap Tansiem dalam menanggapi setiap permasalahan tersebut.
Terakhir, melalui “Malam-Malam Terang”, Tasniem Fauzia Rais dan Ridho Rahamadi ingin mengajak pembaca berkeliling dari Jogja, Singapura, dan Malaysia. Latar Singapura memang lebih kontras diwarnai oleh keseharian yang bersifat akademis, menyangkut denah sekolah dan peraturan-peraturan yang berlaku di Globe College. Sedangkan Malaysia, sempat diulas penulis dengan cukup detail lantaran adanya acara roadtrip mendadak dari keempat sahabat.
Secara keseluruhan, “Malam-Malam Terang” adalah novel yang sangat inspiratif, khususnya untuk kaum muda yang ingin merantau ke luar negeri. “Malam-Malam Terang” tidak hanya berbicara hal manis, tapi juga mengisahkan kepahitan yang mungkin terjadi di kala menyandang gelar sebagai siswa rantau.
Sebagai sepasang penulis debut, Tasniem Fauzia Rais dan Ridho Rahamadi berhasil mengangkat sebuah tema yang menarik untuk diterjemahkan dengan bahasa novel. Sayangnya, untuk gaya berdongengnya mungkin perlu diasah lebih lagi agar terasa lebih nikmat untuk dibaca oleh pembaca semua kalangan.